Obligasi pemerintah AS kehilangan daya tarik akibat perang tarif global. Investor global kini beralih ke emas dan T-Bills, sementara convenience yield obligasi jangka panjang anjlok tajam. (Reuters/Andrew Kelly)

Obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS), yang selama ini jadi primadona dunia keuangan sebagai aset "safe haven", mulai kehilangan kesaktiannya. Rasa aman yang melekat pada surat utang AS, terutama tenor jangka panjang, kini memudar. 

Perang tarif yang meletus pada April 2025 menjadi biang kerok, mendorong investor global, termasuk China dan Jepang, untuk menjual US Treasury dalam jumlah besar. 

Akibatnya, imbal hasil (yield) obligasi melonjak, pasar keuangan bergejolak, dan investor beralih ke emas serta surat utang jangka pendek. 

Siapa yang terdampak? Mulai dari dana pensiun hingga pemerintah AS sendiri, yang kini menghadapi biaya pinjaman lebih mahal.

Perang Tarif Jadi Pemicu

Semuanya bermula pada 2 April 2025, saat Presiden AS Donald Trump mengumumkan tarif tinggi pada impor, memicu perang dagang global. 

China membalas dengan tarif 34% pada 4 April, diikuti eskalasi cepat: tarif AS naik ke 50% pada 7 April, China ke 84% pada 9 April, hingga puncaknya AS menerapkan tarif 145% pada 10 April, sebelum jeda 90 hari diumumkan. China tetap menaikkan tarifnya ke 125% pada 11 April, seperti dilansir CNN Business

Dampaknya langsung terasa di pasar obligasi. Imbal hasil US Treasury 10 tahun, yang jadi acuan suku bunga jangka panjang global, melesat ke 4,497% pada 11 April 2025, tertinggi sejak Februari 2025, menurut CNBC

Dalam sepekan, yield ini melonjak 0,506 basis poin (bps), kenaikan mingguan terbesar sejak 2001, berdasarkan data St. Louis Fed. Total penjualan obligasi AS diperkirakan mencapai US$29 triliun, menurut Reuters, mengingatkan pada krisis "dash-for-cash" 2020.

Convenience Yield Rontok

Apa yang membuat obligasi AS kehilangan daya tarik? Kuncinya adalah convenience yield, atau premi kenyamanan, yang membuat investor rela menerima imbal hasil lebih rendah demi likuiditas, keamanan, dan penerimaan global US Treasury. 

Namun, riset terbaru dari ekonom New York University (NYU), Viral Acharya dan Toomas Laarits, berjudul Tariff War Shock and the Convenience Yield of US Treasuries (SSRN, 23 April 2025), mengungkap fakta mencengangkan: convenience yield obligasi jangka panjang ambruk.

Riset ini menunjukkan, kenaikan pasokan US Treasury jangka panjang sebesar 5% dari PDB AS menyebabkan convenience yield turun 0,94 poin persentase untuk tenor 10 tahun. 

Sebaliknya, obligasi jangka pendek seperti Treasury Bills (T-Bills) tetap menikmati premi kenyamanan, karena investor masih menganggapnya aman dan likuid. 

"Pelemahan convenience yield di jangka panjang sejalan dengan menurunnya sifat lindung nilai aset aman," tulis Acharya dan Laarits, mencatat peningkatan korelasi saham-obligasi berdasarkan data intraday.

Data pasar membuktikan: swap spread 30 tahun melebar ke level negatif terendah sejak pandemi, di bawah -100 bps, sementara imbal hasil 30 tahun melonjak 60 bps dalam sepekan, kenaikan mingguan terbesar sejak 1981, menurut Reuters

Obligasi jangka panjang kehilangan fungsi "safe haven" saat pasar bergejolak, mendorong investor beralih ke T-Bills dan emas.

Investor Global Jual, Bond Vigilantes Beraksi

Aksi jual besar-besaran ini tak lepas dari ulah bond vigilantes, investor yang "menghukum" pemerintah AS dengan menjual obligasi karena dianggap boros atau tidak bertanggung jawab secara fiskal. 

China dan Jepang, dua pemegang besar US Treasury dengan total kepemilikan China mencapai US$761 miliar per Januari 2025, mulai melepas obligasi mereka. 

"Ada kekhawatiran besar secara global karena ketidakpastian arah kebijakan Trump," ujar Peter Tchir dari Academy Securities kepada Reuters.

Kenaikan pasokan utang jangka panjang sejak pandemi 2020, yang memuncak pada 2021, juga menekan convenience yield. 

Pasokan T-Bills melonjak pada 2020 dan 2023, menunjukkan peralihan investor ke instrumen jangka pendek di tengah ketidakpastian. 

Akibatnya, volatilitas pasar meningkat, dengan korelasi saham-obligasi yang sebelumnya negatif (lindung nilai) kini berbalik positif, menurut riset NYU.

Dampak Global dan Ancaman Stagflasi

Kejatuhan pesona US Treasury tak hanya dirasakan di AS. Kenaikan biaya pinjaman berdampak pada pasar global: imbal hasil obligasi Jepang 30 tahun mencapai tertinggi dalam 21 tahun, dan obligasi Inggris 30 tahun tertinggi sejak 1998, menurut Reuters

Di dalam negeri, dana pensiun dan investor institusi yang mengandalkan obligasi jangka panjang untuk stabilitas kini menghadapi risiko kerugian. 

Laporan Nuveen (30 Juni 2025) memperingatkan risiko stagflasi akibat tarif yang menaikkan harga sekaligus melemahkan kepercayaan konsumen dan bisnis.

Laporan IMF Global Financial Stability Report (April 2025) juga menyoroti potensi risiko fiskal jika pasokan T-Bills terus meningkat, memicu ketidakstabilan pembiayaan jangka pendek. 

"Jika tarif berlanjut, convenience yield bisa terus tergerus, membuat biaya pinjaman pemerintah AS semakin mahal," demikian peringatan laporan tersebut.

Hingga 6 Juli 2025, belum ada tanda-tanda pemulihan convenience yield obligasi jangka panjang. Investor global terus memantau kebijakan AS, terutama setelah jeda tarif 90 hari berakhir. 

Sementara T-Bills masih jadi pilihan aman, pergeseran ke emas menunjukkan ketidakpercayaan pada obligasi jangka panjang. 

"Pasar sedang memberikan sinyal peringatan. Pemerintah AS harus hati-hati, atau biaya utang bisa melonjak lebih jauh," kata seorang analis pasar kepada Tradeweb.

Dengan volatilitas yang belum reda, nasib US Treasury tetap jadi sorotan. Apakah obligasi AS bisa kembali jadi "raja" safe haven, atau justru terus kehilangan kesaktiannya?