![]() |
Sri Mulyani mendesak Menteri ESDM Bahlil Lahadalia genjot lifting minyak ke 1 juta bph di 2026, sementara realisasi Mei 2025 cuma 568 ribu bph. (Dok. Kemenkeu) |
Produksi minyak nasional alias lifting masih jadi sorotan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mendorong Menteri ESDM Bahlil Lahadalia untuk mempercepat eksplorasi dan "ngebor" lebih banyak demi mendekati target ambisius 1 juta barel per hari (bph).
Ini disampaikan dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-21 Masa Persidangan IV 2024-2025 di Jakarta, Selasa (1/7). Namun, dengan realisasi Mei 2025 hanya 568.000 bph, jauh dari target 605.000 bph, akankah mimpi besar ini tercapai, dan siapa yang akan terdampak?
Berdasarkan Kerangka Ekonomi Makro dan Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) Rancangan APBN 2026, pemerintah menetapkan target lifting minyak di kisaran 600.000 hingga 605.000 bph.
Angka ini masih jauh dari harapan Sri Mulyani yang ingin melihat produksi mendekati 900.000 bph, bahkan 1 juta bph.
“Di sisi lifting minyak, sangat tergantung pada berbagai langkah-langkah yang saat ini sedang terus dilakukan oleh kementerian terkait,” ujar Sri Mulyani dalam rapat tersebut.
Realitas di lapangan memang menantang. Data Kementerian ESDM menunjukkan, pada Mei 2025, lifting minyak hanya mencapai 568.000 bph, turun dari rata-rata 580.000 bph pada kuartal I/2025.
Ini berarti ada gap 37.000 bph dari target APBN 2025. Bahkan, untuk 2026, target hanya naik tipis ke 600.000–610.000 bph.
“Jarak ke 1 juta bph masih panjang. Butuh terobosan besar, baik dari sisi teknologi maupun investasi,” kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, pada Rabu (2/7).
Pemerintah tak tinggal diam. Sri Mulyani menyoroti langkah konkret, seperti peningkatan produksi 30.000 bph dari Lapangan Banyu Urip, Blok Cepu, Bojonegoro, yang baru diresmikan Presiden Prabowo Subianto.
“Ini memberikan milestone baru agar lifting minyak nasional bisa terus ditingkatkan,” ungkapnya.
Selain itu, pemerintah gencar mendorong eksplorasi baru, memberikan insentif investasi, dan mengoptimalkan lapangan eksisting.
Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No. 14 Tahun 2025, kerja sama dengan mitra juga diperkuat, termasuk reaktivasi sumur idle.
Tak ketinggalan, sumur rakyat yang dilegalkan ditargetkan menambah 15.000 bph, meski kontribusinya masih kecil.
Namun, tantangan tak hanya di produksi. Harga minyak mentah Indonesia (ICP) dalam RAPBN 2026 ditetapkan di rentang US$60–US$80 per barel.
Angka ini memicu kontroversi, terutama dari Fraksi PKB yang meminta kenaikan ke US$65–US$85 per barel.
Sri Mulyani menjelaskan, penetapan ICP dipengaruhi tiga faktor: stabilitas politik Timur Tengah, kebijakan produksi OPEC, dan permintaan global, terutama dari Tiongkok, di tengah tren transisi energi.
“Kami harus hati-hati. Asumsi harga yang terlalu tinggi bisa memicu deviasi fiskal, terutama pada pendapatan negara dan subsidi energi,” tegasnya.
Dampak dari kebijakan ini luas. Jika lifting tak kunjung naik, ketergantungan pada impor minyak bisa melonjak, menekan neraca perdagangan.
Pada 2024, impor minyak Indonesia mencapai 200.000 bph, atau sekitar 35% dari kebutuhan domestik.
“Kegagalan mencapai target lifting bisa memperbesar defisit energi dan membebani APBN, terutama untuk subsidi BBM,” kata ekonom energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi.
Sebaliknya, jika target 1 juta bph tercapai, pemerintah memperkirakan penghematan devisa hingga US$5 miliar per tahun, sekaligus memperkuat pendapatan negara dari sektor migas.
Rencana jangka panjang juga tak kalah ambisius. Pemerintah menargetkan lifting 1 juta bph pada 2029–2030, didukung pembangunan kilang minyak berkapasitas total 1 juta bph.
“Ini bukan cuma soal produksi, tapi juga kemandirian energi. Kilang baru akan mengurangi impor BBM,” ujar Komaidi.
Namun, ia mengingatkan, investasi di sektor hulu migas harus digenjot, mengingat eksplorasi baru membutuhkan dana hingga US$15 miliar per tahun, jauh di atas rata-rata investasi saat ini yang hanya US$10 miliar.
Di tengah tekanan global seperti fluktuasi harga minyak dan transisi energi, dorongan Sri Mulyani kepada Bahlil jadi sinyal kuat bahwa pemerintah serius mengejar target lifting.
Namun, dengan realisasi yang masih tertinggal dan gap besar menuju 1 juta bph, keberhasilan akan bergantung pada eksekusi strategi dan stabilitas faktor eksternal.
0Komentar