![]() |
| Setiap anggota DPR mendapat dana reses Rp2,5 miliar per tahun. Besarnya anggaran ini menuai kritik karena minim transparansi dan akuntabilitas. (ANTARA FOTO) |
Dana reses Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali menuai sorotan. Setiap anggota DPR menerima hingga Rp2,5 miliar per tahun untuk kegiatan menjaring aspirasi masyarakat, bahkan bisa mencapai Rp4,2 miliar bila ditambah anggaran rumah aspirasi.
Namun, sejumlah organisasi masyarakat sipil menilai penggunaan dana tersebut tertutup dan rawan disalahgunakan.
Laporan BBC News Indonesia yang menelusuri dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) DPR 2022–2025 memperlihatkan besarnya alokasi untuk kunjungan kerja anggota parlemen. Meski demikian, mekanisme pelaporan dan tindak lanjut aspirasi masyarakat dinilai tidak transparan.
Apa itu reses dan mengapa penting?
Dalam sistem parlemen Indonesia, reses adalah masa di luar sidang di mana anggota DPR kembali ke daerah pemilihan.
Fungsinya adalah menyerap aspirasi masyarakat secara langsung, memastikan kebijakan pusat sesuai kebutuhan daerah, sekaligus mempertanggungjawabkan kinerja legislatif.
Anggota DPR biasanya melakukan pertemuan tatap muka dengan warga, berdialog dengan tokoh masyarakat, atau mengunjungi fasilitas publik di dapilnya. Kegiatan ini dianggap penting karena menjadi jembatan antara kebijakan pusat dan kondisi lokal.
Namun, mekanisme penggunaan dana reses kerap menimbulkan pertanyaan—seberapa jauh dana yang besar itu benar-benar menyentuh masyarakat?
Anggaran yang terus membengkak
Dalam empat tahun terakhir, total anggaran DPR meningkat dari Rp6,6 triliun menjadi Rp9,9 triliun. Dari jumlah itu, dana reses menjadi salah satu pos terbesar.
Alokasi anggaran DPR untuk 2025 mencakup Rp1,37 triliun untuk kunjungan kerja masa reses yang berlangsung 4–5 kali setahun, Rp140,5 miliar untuk kunjungan kerja saat masa sidang, dan Rp868,4 miliar untuk kunjungan di luar masa reses maupun sidang.
Jika dihitung per anggota dengan total 580 legislator biaya reses 4–5 kali setahun setara Rp2,36 miliar per anggota, atau sekitar Rp472 juta per kegiatan.
Untuk reses tambahan di masa sidang, anggaran per anggota mencapai Rp240 juta. Selain itu, setiap legislator juga berhak atas Rp150 juta per tahun untuk rumah aspirasi.
Besarnya anggaran inilah yang menimbulkan tanda tanya dari kelompok masyarakat sipil.
“Berapa yang diterima oleh setiap anggota DPR perlu kita ketahui. Ini karena ada potensi penyelewengan yang dilegalkan,” kata Egi Primayogha, Kepala Divisi Advokasi Indonesian Corruption Watch (ICW).
Menurutnya, dana reses tidak jarang dipakai untuk kebutuhan politik internal anggota DPR.
“Pemasukan itu tidak digunakan sebagaimana mestinya, tapi justru untuk menebus ongkos pemilu, biaya setor ke parpol, atau merawat jejaring patronase untuk mempertahankan posisi,” ujarnya.
Kritik lama yang tak lernah surut
Sorotan terhadap dana reses bukan hal baru. Pada 2006, ICW sudah meminta agar laporan reses dilengkapi bukti pengeluaran, daftar hadir, hingga rekaman kegiatan.
Delapan tahun kemudian, menjelang Pemilu 2014, koalisi masyarakat sipil mengkritik kenaikan anggaran reses sebesar 47% menjadi hampir Rp1 triliun.
Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga mencatat berulang kali masalah pertanggungjawaban. Pada 2019, BPK menemukan hampir Rp1 triliun dana reses dan perjalanan dinas tanpa laporan jelas.
Tahun berikutnya, jumlahnya meningkat menjadi Rp1,3 triliun. Pada 2023, BPK kembali memberi catatan tentang biaya konsumsi yang tidak seragam serta pertanggungjawaban lumpsum yang dianggap tidak akuntabel.
Menurut Bernard Allvitro, peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), pola ini menunjukkan lemahnya pengawasan.
“Ini dapat diduga tunjangan serap aspirasi melalui reses belum dipergunakan secara maksimal,” ujarnya.
Bernard menilai kewajiban anggota DPR untuk membuka detail penggunaan dana kepada publik belum terpenuhi.
“Problemnya itu yang memang benar dalam pengawasan belum maksimal. Mereka juga tidak terbuka mengenai rincian penggunaan dan hasilnya,” tambahnya.
Sejumlah pihak juga menyoroti mekanisme pelaporan dana reses yang dinilai tertutup. Laporan hasil reses umumnya disampaikan anggota DPR kepada fraksi masing-masing, bukan langsung ke publik.
“Tak banyak yang bisa kita telisik. Semuanya menjadi laporan tertutup dari anggota ke fraksi,” kata Lucius Karus, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi).
Ia menambahkan, dengan banyaknya alokasi kegiatan, hampir setiap bulan anggota DPR memiliki jadwal kembali ke daerah pemilihan dengan biaya dari negara. Namun, transparansi mengenai hasil pertemuan dengan masyarakat tidak tersedia secara luas.
Hal senada disampaikan Arif Nur Alam, Direktur Eksekutif Indonesian Budget Center (IBC). Menurutnya, DPR justru sering “menumpang” agenda kementerian ketika melakukan reses.
“Tidak sedikit anggota DPR yang justru nebeng dengan kementerian atau lembaga lain ketika melakukan reses. Apalagi yang lebih miris, ketika reses mereka menunggu kebijakan dari kementerian. Misalkan pembagian traktor atau bantuan lain, mereka yang menyerahkan. Ini sudah salah. Mereka legislator, bukan eksekutif,” jelas Arif.
Bantahan dari DPR
Pihak DPR menolak tudingan bahwa dana reses rawan penyalahgunaan. Ketua Komisi XI DPR dari Fraksi Golkar, Mukhamad Misbakhun, menegaskan bahwa anggaran reses bukanlah bentuk penghasilan pribadi anggota.
“Anggaran ini bukan wujud penghasilan untuk anggota. Penggunaan dana reses ditegaskan mengalir ke masyarakat di daerah pemilihan lewat pelbagai kegiatan,” kata Misbakhun.
Ketua DPR RI, Puan Maharani, juga menegaskan pentingnya peran reses. Menurutnya, sepanjang tahun terakhir DPR menerima lebih dari 5.000 aduan dan laporan dari masyarakat.
Namun, bagi kelompok pemantau pemilu, pertanyaan utama tetap soal tindak lanjut aspirasi masyarakat.
“Apakah saat selesai reses mereka membawa banyak aspirasi ini untuk disampaikan di masa sidang? Apakah aspirasi itu difasilitasi dengan baik lewat kebijakan parlemen?” kata Heroik Pratama, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM).
Suara dari daerah
Di tengah klaim DPR, sebagian masyarakat menilai hasil reses belum memberi dampak nyata.
“Kami [punya jalan] sisa peninggalan dari zaman dulu. Itu pun aspal pertama saja. Habis itu sudah tidak pernah ada lagi pembangunan,” kata Merry Manu, warga Fatukoa, Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Ia juga menyoroti masalah air bersih. “Yang dikonsumsi masyarakat sekarang ini adalah air yang ditampung. Kalau musim hujan, kami minum air hujan. Kalau kemarau, kami harus beli air. Setiap reses sudah kami sampaikan, tapi DPR sama saja. Kami ini yang terlupakan,” ujarnya.
Warga lain, Bayu Mauta dari Bello, NTT, menyampaikan hal serupa. Menurutnya, janji-janji reses jarang terealisasi.
“Agenda reses diselenggarakan di berbagai tempat. Tapi soal kebutuhan petani atau peternak, saya belum melihat barang-barang ini sampai. Kenyataannya tidak ada kelanjutannya,” katanya.
Mekanisme pelaporan dan audit
Secara prosedural, setiap anggota DPR diwajibkan membuat Surat Pertanggungjawaban (SPJ) setelah reses, berisi daftar hadir, ringkasan usulan masyarakat, risalah, hingga bukti pengeluaran. SPJ itu disampaikan dalam rapat paripurna DPR.
Pengelolaan dana reses diaudit BPK, sementara secara internal juga diperiksa komite audit DPR. Namun, kelompok masyarakat sipil menilai mekanisme ini belum cukup kuat.
Standar pelaporan masih banyak menggunakan sistem lumpsum, yang dinilai memberi ruang abu-abu dalam penggunaan dana.
Sejumlah kalangan telah mengusulkan agar sistem lumpsum diganti dengan at cost atau berbasis bukti pengeluaran. Langkah ini diyakini bisa meningkatkan akuntabilitas dan transparansi.
Meski anggaran reses terus meningkat, kritik publik belum juga mereda. Pertanyaan utama yang mengemuka adalah apakah dana miliaran rupiah per anggota DPR benar-benar sampai pada kebutuhan masyarakat di daerah pemilihan.
“Ketika memang [anggaran dan kinerja] berbanding lurus, publik akan menerima itu dengan baik. Tapi kalau sebaliknya, wajar kritik muncul,” kata Heroik Pratama dari PERLUDEM.
Sejauh ini, sebagian masyarakat menilai janji reses lebih sering berhenti di tataran seremonial. Audit BPK juga berulang kali menemukan masalah laporan. Namun, DPR tetap mempertahankan pos anggaran yang besar dengan dalih menjalankan fungsi representasi.

0Komentar