![]() |
Pengiriman bantuan medis WHO ke Gaza pada 25 Juni 2025 menembus blokade tiga bulan, membawa 2.000 kantong darah dan pasokan penting. (Foto: Anadolu Agency) |
Ratusan ribu warga Gaza menanti dengan napas tertahan ketika konvoi sembilan truk bantuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) akhirnya menembus blokade total pada 25 Juni 2025.
Pengiriman ini menjadi yang pertama setelah tiga bulan penuh kegagalan, membawa 2.000 kantong darah, 1.500 unit plasma, dan persediaan medis lain ke Kompleks Medis Nasser di Khan Younis.
Meski di mata banyak orang langkah ini tampak monumental, WHO sendiri menyebutnya hanya sebagai “setetes di lautan,” karena kebutuhan di wilayah konflik ini telah mencapai titik yang nyaris tak terbayangkan.
Lebih dari 2 juta warga Palestina hidup dalam kondisi darurat kemanusiaan. Sistem kesehatan yang nyaris runtuh, kelaparan massal, penyakit yang merebak, serta blokade yang membuat aliran bantuan terhenti selama berbulan-bulan — semua ini menciptakan gambaran bencana kemanusiaan terbesar di Gaza dalam dekade terakhir.
“Ini hanya permulaan, bukan solusi,” kata Dr. Ahmed El Mokhallalati, ahli bedah di Kompleks Medis Nasser, kepada lembaga medis internasional. “Kami kehabisan obat, kantong darah, bahkan kain kasa. Pasien datang dalam keadaan sekarat dan kami tak punya apa-apa untuk menolong.”
Mengapa Bantuan WHO Ini Begitu Penting?
Sejak 2 Maret 2025, Gaza praktis terisolasi total. Tidak ada truk, tidak ada bahan bakar, tidak ada pasokan medis yang diizinkan masuk selama lebih dari tiga bulan.
Padahal sebelumnya, antara 19 Januari hingga 1 Maret 2025, gencatan senjata memungkinkan 42.000 truk bantuan masuk.
Kontras ini memunculkan pertanyaan tajam: apakah penderitaan warga sipil Gaza adalah hasil dari masalah logistik, atau keputusan kebijakan yang disengaja?
Bagi WHO, pengiriman 25 Juni ini adalah semacam titik terang — meski mereka menegaskan volumenya sangat jauh dari cukup. Seorang pejabat WHO menyatakan:
“Gaza membutuhkan ratusan truk bantuan setiap hari, bukan hanya sembilan,” tegas Dr. Richard Brennan, Direktur Kedaruratan Regional WHO. “Kalau akses tetap dibatasi seperti ini, orang-orang akan terus mati karena sebab-sebab yang sebenarnya bisa dicegah.”
Krisis kemanusiaan yang memburuk di Gaza
Angka-angka yang datang dari Gaza sangat mencengangkan. Lebih dari 56.000 warga tewas dan 132.000 terluka sejak serangan 7 Oktober 2023, menurut laporan Kementerian Kesehatan Gaza.
Rumah sakit kewalahan: hanya 17 dari 36 rumah sakit yang masih berfungsi secara minimal pada akhir Juni 2025.
![]() |
Fasad utama dan pintu masuk Nasser Medical Complex di Khan Younis, Gaza – salah satu rumah sakit terbesar dan terakhir yang masih berfungsi di Gaza Selatan. (Foto: MSF) |
Kompleks Medis Nasser, salah satu fasilitas terbesar, beroperasi pada 180% kapasitas, sementara Rumah Sakit Al-Amal hanya mampu menangani pasien pada 100% kapasitas — artinya praktis tidak mampu menerima pasien baru.
Dari 312 ruang operasi yang ada sebelum konflik, hanya 45 yang masih aktif.
Bank darah pun di ambang kehancuran. WHO mencatat kebutuhan bulanan darah di Gaza mencapai 8.000 unit, tetapi persediaan sebelum bantuan ini hanya 500 unit — jauh di bawah kebutuhan minimum.
“Warga yang kelaparan tidak bisa mendonorkan darah,” kata seorang petugas medis lokal, menyoroti bagaimana malnutrisi membuat kampanye donor darah praktis mustahil.
Kondisi ini diperparah oleh meledaknya wabah penyakit yang dapat dicegah. Dalam dua pekan sebelum kedatangan konvoi WHO, tercatat lebih dari 19.000 kasus diare berair akut, serta 200 kasus sindrom ikterus akut akibat air minum yang terkontaminasi dan sanitasi yang hancur.
Lingkungan berbahaya bagi pekerja kemanusiaan
Tak hanya warga sipil yang menderita — para pekerja bantuan pun menjadi korban. Sejak Oktober 2023, lebih dari 1.400 tenaga kesehatan dan 463 pekerja kemanusiaan, termasuk 319 staf PBB, dilaporkan tewas di Gaza.
WHO sendiri mencatat 56 serangan terhadap fasilitas kesehatan sejak Maret 2025, menghancurkan rumah sakit, ambulans, dan posko kesehatan darurat.
Situasi ini melanggar prinsip dasar hukum humaniter internasional yang seharusnya melindungi tenaga medis.
“Tidak ada zona aman lagi,” ujar seorang perawat di Gaza, “Bahkan rumah sakit kini jadi sasaran.”
Bagaimana Bantuan WHO Bisa Masuk?
Konvoi sembilan truk WHO pada 25 Juni berhasil melewati penyeberangan Kerem Shalom tanpa insiden penjarahan — sebuah pencapaian besar mengingat sebelumnya banyak distribusi bantuan yang berujung kekerasan.
Sumber-sumber lokal menyebutkan adanya peran kelompok klan dan suku Palestina yang secara informal ikut mengamankan jalur bantuan, meski tidak disebut resmi dalam laporan WHO.
Ini menunjukkan betapa pentingnya peran komunitas lokal di tengah kegagalan mekanisme formal.
Namun, harus diakui: rata-rata hanya 56 truk bantuan masuk ke Gaza setiap hari sejak pertengahan Mei, jauh di bawah perkiraan kebutuhan ratusan truk per hari.
Politik Bantuan yang Sarat Kepentingan
Pengiriman bantuan WHO juga tidak lepas dari pusaran politik yang rumit. Israel menuduh Hamas mencuri bantuan, sementara PBB membantah adanya pengalihan bantuan secara sistematis.
Israel bersama Amerika Serikat mendorong model distribusi baru melalui Gaza Humanitarian Foundation (GHF), sebuah badan swasta yang mereka dukung.
Namun, banyak organisasi kemanusiaan mengkritik model ini karena rawan pelanggaran prinsip netralitas dan kerap menjadi sasaran penembakan saat distribusi.
“Distribusi bantuan tidak boleh dijadikan alat perang,” tegas Dr. Sara Hamdan, pakar hukum humaniter di Universitas Jenewa. “Kalau zona distribusi di bawah kontrol militer, warga sipil otomatis berisiko.”
Upaya lain seperti koridor laut Siprus (“Amalthia”) dan dermaga apung AS pun nyaris gagal total, dihantam masalah logistik dan keamanan.
Sementara itu, pembatasan administratif, izin pergerakan yang lambat, serta pertempuran di lapangan terus membuat aliran bantuan macet.
Harapan atau Sekadar Simbol?
Konvoi WHO pada 25 Juni memang menyalakan secercah harapan — bahwa dunia belum sepenuhnya melupakan Gaza. Namun, kenyataannya jauh lebih pahit.
“Kami hanya bisa bertahan beberapa hari dengan stok baru ini,” kata Dr. El Mokhallalati, “Setelah itu kami kembali menunggu di bawah bayang-bayang bom dan kelaparan.”
Tanpa pencabutan blokade secara menyeluruh, tanpa perlindungan hukum untuk tenaga medis, dan tanpa gencatan senjata yang nyata, bantuan kemanusiaan sebesar apa pun akan tetap ibarat menampung air di keranjang bocor.
Para ahli sepakat, ada serangkaian langkah mendesak:
Cabut segera semua pembatasan masuknya bantuan, termasuk bahan bakar dan pasokan air bersih.
Pastikan akses aman di seluruh jalur distribusi, tidak hanya satu-dua penyeberangan.
Perkuat peran sistem bantuan PBB, tanpa politisasi oleh negara-negara besar.
Lindungi infrastruktur kesehatan dan pekerja medis sesuai hukum humaniter internasional.
Dorong gencatan senjata yang sungguh-sungguh, sebagai solusi jangka panjang.
Usut dan tindak pelanggaran hukum perang, terutama serangan terhadap rumah sakit dan fasilitas sipil.
Pengiriman bantuan WHO pada 25 Juni hanyalah penanda — bahwa dunia punya kapasitas untuk bertindak, tetapi belum punya kemauan politik yang cukup kuat untuk memutus lingkaran penderitaan di Gaza.
.
Tanpa perubahan menyeluruh, krisis kesehatan dan kemanusiaan ini akan terus memakan korban tak berdosa — setiap hari, setiap jam, tanpa jeda.
0Komentar