Rusia mengumumkan kemenangan besar dalam konflik yang telah berlangsung lebih dari tiga tahun di Ukraina pada 1 Juli 2025. Wilayah Luhansk, salah satu pusat pertempuran utama di Ukraina timur, diklaim telah sepenuhnya dikuasai oleh Moskow, menandai wilayah pertama yang berada di bawah kendali penuh Rusia sejak invasi besar-besaran pada Februari 2022.
Dengan luas 26.700 kilometer persegi, keberhasilan ini tidak hanya memperkuat posisi Rusia di garis depan, tetapi juga mengirimkan sinyal kuat kepada Ukraina dan sekutunya di Barat.
Sekitar 19% wilayah Ukraina yang diakui secara internasional kini berada di bawah kendali Rusia, termasuk sebagian besar Donetsk, Zaporizhzhia, Kherson, serta sebagian kecil Kharkiv dan Sumy.
Namun, di balik klaim kemenangan ini, dunia internasional terus mempertanyakan dampak jangka panjang dari eskalasi konflik yang telah memakan ratusan ribu korban jiwa dan memicu krisis pengungsi terbesar di Eropa sejak Perang Dunia II.
Konflik Rusia-Ukraina, yang dimulai pada 2014 dengan aneksasi Krimea dan pemberontakan separatis di Donbas, mencapai puncaknya pada 24 Februari 2022, ketika Presiden Vladimir Putin melancarkan "operasi militer khusus" ke Ukraina.
Putin, yang kerap menyatakan bahwa Rusia dan Ukraina adalah "satu kesatuan," mengklaim invasi ini bertujuan untuk "melindungi" warga sipil di Donbas serta mencegah ekspansi NATO ke timur.
Luhansk, bersama Donetsk, Zaporizhzhia, dan Kherson, secara sepihak dinyatakan sebagai bagian dari Federasi Rusia pada September 2022, meskipun langkah ini dikecam keras oleh komunitas internasional.
Sejak itu, Rusia terus mendorong kemajuan di garis depan, terutama di wilayah timur Ukraina. Pada November 2024, pasukan Rusia mencatat rekor dengan merebut 600 kilometer persegi wilayah Ukraina, termasuk permukiman strategis seperti Avdiivka, Selydove, Vuhledar, dan Kurakhove.
Penggunaan strategi perang modern, seperti Drone-Centric Warfare (DCW), disebut-sebut sebagai kunci keberhasilan Rusia dalam merebut kota-kota penting seperti Sudzha di Kursk Oblast.
Namun, keberhasilan ini tidak datang tanpa harga: laporan intelijen Barat memperkirakan ratusan ribu tentara dari kedua belah pihak tewas atau terluka, sementara wilayah timur dan selatan Ukraina telah berubah menjadi medan terlantar.
Penguasaan Luhansk oleh Rusia memperburuk situasi kemanusiaan di Ukraina. Sejak invasi 2022, lebih dari 8 juta warga Ukraina telah mengungsi ke luar negeri, sementara 7 juta lainnya menjadi pengungsi internal, menjadikan ini krisis pengungsi terbesar di Eropa sejak Perang Dunia II.
Infrastruktur sipil, termasuk lebih dari 200 ribu tempat tinggal, telah hancur akibat serangan Rusia. Wilayah-wilayah yang diduduki, termasuk Luhansk, kini berada di bawah tekanan administrasi Rusia, dengan laporan pelanggaran hukum internasional dan penolakan Kyiv atas klaim kedaulatan Moskow.
Secara geopolitik, kemenangan ini meningkatkan kepercayaan diri Putin, yang dalam pidato akhir tahun 2024 menyebut kemajuan militernya sebagai "keberhasilan" dan menyatakan bahwa Rusia "merebut dan mengembalikan wilayah" setiap hari.
Namun, di sisi lain, kekalahan di Suriah—dengan jatuhnya rezim Assad—mengurangi pengaruh Rusia di Timur Tengah, memaksa Moskow untuk fokus pada front Ukraina.
Sementara itu, dukungan Barat untuk Ukraina mulai menunjukkan tanda-tanda melemah, dengan aliran bantuan militer dan finansial senilai lebih dari $165 miliar dari AS dan Uni Eropa menyusut dalam beberapa bulan terakhir.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky memperingatkan bahwa tanpa dukungan AS, peluang Ukraina untuk bertahan sangat kecil.
Bradley Bowman, direktur senior Center on Military and Political Power di Foundation for Defense of Democracies, menegaskan bahwa ambisi Putin tidak terbatas pada Luhansk atau Donbas.
“Ukraina adalah elemen kunci dari visi Putin untuk mengembalikan Rusia sebagai adikuasa. Penguasaan wilayah seperti Luhansk adalah langkah strategis untuk melemahkan kedaulatan Ukraina dan mengirim pesan kepada NATO,” ujarnya.
Sementara itu, Ben Barry, analis perang darat senior di IISS, memperingatkan bahwa Rusia memiliki sumber daya untuk memperpanjang konflik.
“Dengan inisiatif di medan perang dan jumlah tank serta kendaraan lapis baja yang masih signifikan, Rusia mampu mempertahankan tekanan militer, meski dengan korban besar di kedua belah pihak,” katanya.
Di sisi lain, juru bicara Kementerian Luar Negeri Ukraina, Oleg Nikolenko, menegaskan sikap Kyiv: “Setiap upaya Rusia untuk mengubah batas-batas kami adalah pelanggaran hukum internasional. Kami tidak akan pernah mengakui pendudukan ini.”
Dengan penguasaan Luhansk, Rusia kemungkinan akan mempercepat operasinya di Donetsk untuk mengamankan seluruh wilayah Donbas, yang menjadi tujuan utama Putin.
Namun, tantangan besar tetap ada: Ukraina terus melawan dengan dukungan senjata Barat, termasuk rudal jarak jauh, yang telah memicu respons keras dari Rusia, seperti penggunaan rudal hipersonik Oreshnik di Dnepr pada November 2024.
Di sisi diplomatik, Putin mengisyaratkan kesiapan untuk bernegosiasi tanpa syarat, meski dengan syarat kontroversial seperti mengesampingkan Zelensky sebagai pihak yang sah.
Namun, Zelensky menolak tawaran damai yang dianggapnya sebagai “ultimatum.” Sementara itu, potensi perubahan kebijakan AS di bawah pemerintahan baru dapat mengubah dinamika konflik, dengan Donald Trump dilaporkan telah berbicara dengan Putin untuk mencari penyelesaian.
Untuk Ukraina, mempertahankan dukungan internasional dan meningkatkan produksi senjata domestik akan menjadi kunci.
Industri pertahanan Ukraina, seperti Ukrainian Defense Industry, telah meningkatkan pendapatan sebesar 69% pada 2023, menunjukkan potensi untuk mandiri secara militer.
Namun, tanpa gencatan senjata atau solusi diplomatik, perang berdarah ini berisiko berlarut-larut, meninggalkan jejak kehancuran yang lebih dalam bagi kedua belah pihak.
Kemenangan Rusia di Luhansk adalah tonggak penting dalam perang yang telah mengguncang tatanan global.
Meski Putin mengklaim keberhasilan, harga yang dibayar—baik dalam korban jiwa, kehancuran infrastruktur, maupun isolasi internasional—tetap tinggi.
Bagi Ukraina, perjuangan untuk mempertahankan kedaulatan terus berlanjut di tengah tantangan militer dan kemanusiaan yang kian kompleks.
Dunia kini menanti langkah berikutnya. akankah konflik ini berakhir di meja perundingan, atau justru memicu eskalasi yang lebih besar?
0Komentar