![]() |
Amerika Serikat menjatuhkan sanksi baru terhadap jaringan ekspor minyak Iran pada 3 Juli 2025. Langkah ini menyasar kapal dan perusahaan di Irak serta UEA. |
Amerika Serikat (AS) kembali menggebrak dengan sanksi baru terhadap ekspor minyak Iran pada 3 Juli 2025, menjadi pukulan pertama terhadap sektor energi Teheran sejak gencatan senjata perang 12 hari antara Israel dan Iran berlaku pada 24 Juni lalu.
Langkah ini menargetkan jaringan penyelundupan minyak yang diduga menghasilkan ratusan juta dolar bagi Iran, dengan dampak yang berpotensi mengguncang pasar minyak global.
Pengusaha Irak hingga perusahaan di Uni Emirat Arab (UEA) jadi sasaran, sementara Teheran meradang, merasa upaya diplomatiknya dikhianati.
Sanksi ini, diumumkan Departemen Keuangan AS pada Kamis malam waktu setempat, menyasar pengusaha Irak-Britania Salim Ahmed Said dan sejumlah perusahaan di UEA seperti VS Tankers FZE, VS Oil Terminal FZE, dan VS Petroleum DMCC.
Mereka dituduh menyelundupkan puluhan juta barel minyak Iran sejak pertengahan 2023 dengan modus mencampurnya dengan minyak Irak, lalu menjualnya di pasar legal menggunakan dokumen palsu.
Kapal-kapal seperti VIZURI, FOTIS, THEMIS, dan BIANCA JOYSEL juga masuk daftar hitam karena terlibat dalam pengangkutan minyak, termasuk yang dikelola oleh Pasukan Quds Garda Revolusi Iran (IRGC-QF).
"Perilaku Iran telah menghancurkannya. Meskipun punya banyak kesempatan untuk memilih perdamaian, para pemimpinnya memilih ekstremisme," tegas Menteri Keuangan AS Scott Bessent, dikutip dari siaran pers resmi.
Langkah AS ini datang setelah gencatan senjata yang rapuh antara Israel dan Iran, yang sempat menahan eskalasi konflik setelah serangan udara Israel pada 13 Juni yang menewaskan ratusan warga Iran, diikuti serangan balasan Iran ke Israel dan pangkalan AS di Qatar.
Presiden AS Donald Trump sempat mengisyaratkan pelonggaran sanksi, bahkan menyebut China boleh membeli minyak Iran.
Namun, janji itu anjlok setelah Pemimpin Tertinggi Iran Ali Khamenei mengklaim kemenangan atas Israel pekan lalu.
Trump langsung kebut respons keras, menghentikan semua rencana keringanan sanksi dan mengklaim telah menyelamatkan Khamenei dari "kematian yang sangat buruk dan terhina" oleh Israel.
Dampak sanksi ini diperkirakan signifikan. Menurut laporan Reuters, Iran mengandalkan ekspor minyak melalui armada "bayangan" untuk menghasilkan pendapatan, dengan China sebagai pembeli utama yang mengimpor 1,1 juta barel per hari pada 2023.
Sanksi terhadap jaringan penyelundupan ini bisa memotong pendapatan Iran hingga ratusan juta dolar, terutama karena kapal seperti BIANCA JOYSEL dilaporkan mengangkut 10 juta barel sejak pertengahan 2024.
"Sanksi ini adalah bagian dari kampanye tekanan maksimum AS untuk memutus sumber pendanaan Iran, tapi efektivitasnya bergantung pada kepatuhan China," kata Dr. Ellen Wald, analis energi dari Atlantic Council.
Ia menambahkan, "Jika China tetap bandel mengimpor minyak Iran, pasar global mungkin hanya merasakan guncangan kecil, tapi tekanan politik akan melonjak."
Sementara itu, Iran tak tinggal diam. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Esmaeil Baghaei, berbicara kepada Sky News pada 4 Juli, mengungkapkan bahwa Teheran sedang menjajaki diplomasi tidak langsung dengan AS melalui Oman dan Qatar.
Namun, ia menegaskan Iran merasa dikhianati. "Diplomasi tidak boleh disalahgunakan atau jadi alat perang psikologis," ujarnya.
Langkah AS ini juga terjadi di tengah ketegangan lain, termasuk keputusan Iran bulan lalu untuk menangguhkan kerja sama dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) setelah serangan AS dan Israel ke fasilitas nuklirnya, yang menurut Pentagon telah menghambat program nuklir Iran hingga dua tahun.
Di sisi lain, Israel belum memberikan reaksi resmi soal sanksi ini, meskipun Menteri Pertahanan Israel Israel Katz sebelumnya mengakui rencana untuk membunuh Khamenei gagal karena "tidak ada peluang operasional."
Konflik yang melibatkan serangan udara dan balasan rudal ini menunjukkan bahwa gencatan senjata belum sepenuhnya meredakan ketegangan.
"Sanksi ini bisa memperumit upaya diplomasi, tapi juga memperkuat posisi AS dan Israel dalam menekan Iran," kata Dr. Trita Parsi, pakar Timur Tengah dari Quincy Institute, kepada Al Jazeera.
Dengan sanksi baru ini, AS jelas ingin memukul keras perekonomian Iran, tapi risiko eskalasi politik dan gangguan pasar minyak tetap mengintai.
Pasar global kini menanti langkah berikutnya dari Teheran dan apakah China akan tetap menjadi penyelamat ekspor minyak Iran. Yang jelas, guncangan dari kebijakan ini belum selesai dirasakan.
0Komentar