Saham Gudang Garam anjlok 30% di 2025 akibat rumor kebangkrutan dan laba turun 81%. Apakah masih layak investasi? (gudanggaramtbk.com)

PT Gudang Garam Tbk (GGRM), raksasa rokok nasional, sedang didera badai hebat. Laba bersih perusahaan anjlok drastis 81,57% sepanjang 2024, merosot dari Rp5,32 triliun menjadi hanya Rp980,8 miliar. Penurunan ini terjadi di tengah pendapatan yang juga terpangkas 17%, dari Rp119 triliun pada 2023 menjadi Rp99 triliun. 

Pemicunya? Kenaikan tarif cukai yang mencapai Rp74 triliun, persaingan ketat di industri rokok, dan penurunan volume penjualan. 

Kondisi ini langsung menghantam kinerja saham GGRM, yang sejak awal tahun sudah tergerus lebih dari 30%, dari posisi di atas Rp13.000 menjadi Rp8.925 per saham pada penutupan perdagangan Rabu (2/7/2025). 

Lantas, di tengah rumor kebangkrutan yang kian memanas, masihkah saham GGRM layak dikoleksi investor?

Penurunan kinerja GGRM bukan sekadar angka. Segmen rokok Sigaret Kretek Mesin (SKM), tulang punggung pendapatan perusahaan, mencatat penurunan penjualan sebesar 9% menjadi Rp87 triliun. 

Beban produksi yang mencakup pita cukai dan pajak rokok membengkak hingga 90% dari total pendapatan, menekan margin keuntungan hingga nyaris tak tersisa. 

Tak hanya itu, segmen non-rokok seperti infrastruktur dan karton justru mencatat kerugian masing-masing Rp377 miliar dan Rp104 miliar, memperparah kondisi keuangan. 

Total aset perusahaan per 31 Desember 2024 juga menyusut 8,13% menjadi Rp84,93 triliun, meskipun ekuitas sedikit naik dari Rp60,86 triliun menjadi Rp61,91 triliun.

Di pasar saham, tekanan tak kalah berat. Harga saham GGRM yang kini berada di level Rp8.925 per saham mencerminkan sentimen negatif yang kian memburuk. 

Pengamat pasar modal Lanjar Nafi menegaskan bahwa penurunan ini lebih disebabkan oleh pelemahan fundamental perusahaan ketimbang sentimen sesaat seperti rumor kebangkrutan. 

"Kenaikan cukai, persaingan ketat, dan penurunan volume penjualan menjadi pemicu utama. Segmen rokok mesin, yang selama ini jadi andalan GGRM, sedang terhimpit," ujarnya kepada Warta Ekonomi, Rabu (2/7/2025).

Namun, rumor kebangkrutan yang belum terkonfirmasi ikut memperkeruh suasana. Hingga kini, manajemen GGRM belum mengeluarkan pernyataan resmi untuk membantah atau mengklarifikasi isu tersebut, yang beredar luas di media sosial dan platform seperti YouTube. .

Ketidakpastian ini memicu reaksi berlebihan dari investor ritel, yang cenderung langsung melepas saham tanpa mempertimbangkan valuasi atau potensi pemulihan. 

"Investor ritel sering kali panik dan memicu efek berantai, menekan harga saham lebih dalam," tambah Lanjar.

Meski demikian, GGRM tetap berusaha menjaga kepercayaan investor dengan membagikan dividen tunai sebesar Rp962 miliar, atau 98% dari laba bersih 2024, dengan jadwal pembayaran pada 23 Juli 2025. 

Keputusan ini, meski menunjukkan komitmen kepada pemegang saham, memunculkan tanda tanya soal keberlanjutan, mengingat laba perusahaan anjlok tajam. 

Biasanya, GGRM hanya mengalokasikan 20-40% laba bersih untuk dividen, sehingga kebijakan ini terlihat agresif di tengah kondisi sulit.

Industri rokok sendiri tengah menghadapi tekanan struktural yang tak ringan. Kenaikan cukai yang konsisten menekan margin produsen, sementara daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih pasca pandemi. 

Maraknya rokok ilegal dan perubahan tren konsumsi, seperti meningkatnya minat Generasi Z pada produk vape, juga mempersempit ruang gerak pemain rokok legal seperti GGRM. 

"Kondisi ini tidak hanya dialami GGRM, tapi mereka yang bergantung pada segmen rokok mesin merasakan dampak lebih berat," kata Lanjar.

Untuk bangkit dari keterpurukan, Lanjar menyarankan GGRM segera mengambil langkah strategis. Diversifikasi produk, seperti mengembangkan portofolio di luar rokok tradisional, menjadi salah satu opsi. 

Efisiensi operasional dan ekspansi ke lini usaha lain juga bisa memperkuat posisi keuangan. Yang tak kalah penting, manajemen perlu meningkatkan transparansi dan komunikasi strategis dengan publik serta investor untuk meredam spekulasi negatif. "Tanpa komunikasi yang jelas, pasar akan terus dihantui ketidakpastian," tegasnya.

Secara teknikal, saham GGRM memang tampak undervalued dengan harga saat ini. Namun, Lanjar menegaskan bahwa risiko investasi masih terlalu tinggi. 

"Investor sebaiknya menunggu kejelasan strategi dari manajemen atau sinyal pemulihan yang konkret, seperti laporan keuangan kuartal berikutnya yang dijadwalkan rilis antara 29 Juli hingga 4 Agustus 2025," ujarnya. 

Ia juga merekomendasikan investor untuk melakukan rebalancing portofolio guna mengurangi paparan risiko, terutama bagi mereka yang tidak siap menghadapi volatilitas tinggi.

Bagi investor ritel, saham GGRM saat ini ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, harga yang sudah terdiskon signifikan bisa jadi peluang untuk masuk dengan harapan pemulihan di masa depan. 

Di sisi lain, tanpa kejelasan dari manajemen dan dengan tekanan fundamental yang masih berat, risiko kerugian lebih lanjut tetap mengintai. 

Investor dengan toleransi risiko tinggi mungkin mempertimbangkan untuk masuk, tetapi dengan due diligence ketat dan kesiapan menahan gejolak. 

Namun, bagi investor yang mencari keamanan, menahan diri hingga ada sinyal positif yang lebih kuat adalah langkah bijak.

Jadi, masih layakkah saham GGRM dikoleksi? Untuk saat ini, jawabannya condong ke "belum". Pantau terus perkembangan terbaru, karena di pasar saham, ketidakpastian adalah musuh terbesar investor.