![]() |
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengusulkan subsidi listrik 2026 tembus Rp104,9 triliun, naik 19,7% dari 2025. Sasar 44,88 juta pelanggan, fokus rumah tangga miskin dan UMKM. ( flip.id) |
Pemerintah melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengusulkan kenaikan subsidi listrik untuk Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 yang mencapai Rp97,37 triliun hingga Rp104,97 triliun.
Angka ini melonjak signifikan dibandingkan alokasi subsidi listrik dalam APBN 2025 yang sebesar Rp87,72 triliun, atau naik hingga 19,7% pada skenario tertinggi.
Kenaikan ini bakal menyasar 44,88 juta pelanggan, dengan fokus utama pada rumah tangga miskin dan rentan, serta sektor bisnis kecil dan industri.
Namun, apa saja pemicu kenaikan ini, dan siapa yang bakal merasakan dampaknya?
Bahlil menjelaskan, usulan ini disampaikan dalam Rapat Kerja bersama Komisi XII DPR RI di Jakarta, Rabu (2/7/2025).
Menurutnya, kenaikan subsidi listrik ini sudah mempertimbangkan kebutuhan masyarakat berpenghasilan rendah agar tetap mampu mengakses listrik tanpa beban finansial berat.
"Subsidi listrik dalam RAPBN 2026 sebesar Rp97,37 triliun sampai Rp104,97 triliun. Ini untuk memastikan subsidi tepat sasaran, hanya untuk golongan berhak seperti rumah tangga miskin dan rentan, sekaligus mendorong transisi energi yang lebih efisien," ungkap Bahlil dalam rapat tersebut.
Sementara itu, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jisman P. Hutajulu, membeberkan bahwa proyeksi kenaikan ini didasarkan pada sejumlah asumsi makroekonomi yang realistis.
Nilai tukar rupiah diperkirakan berada di kisaran Rp16.500 hingga Rp16.900 per dolar AS, harga minyak mentah Indonesia (ICP) antara 60 hingga 80 dolar AS per barel, dan inflasi di rentang 1,5% hingga 3,5%.
"Jika asumsi makro berada di batas bawah, subsidi bisa mencapai Rp97,37 triliun. Tapi kalau sampai batas atas, angkanya bisa tembus Rp104,97 triliun," jelas Jisman dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi XII DPR RI, Senin (30/6/2025).
Kenaikan ini juga dipicu oleh proyeksi pertumbuhan konsumsi listrik yang signifikan. Jisman memprediksi penjualan listrik pada 2026 bakal naik 11,6%, dari 73,1 terawatt hour (TWh) pada 2025 menjadi 81,6 TWh.
Selain itu, biaya bahan bakar pembangkit listrik juga diperkirakan melonjak 18,9%, dari Rp92 triliun pada 2025 menjadi Rp228 triliun pada 2026, akibat volatilitas kurs dan harga minyak.
Faktor-faktor ini membuat beban subsidi listrik kian berat, meski pemerintah berupaya menekan biaya melalui efisiensi operasional pembangkit.
Dari sisi penerima, subsidi listrik ini akan menjangkau 44,88 juta pelanggan, dengan porsi terbesar dialokasikan untuk rumah tangga berdaya 450 VA dan 900 VA, yang mencakup 24,75 juta dan 10,49 juta pelanggan secara berturut-turut.
Total pelanggan PLN hingga Mei 2025 tercatat mencapai 85,4 juta, dengan 67,49% subsidi listrik pada 2024 dialokasikan untuk sektor rumah tangga.
Pada 2025, proporsi ini diperkirakan sedikit turun menjadi 64,41%. Selain rumah tangga, sektor bisnis kecil, industri kecil, dan fasilitas sosial seperti rumah ibadah juga bakal kecipratan manfaat subsidi ini.
Namun, kenaikan subsidi ini bukannya tanpa tantangan. Jisman menegaskan bahwa pemerintah terus berupaya mengendalikan beban subsidi dengan mengelola Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik, yang menjadi dasar perhitungan subsidi.
Beberapa langkah strategis termasuk menetapkan roadmap konsumsi bahan bakar spesifik untuk pembangkit, menerapkan harga gas bumi tertentu sebesar 7 dolar AS per MMBtu, dan mengurangi kehilangan listrik selama penyaluran, khususnya di daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal (3T).
Kebijakan domestic market obligation (DMO) batu bara sebesar 70 dolar AS per ton juga diterapkan untuk menekan biaya bahan bakar pembangkit.
Realisasi subsidi listrik sendiri menunjukkan tren kenaikan dari tahun ke tahun. Pada 2024, realisasi subsidi mencapai Rp77,05 triliun, naik dari Rp68 triliun pada 2023, Rp59 triliun pada 2022, dan Rp50 triliun pada 2021.
Hingga Mei 2025, penyaluran subsidi sudah menyentuh Rp34,6 triliun, dengan proyeksi akhir tahun mencapai Rp90,32 triliun, melampaui target APBN 2025 sebesar Rp87,72 triliun.
Kenaikan ini dipicu oleh faktor eksternal seperti inflasi, nilai tukar, dan harga minyak yang sulit dikendalikan.
Kebijakan ini diharapkan mampu menjaga daya beli masyarakat, terutama kelompok miskin dan rentan, sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi.
Dengan biaya listrik yang lebih terjangkau, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) diharapkan bisa memangkas biaya operasional dan meningkatkan produktivitas.
Namun, di sisi lain, kenaikan anggaran subsidi ini juga memicu pertanyaan: apakah alokasi sebesar ini akan efisien atau justru membebani keuangan negara?
Bahlil menegaskan, fokus pemerintah adalah memastikan subsidi ini tepat sasaran, agar tidak lagi dinikmati oleh kelompok yang tidak berhak, seperti yang kerap terjadi pada subsidi bahan bakar minyak (BBM) di masa lalu.
0Komentar