Dugaan penguasaan pulau-pulau kecil di Bali dan Nusa Tenggara Barat (NTB) oleh warga negara asing (WNA) menjadi bom waktu baru di sektor agraria Indonesia.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid blak-blakan mengungkap isu ini dalam rapat bersama Komisi II DPR RI di Jakarta pada 1 Juli 2025.
Fenomena ini, yang mencakup pembangunan rumah dan resor atas nama asing, memicu kekhawatiran tentang kedaulatan wilayah dan potensi efek domino di sektor investasi dan geopolitik.
Siapa yang terdampak? Tidak hanya pemerintah, tetapi juga masyarakat lokal, pelaku usaha, hingga investor asing yang kini berada di bawah sorotan.
Nusron menyoroti bahwa sejumlah pulau kecil di dua provinsi wisata unggulan Indonesia itu diduga telah dikuasai WNA, meskipun regulasi Indonesia secara tegas melarang kepemilikan langsung pulau oleh pihak asing.
"Penjualan pulau-pulau kecil kepada oknum-oknum pihak asing atau WNA. Ini ada beberapa kejadian, enggak tahu dulu prosesnya bagaimana, tiba-tiba intinya apakah legal standing-nya kayak apa akan kita cek," ujar Nusron, seperti dikutip dari CNN Indonesia.
Ia menambahkan bahwa di pulau-pulau tersebut telah berdiri rumah dan resor yang terdaftar atas nama WNA, meskipun belum jelas apakah penguasaan dilakukan langsung atau melalui kontrak dengan warga negara Indonesia (WNI).
Skala masalah ini belum sepenuhnya terkuak karena Nusron tidak menyebutkan nama pulau yang dimaksud, tetapi dampaknya berpotensi besar.
Bali dan NTB menyumbang porsi signifikan terhadap pariwisata Indonesia, dengan kontribusi sektor pariwisata Bali mencapai 27% dari PDB provinsi pada 2024, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS).
Jika pulau-pulau strategis jatuh ke tangan asing, ini bukan hanya soal kepemilikan tanah, tetapi juga ancaman terhadap perekonomian lokal dan keamanan nasional.
"Secara kasat mata, pulau tersebut itu dibangun rumah, dibangun resort atas nama asing," kata Nusron, menegaskan urgensi pengecekan legalitas oleh Kementerian ATR/BPN.
Ahli hukum agraria dari Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Maria S.W. Sumardjono, menilai isu ini mencerminkan celah dalam pengawasan kepemilikan tanah.
"Secara hukum, UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria melarang WNA memiliki hak milik atas tanah di Indonesia. Namun, praktik kerja sama dengan WNI atau badan hukum Indonesia sering menjadi modus untuk mengelola aset strategis seperti pulau," ungkapnya.
Menurut Maria, skema seperti sewa jangka panjang atau pengelolaan melalui perusahaan patungan kerap digunakan untuk menyiasati regulasi, yang bisa mencapai durasi hingga 70 tahun berdasarkan PP No. 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan.
Data Kementerian ATR/BPN menunjukkan bahwa hingga 2024, terdapat 16.133 pulau kecil di Indonesia, dengan 30% di antaranya berada di wilayah timur seperti NTB.
Sekitar 10% dari pulau-pulau ini memiliki potensi investasi tinggi, terutama untuk pariwisata. Namun, pengawasan terhadap transaksi kepemilikan atau pengelolaan pulau masih lemah.
"Kami sedang meneliti apakah ini murni pelanggaran atau ada skema kerja sama yang sah dengan WNI," tambah Nusron, menyoroti kompleksitas masalah ini.
Isu ini juga memiliki dimensi geopolitik yang tidak bisa diabaikan. Nusron sebelumnya mencurigai adanya kepentingan geopolitik di balik fenomena penjualan pulau secara online, sebagaimana dilaporkan Kompas pada 1 Juli 2025.
Kasus serupa di Anambas, Kepulauan Riau, memperlihatkan pola yang mengkhawatirkan, di mana pihak yang menawarkan pulau untuk dijual ternyata bukan pemilik sah.
"Penjual pulau Anambas itu aneh, bukan pemilik tapi menjual," ujar Nusron dalam pernyataan terpisah pada 25 Juni 2025. Ini menunjukkan adanya potensi sindikat atau praktik ilegal yang lebih luas.
Dampaknya terhadap investor asing juga signifikan. Indonesia telah menarik investasi asing di sektor pariwisata sebesar Rp 123 triliun pada 2024, menurut Kementerian Investasi/BKPM.
Namun, jika isu penguasaan pulau oleh WNA tidak segera ditangani, kepercayaan investor bisa tergerus.
"Ini seperti efek domino. Ketidakpastian hukum bisa membuat investor ragu, sementara masyarakat lokal kehilangan akses ke sumber daya alam," kata Dr. Drajad Wibowo, ekonom senior dari Universitas Trisakti.
Pemerintah kini berada di persimpangan. Kementerian ATR/BPN berjanji untuk mempercepat investigasi, dengan fokus pada legal standing kepemilikan pulau-pulau tersebut.
Namun, tanpa pengungkapan detail pulau yang dimaksud, publik hanya bisa berspekulasi. "Kami tidak ingin gegabah, tetapi ini soal kedaulatan. Kami akan tindak tegas jika ada pelanggaran," tegas Nusron.
Bagi masyarakat Bali dan NTB, isu ini menambah ketegangan di tengah maraknya investasi asing di sektor pariwisata.
Data Dinas Pariwisata Bali mencatat bahwa 60% penginapan di wilayah selatan Bali dikelola oleh entitas asing melalui skema kemitraan, yang kini juga menjadi sorotan.
Jika investigasi Kementerian ATR/BPN menemukan pelanggaran, ini bisa menjadi titik balik untuk memperketat regulasi investasi asing di sektor strategis.
0Komentar