Pemerintah China memberi subsidi Rp8 juta per anak per tahun untuk membendung krisis kelahiran dan resesi seks yang mengancam perekonomian. (AP/Mark Schiefelbein)

Pemerintah China mengambil langkah besar untuk mengatasi krisis demografis yang kian mengkhawatirkan. Mulai 1 Januari 2025, setiap keluarga yang memiliki anak akan mendapatkan subsidi tunai sebesar 3.600 yuan atau sekitar Rp8,1 juta per tahun hingga anak berusia tiga tahun. 

Kebijakan ini diterapkan secara nasional untuk membalikkan tren penurunan angka kelahiran yang kini menjadi ancaman serius bagi perekonomian raksasa Asia tersebut.

Angka kelahiran di China terus merosot dalam tiga tahun terakhir. Data resmi menunjukkan, pada 2024, hanya 9,54 juta bayi lahir, nyaris setengah dari 18,8 juta kelahiran pada 2016, saat kebijakan satu anak diakhiri. 

Penurunan ini diperparah oleh anjloknya angka pernikahan ke level terendah dalam 50 tahun, yang kini memicu istilah populer “resesi seks” di kalangan media. 

Krisis ini bukan sekadar soal populasi, melainkan ancaman nyata terhadap pasokan tenaga kerja dan produktivitas jangka panjang ekonomi terbesar kedua di dunia.

“Penurunan angka kelahiran adalah bom waktu demografis yang bisa mengguncang stabilitas ekonomi China,” kata Dr. Li Wei, ekonom dari Universitas Peking, kepada The Straits Times (5/7/2025). “Subsidi ini adalah langkah awal, tapi tantangan seperti biaya hidup dan tekanan sosial masih sangat besar.”

Kebijakan subsidi ini menyasar jutaan keluarga di seluruh China, terutama pasangan muda yang kini semakin enggan memiliki anak akibat tingginya biaya pendidikan dan perumahan. 

Menurut laporan Bloomberg (5/7/2025), pemerintah pusat mengalokasikan dana hingga 100 miliar yuan (sekitar Rp208 triliun) untuk mendukung program ini, dengan harapan mendorong angka kelahiran yang terus menyusut sejak 2022. 

Proyeksi PBB memperkirakan populasi China bisa turun drastis menjadi 1,3 miliar pada 2050 dan di bawah 800 juta pada 2100 jika tren ini berlanjut.

Langkah nasional ini bukan satu-satunya upaya. Beberapa daerah di China bahkan telah meluncurkan insentif lebih agresif. 

Kota Hohhot, ibu kota wilayah otonomi Mongolia Dalam, menjadi sorotan pada Maret 2025 dengan menawarkan subsidi 50.000 yuan (Rp113 juta) untuk anak kedua dan 100.000 yuan (Rp226 juta) untuk anak ketiga atau lebih. 

“Kami ingin meringankan beban keluarga dan menciptakan lingkungan yang mendukung kelahiran,” ujar Yang Zhong, wakil direktur Komisi Kesehatan Kota Hohhot, kepada media lokal.

Selain subsidi tunai, pemerintah daerah juga mulai menawarkan bantuan seperti susu gratis untuk ibu baru dan insentif perumahan. 

Menurut Reuters (Maret 2025), lebih dari 20 administrasi tingkat provinsi telah meluncurkan program serupa, mencerminkan urgensi untuk mengatasi krisis ini. 

Kota Tianmen, misalnya, dilaporkan Newsweek (Juli 2025) berhasil meningkatkan angka kelahiran lokal melalui insentif serupa, menjadi model bagi daerah lain.

Namun, keberhasilan kebijakan ini masih dipertanyakan. “Subsidi Rp8 juta per tahun mungkin membantu, tapi biaya membesarkan anak di kota besar seperti Beijing atau Shanghai bisa mencapai ratusan juta rupiah per tahun,” ungkap Zhang Mei, sosiolog dari Universitas Fudan. 

Ia menambahkan bahwa perubahan sikap generasi muda, yang lebih memilih karier dan gaya hidup fleksibel ketimbang pernikahan, menjadi tantangan yang lebih sulit diatasi.

China sendiri telah kehilangan gelar negara terpadat di dunia kepada India pada 2023, dan penyusutan populasi usia kerja kian memperburuk prospek ekonomi. 

Dengan langkah-langkah seperti subsidi tunai ini, pemerintah berharap dapat membendung “resesi seks” yang mengancam masa depan. 

Meski begitu, tanpa perubahan struktural dalam biaya hidup dan budaya sosial, kebijakan ini mungkin hanya menjadi solusi jangka pendek bagi masalah yang jauh lebih kompleks.