PM Thailand Paetongtarn diskors setelah rekaman teleponnya dengan Hun Sen bocor, picu krisis politik dan protes besar di Bangkok. (REUTERS)

Mahkamah Konstitusi Thailand resmi menangguhkan Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra dari jabatannya, menyusul kebocoran percakapan teleponnya dengan mantan Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen. 

Insiden ini, yang kini dijuluki “Skandal Telepon,” telah memicu gelombang protes, menggoyahkan koalisi pemerintahan, dan menyeret Thailand ke dalam krisis politik baru. 

Dengan dukungan publik yang anjlok drastis dan tuduhan pelanggaran etika, skandal ini tidak hanya mengancam karier politik Paetongtarn, tetapi juga menggambarkan kerapuhan demokrasi di Negeri Gajah Putih.

Krisis ini bermula dari percakapan telepon pada 15 Juni 2025, ketika Paetongtarn berbicara dengan Hun Sen, yang kini menjabat sebagai Presiden Senat Kamboja. 

Dalam rekaman yang bocor ke publik, Paetongtarn terdengar memanggil Hun Sen dengan sebutan “paman,” sebuah istilah yang dianggap terlalu akrab dan memicu kemarahan publik. 

Lebih kontroversial lagi, ia meminta Hun Sen untuk tidak mendengarkan “pihak lain” di Thailand, termasuk seorang jenderal militer yang disebutnya sebagai “lawan.” 

Percakapan ini merupakan bagian dari upaya Paetongtarn untuk meredakan sengketa perbatasan yang telah berlangsung lama antara Thailand dan Kamboja, yang memanas pada Mei 2025 dengan bentrokan bersenjata yang menewaskan seorang tentara Kamboja.

Namun, kebocoran rekaman itu bak ledakan bom di ranah politik Thailand. Publik dan politisi konservatif menuduh Paetongtarn melemahkan militer dan bersikap tunduk kepada Kamboja, sebuah tuduhan yang sangat sensitif di tengah sentimen nasionalis yang kuat. 

Akibatnya, 36 senator konservatif mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi, menuding Paetongtarn melanggar etika jabatan perdana menteri. 

Dengan keputusan mayoritas 7-2, pengadilan menangguhkan Paetongtarn dari tugasnya mulai 1 Juli 2025, sambil memberikan waktu 15 hari baginya untuk membela diri. 

Sementara itu, Wakil Perdana Menteri Suriya Jungrungruangkit ditunjuk sebagai pelaksana tugas perdana menteri, menambah ketidakpastian di pemerintahan.

Dampak skandal ini terasa sangat besar. Pada 27 Juni 2025, ribuan pendukung Partai Pheu Thai, yang dipimpin Paetongtarn, memadati markas partai di Bangkok untuk menunjukkan solidaritas. 

Namun, di sisi lain, gelombang protes dari kubu konservatif dan nasionalis juga membanjiri ibu kota, menuntut Paetongtarn mundur. 

Situasi kian memanas ketika sebuah partai besar dalam koalisi pemerintahan mengumumkan pengunduran diri dari aliansi, meningkatkan risiko mosi tidak percaya di parlemen. 

Lebih parah lagi, jajak pendapat pada 19-25 Juni 2025 menunjukkan dukungan publik terhadap Paetongtarn anjlok dari 30,9% pada Maret menjadi hanya 9,2%, sebuah penurunan dramatis yang mencerminkan kekecewaan publik.

Skandal ini juga memperlihatkan kerentanan politik keluarga Shinawatra, yang telah lama menjadi pusat badai politik Thailand. 

Paetongtarn, anak dari mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra, adalah anggota ketiga keluarga yang menjabat sebagai perdana menteri. 

Sebelumnya, Thaksin digulingkan melalui kudeta militer pada 2006, sementara kakak Paetongtarn, Yingluck Shinawatra, dipecat oleh pengadilan pada 2014, juga diikuti kudeta. 

Kini, Thaksin sendiri menghadapi sidang pada 1 Juli 2025 atas tuduhan penghinaan terhadap monarki berdasarkan wawancara tahun 2015, dengan ancaman hukuman hingga 15 tahun penjara. 

Kembalinya Thaksin dari pengasingan pada 2023, diikuti dengan pembebasan bersyarat pada Februari 2024, menambah lapisan drama dalam saga politik keluarga ini.

Di tengah krisis ini, Thailand juga bergulat dengan perlambatan ekonomi yang memperburuk sentimen publik. 

Pemerintahan Paetongtarn, yang baru berusia 10 bulan, dikritik karena gagal mengatasi tantangan ekonomi dan kesejahteraan sosial, yang kini diperparah oleh skandal ini. 

Analis politik, seperti Purawich Watanasukh dari Universitas Thammasat, memperingatkan bahwa tanpa reformasi demokrasi untuk membatasi kekuatan institusi tak terpilih seperti pengadilan dan militer, Thailand akan terus terjebak dalam siklus ketidakstabilan. 

Skandal telepon ini, menurut Tony Cheng dari Al Jazeera, juga memunculkan pertanyaan tentang masa depan demokrasi di Thailand, terutama setelah dua perdana menteri digulingkan sejak pemilu terakhir.

Di ranah media sosial, skandal ini menjadi perbincangan hangat. Sebuah unggahan di X oleh TRT World pada 1 Juli 2025, yang telah dilihat ribuan kali, menyoroti penangguhan Paetongtarn di tengah ketegangan perbatasan. 

Sementara itu, unggahan RT menyinggung tuduhan bahwa Paetongtarn berusaha “menenangkan Kamboja,” mencerminkan polarisasi opini publik. 

Meskipun Paetongtarn bersikeras bahwa ucapannya dalam telepon hanyalah bagian dari taktik negosiasi, penjelasan ini gagal meredam kemarahan publik dan politisi konservatif.