CELIOS meminta PBB menginvestigasi data pertumbuhan ekonomi kuartal II-2025 yang dirilis BPS. Kritik diarahkan pada ketidaksinkronan data industri manufaktur dan investasi dengan kondisi riil, memicu sorotan soal kredibilitas statistik Indonesia. (Celios)

Data pertumbuhan ekonomi kuartal II-2025 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) memicu sorotan tajam. Meski BPS melaporkan ekonomi tumbuh 5,12% secara tahunan (year-on-year/yoy), sejumlah indikator lapangan justru menunjukkan arah sebaliknya. 

Lembaga riset independen Center of Economic and Law Studies (CELIOS) bahkan melangkah lebih jauh dengan mengirimkan surat resmi ke Badan Statistik Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Statistics Division/UNSD) dan Komisi Statistik PBB (United Nations Statistical Commission) untuk meminta investigasi.

Langkah ini, menurut CELIOS, bertujuan menjaga kredibilitas data statistik nasional yang menjadi rujukan utama akademisi, analis keuangan, pelaku usaha, dan pembuat kebijakan. Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, menegaskan bahwa data BPS wajib bebas dari intervensi politik, transparan, dan mengikuti standar internasional.

“Jadi apa dasarnya industri manufaktur bisa tumbuh 5,68% yoy? Data yang tidak sinkron tentu harus dijawab dengan transparansi,” kata Bhima, Jumat (8/8).

CELIOS menemukan anomali mencolok pada data industri pengolahan. BPS melaporkan sektor ini tumbuh 5,68% yoy, tetapi Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur indikator global yang memotret aktivitas produksi justru berada di zona kontraksi pada periode yang sama. 

Selain itu, porsi manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) justru turun menjadi 18,67% dari 19,25% di kuartal I-2025, menandakan deindustrialisasi prematur masih berlangsung.

Kondisi di lapangan juga menunjukkan pelemahan. Data pemutusan hubungan kerja (PHK) massal meningkat, terutama di industri padat karya yang terpukul oleh kenaikan beban biaya produksi. CELIOS mempertanyakan basis perhitungan BPS mengingat realitas tersebut berbanding terbalik dengan klaim pertumbuhan tinggi.

Kejanggalan lain terlihat pada data Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atau investasi. BPS melaporkan pertumbuhan investasi sebesar 5,37% yoy pada kuartal II-2025. Namun, CELIOS menilai tren realisasi investasi, terutama yang tercatat di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), tidak sejalan dengan angka tersebut.

Direktur Kebijakan Fiskal CELIOS, Media Wahyudi Askar, menekankan bahwa bila terdapat tekanan institusional atau intervensi dalam penyusunan data, hal itu melanggar Fundamental Principles of Official Statistics yang diadopsi Komisi Statistik PBB. “Data yang kredibel bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga mempengaruhi kredibilitas internasional Indonesia dan kesejahteraan rakyat,” ujarnya.

Kritik terhadap data BPS tak hanya soal akurasi teknis, tetapi juga risiko reputasi Indonesia di mata investor global. Statistik ekonomi yang diragukan kredibilitasnya bisa menggerus kepercayaan pasar dan mempengaruhi keputusan investasi. CELIOS menilai, integritas data publik merupakan fondasi kepercayaan, baik di level domestik maupun internasional.

BPS sendiri hingga kini belum merespons secara rinci permintaan klarifikasi CELIOS. Dalam beberapa kesempatan sebelumnya, BPS menyatakan bahwa semua perhitungan dilakukan mengikuti standar metodologi statistik internasional dan berdasarkan survei lapangan yang komprehensif.

Kasus ini menjadi ujian serius bagi transparansi statistik nasional di tengah sorotan publik. Hasil tindak lanjut dari PBB terhadap surat CELIOS berpotensi menentukan arah pembenahan sistem statistik Indonesia, sekaligus menguji sejauh mana independensi BPS dalam menjaga integritas data perekonomian.