![]() |
Fatwa haram sound horeg dari ulama Pasuruan ditanggapi santai pengusaha Malang. David Stefan sebut bisnisnya hanya ikuti permintaan masyarakat, dorong cuan UMKM hingga 40%. (Ist) |
Fenomena sound horeg, parade suara menggelegar yang tengah digandrungi masyarakat, mendadak jadi sorotan usai fatwa haram dikeluarkan ulama di Pasuruan. Fatwa ini muncul pada 1 Muharram 1447 Hijriah, bertepatan dengan tahun baru Islam, dalam Forum Bahtsul Masail di Pondok Pesantren Besuk, Pasuruan.
Meski Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur mendukung larangan tersebut, para pengusaha sound system di Kabupaten Malang tetap kebut dengan respons santai.
Mereka mengaku hanya penyedia jasa yang menjawab permintaan pasar, sembari menegaskan bahwa kegiatan ini punya dampak ekonomi yang tak bisa dianggap remeh.
Fatwa haram ini dikeluarkan dengan alasan sound horeg berpotensi menimbulkan mudarat sosial, bukan cuma soal kebisingan.
KH Ma'ruf Khozin, Ketua Komisi Fatwa MUI Jatim, pada 1 Juli 2025, menegaskan bahwa keputusan ini sah secara metode pengambilan hukum.
"Ponpes Besuk di Pasuruan dipimpin Kiai Muhibbul Aman Aly, Rois Syuriah PBNU, yang kapasitas keilmuannya tak diragukan. Hukumnya sudah tepat," ujar Khozin.
Video fatwa ini bahkan sempat viral, menjangkau ratusan ribu penonton di media sosial, menunjukkan betapa besar perhatian publik terhadap isu ini.
Namun, di tengah gejolak fatwa, pengusaha sound system di Malang memilih tak ambil pusing. David Stefan, perwakilan Paguyuban Sound Malang Bersatu sekaligus pemilik Blizzard Audio, menanggapi dengan santai pada 2 Juli 2025.
"Kami ini hanya sebagai penyedia jasa dan kami disewa oleh masyarakat," katanya kepada wartawan.
David menegaskan, bisnisnya bergantung pada permintaan masyarakat, yang di Malang sendiri masih tinggi.
Menurutnya, sound horeg bukan cuma soal musik keras, tapi juga soal roda ekonomi yang berputar kencang.
David menyoroti sisi positif yang sering luput dari sorotan. Ia menyebutkan bahwa gelaran sound horeg mampu mendongkrak perekonomian lokal, terutama melalui Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
"Pendapatan dari parkir kendaraan yang dikelola warga bisa mencapai jutaan rupiah per acara," ungkapnya.
Belum lagi, kata David, UMKM seperti pedagang makanan dan minuman di sekitar lokasi acara sering kebanjiran pembeli, dengan kenaikan omset hingga 30-40% saat gelaran berlangsung.
Data ini, meski belum resmi, mencerminkan betapa besar kontribusi sound horeg bagi ekonomi lokal.
Lebih lanjut, David mengungkapkan bahwa di Kabupaten Malang, para pelaku usaha sound system sudah menggelar focus group discussion (FGD) dengan berbagai kalangan, termasuk masyarakat dan otoritas lokal.
Hasilnya? Sound horeg tetap bisa jalan dengan aturan yang disepakati bersama.
"Kami sudah duduk bareng, dan hasilnya, kegiatan ini bisa terus berlangsung dengan regulasi yang jelas," tegasnya.
Meski tak menyebut detail aturan tersebut, pernyataan ini menunjukkan bahwa di Malang, ada upaya menjembatani kepentingan ekonomi dan norma sosial.
Kontroversi ini mencerminkan tarik-menarik antara nilai agama dan kepentingan ekonomi. Fatwa dari Ponpes Besuk memang tak diikuti regulasi resmi, sehingga pelaku usaha seperti David merasa masih punya ruang gerak.
Di sisi lain, dukungan MUI Jatim memperkuat posisi ulama, dengan 80% anggota komisi fatwa setuju bahwa sound horeg berpotensi mengganggu moral masyarakat.
Namun, tanpa larangan formal dari pemerintah, gelaran sound horeg diperkirakan tetap akan ramai, terutama di daerah seperti Malang yang punya basis penggemar kuat.
Bagi pengusaha seperti David, fatwa ini mungkin hanya riak kecil di tengah lautan permintaan pasar.
Dengan ratusan acara sound horeg digelar setiap tahun di Malang, yang masing-masing menarik ribuan penonton, bisnis ini tak cuma soal hiburan, tapi juga soal cuan.
"Jangan cuma lihat sisi negatifnya. Ini juga soal kehidupan masyarakat," tutup David, sembari tersenyum santai.
0Komentar