![]() |
Anggota DPR/Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bambang Soesatyo (kanan) mengunjungi pabrik rokok merek HS, di Magelang Jawa Tengah, Minggu (29/6/2025). (Dok. Bamsoet) |
Industri rokok kembali menjadi sorotan setelah kunjungan anggota DPR RI Bambang Soesatyo ke pabrik Rokok HS di Magelang, Jawa Tengah, pada Minggu (29/6/2025).
Di tengah tekanan regulasi ketat dan kesadaran masyarakat akan bahaya merokok, Bamsoet menegaskan bahwa sektor ini tetap menjadi pilar penunjang perekonomian nasional.
Dengan kontribusi cukai Rp 232 triliun pada 2024 dan penyerapan 6 juta tenaga kerja, industri rokok berdampak besar bagi jutaan keluarga Indonesia. Namun, kenaikan tarif cukai dan maraknya rokok ilegal mengancam keberlanjutan sektor ini.
Menurut data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, pada 2024, penerimaan negara dari cukai hasil tembakau (CHT) mencapai Rp 232 triliun, menyumbang 9-10% dari total pendapatan negara.
Angka ini menjadikan cukai rokok sebagai penyumbang terbesar dalam kategori cukai, sebagian besar dialokasikan untuk mendanai Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui Dana Bagi Hasil (DBH) CHT.
“Industri rokok memiliki peran kompleks dalam perekonomian Indonesia. Di satu sisi, sektor ini memberikan kontribusi signifikan dalam hal pendapatan dan lapangan kerja.
Di sisi lain, tantangan kesehatan dan kebijakan ketat menuntut inovasi dari pelaku industri,” ujar Bamsoet, yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia, dalam keterangannya kepada media.
Lebih dari 6 juta orang bergantung pada industri ini, mulai dari petani tembakau dan cengkeh, buruh pelinting di Jawa Tengah dan Jawa Timur, hingga pedagang eceran di warung kelontong.
Bamsoet menyoroti bahwa sektor ini menciptakan efek domino positif, mendukung ekosistem logistik, distribusi, dan usaha kecil.
“Di hilir, ada ratusan ribu buruh pelinting. Di hulu, jutaan petani tembakau dan cengkeh menggantungkan nasibnya pada keberlanjutan industri ini,” tambahnya.
Namun, industri rokok kini berada di ujung tanduk. Kenaikan tarif cukai rata-rata 10% pada 2024 memicu kekhawatiran akan melonjaknya peredaran rokok ilegal.
Data Bea dan Cukai mencatat, sepanjang 2023, lebih dari 600 juta batang rokok ilegal berhasil digagalkan, dengan potensi kerugian negara mencapai Rp 820 miliar.
Bamsoet menilai, tingginya tarif cukai yang tidak diimbangi pengawasan ketat berisiko menekan produsen legal dan membuka celah bagi pasar rokok ilegal untuk tumbuh subur.
“Jika pengawasan lemah, kenaikan cukai justru bisa jadi bumerang. Produsen legal tertekan, sementara rokok ilegal merajalela,” tegas Bamsoet.
Ia juga menyoroti wacana revisi Peraturan Pemerintah (PP) 109/2012, yang memperluas larangan iklan dan promosi rokok.
Tanpa kajian dampak ekonomi yang komprehensif, kebijakan ini berpotensi menggerus sektor padat karya dan mengganggu ekosistem usaha kecil yang bergantung pada distribusi rokok.
Kunjungan Bamsoet ke pabrik Rokok HS, yang diproduksi oleh Surya Group Holding Company milik pengusaha muda Muhammad Suryo, menyoroti peran merek lokal dalam mendukung ekonomi.
Rokok HS, dengan varian seperti HS Original, HS Slim, dan HS Click beraroma buah, dikenal sebagai produk legal yang membantu mengurangi peredaran rokok ilegal.
Berbasis di Magelang, Jawa Tengah, merek ini disebut sedang naik daun dan berkontribusi pada perekonomian lokal melalui penciptaan lapangan kerja.
“Rokok HS adalah contoh nyata bagaimana industri lokal bisa mendukung ekonomi sekaligus mematuhi regulasi. Ini yang perlu kita dorong,” kata Bamsoet.
Di tengah tekanan dari kampanye global anti-tembakau dan regulasi nasional yang semakin ketat, Bamsoet menyerukan pendekatan kebijakan yang seimbang.
“Ke depan, kita butuh regulasi yang tidak hanya tegas, tetapi juga adil dan berbasis data. Kebijakan harus mengakomodasi pengendalian konsumsi rokok tanpa mengorbankan pendapatan fiskal dan keberlangsungan ekonomi jutaan pekerja,” pungkasnya.
Menurut ekonom senior dari Universitas Gadjah Mada, Tony Prasetiantono, industri rokok memang memiliki peran strategis, tetapi tantangan utamanya adalah mencari titik keseimbangan.
“Pemerintah harus memperkuat pengawasan untuk menekan rokok ilegal sekaligus memberikan ruang bagi inovasi produk, seperti rokok rendah nikotin, untuk menjawab isu kesehatan,” ujar Tony
Dengan tekanan regulasi dan kesadaran kesehatan yang terus meningkat, industri rokok menghadapi ujian berat.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan konsumsi rokok di Indonesia masih tinggi, dengan lebih dari 70 juta perokok aktif pada 2024, meskipun tren penurunan terlihat di kalangan anak muda.
Di sisi lain, potensi kerugian dari rokok ilegal dan dampak regulasi yang tidak seimbang dapat memicu efek domino, mulai dari penurunan pendapatan negara hingga ledakan PHK di sektor padat karya.
Bagi pelaku industri seperti Rokok HS, inovasi dan kepatuhan terhadap regulasi menjadi kunci untuk tetap relevan.
Sementara itu, pemerintah dituntut untuk merumuskan kebijakan yang tidak hanya fokus pada aspek kesehatan, tetapi juga melindungi jutaan pekerja dan menjaga stabilitas fiskal.
Industri rokok, dengan segala kontroversinya, tetap menjadi penyangga penting perekonomian Indonesia.
Namun, tanpa kebijakan yang cerdas dan pengawasan yang kuat, sektor ini berisiko kehilangan daya saing.
Seperti yang ditegaskan Bamsoet, solusi berkelanjutan yang menyeimbangkan kesehatan dan ekonomi adalah jalan ke depan.
Akankah Indonesia mampu menemukan titik tengah ini?
(hra)
0Komentar