![]() |
Indonesia resmi memulai pembangunan pabrik baterai kendaraan listrik (EV) terbesar di Asia Tenggara senilai Rp 95 triliun di Karawang. (Dok. IBC) |
Indonesia melangkah besar menuju era kendaraan listrik (EV) dengan proyek ambisius pembangunan pabrik baterai lithium terbesar se-Asia Tenggara senilai Rp 95,5 triliun di Karawang, Jawa Barat.
Proyek ini, yang groundbreaking-nya dilakukan Presiden Prabowo Subianto pada 29 Juni 2025, menargetkan produksi penuh pada 2027.
Dengan kapasitas awal 6,9 gigawatt hour (GWh) dan rencana ekspansi hingga 15 GWh, pabrik ini akan memproduksi baterai untuk 200.000 hingga 300.000 kendaraan listrik per tahun, menjadikan Indonesia pemain kunci di pasar global EV.
Masyarakat Indonesia, pelaku industri otomotif, hingga pasar ekspor di Asia Tenggara, Amerika, dan India akan merasakan dampak signifikan dari proyek ini.
Proyek ini digarap oleh PT Industri Baterai Indonesia (IBC) bekerja sama dengan raksasa baterai China, Contemporary Amperex Technology Co. Limited (CATL), melalui anak usahanya, Brunp dan Lygend (CBL).
Investasi jumbo sebesar US$ 5,9 miliar (setara Rp 95,5 triliun dengan kurs Rp 16.192) ini bukan sekadar pembangunan pabrik, melainkan ekosistem terintegrasi dari hulu ke hilir.
Mulai dari tambang nikel laterit di Halmahera, Maluku Utara, fasilitas peleburan RKEF, pabrik hidrometalurgi (HPAL), produksi bahan katoda, hingga fasilitas daur ulang baterai, semua dirancang untuk memperkuat hilirisasi industri dalam negeri.
“Hal ini menjadikan Indonesia tidak hanya sebagai pemasok bahan baku, tapi kini jadi pemain kunci di rantai pasok global kendaraan listrik,” ujar Direktur Hubungan Kelembagaan IBC, Reynaldi Istanto, dalam keterangannya, Sabtu (5/7/2025).
Pabrik ini diproyeksikan selesai pada kuartal ketiga 2026, diikuti uji coba produksi untuk memastikan operasional penuh pada 2027.
Kapasitas awal 6,9 GWh akan memenuhi kebutuhan domestik sekaligus ekspor regional, dengan potensi ekspansi hingga 15 GWh, setara kebutuhan baterai untuk ratusan ribu EV.
Bahkan, beberapa sumber menyebut kapasitas bisa mencapai 40 GWh jika menyertakan baterai penyimpanan energi surya.
“Kapasitas ini dirancang untuk terus tumbuh agar mampu bersaing di pasar global,” kata Reynaldi.
Pasar ekspor seperti Asia Tenggara, Amerika, dan India sudah menunjukkan minat, dengan beberapa negara Asia disebut telah menjadi calon off-taker untuk baterai EV, hybrid (HEV), dan sistem penyimpanan energi (BESS).
Proyek ini juga menjadi bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) yang mengintegrasikan seluruh rantai pasok baterai EV.
Dengan cadangan nikel terbesar dunia, Indonesia memanfaatkan posisinya untuk tidak hanya mengekspor bahan mentah, tetapi juga produk bernilai tambah tinggi.
Menurut data, penjualan EV di Indonesia mencapai 46.154 unit pada 2024, dan pemerintah menargetkan 600.000 EV di jalan pada 2030.
Kehadiran pabrik ini diharapkan memangkas biaya baterai hingga 10–15% melalui produksi lokal, sekaligus menciptakan ribuan lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan PDB.
“Kita targetkan uji coba produksi langsung berjalan usai konstruksi selesai agar percepatan operasional bisa dilakukan,” tambah Reynaldi.
Namun, tantangan seperti infrastruktur pendukung dan ketersediaan tenaga kerja terampil masih membayangi.
Pemerintah telah menyiapkan insentif pajak dan perizinan yang disederhanakan untuk mengatasi hambatan ini.
Dengan permintaan global EV yang diperkirakan tumbuh 25% per tahun hingga 2030, proyek ini menempatkan Indonesia di posisi strategis.
“Sudah ada off-taker, baik untuk BEV, HEV, atau BESS,” ungkap Reynaldi, menegaskan minat internasional yang kuat.
Langkah ini tidak hanya memperkuat industri dalam negeri, tetapi juga menjadikan Indonesia sebagai pusat gravitasi baru dalam ekosistem EV global.
0Komentar