Pasar kerja Indonesia 2025 kian suram. Lebih dari 7,2 juta penganggur, 42 ribu pekerja kena PHK, dan jutaan sarjana gen z terjebak tanpa kepastian kerja meski melamar ratusan posisi setiap bulan.

Antrean panjang di bursa-bursa kerja semakin sering terlihat di berbagai kota. Generasi Z yang sebagian besar baru menyelesaikan pendidikan tinggi menjadi wajah utama dari keresahan ini. Di tengah janji penciptaan jutaan lapangan kerja, pasar kerja Indonesia justru diwarnai lonjakan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan meningkatnya jumlah pengangguran. 

Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025 mencatat 7,28 juta orang menganggur, dengan lebih dari satu juta di antaranya lulusan sarjana. Jumlah ini meningkat dibanding periode sebelumnya, sementara pemerintah melaporkan 42.385 pekerja terkena PHK hanya dalam enam bulan pertama 2025, naik 32,18 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Situasi ini memukul angkatan kerja muda yang tengah berusaha menapaki awal karier mereka.


Faliha (24), lulusan Administrasi Publik Universitas Prof. dr Moestopo, menjadi salah satu contohnya. Sudah tiga tahun sejak kelulusannya pada 2022, ia belum juga mendapatkan pekerjaan tetap meski telah mengirim ratusan lamaran tiap bulan. 

“Saya mulai melamar sejak dua bulan setelah wisuda. Sampai sekarang belum ada satu pun panggilan interview,” ujarnya. 

Kisah serupa dialami banyak anak muda, dari mereka yang masih bertahan mengikuti job fair dan rekrutmen CPNS, hingga yang akhirnya banting setir menjadi pedagang online atau buruh harian demi menyambung hidup.

Kondisi ini diperparah ketimpangan antara keterampilan lulusan dan kebutuhan industri. Dosen ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Rahman Prasetyo, menilai kurikulum pendidikan tinggi masih jauh dari kebutuhan pasar kerja. 

“Banyak kampus hanya memberi teori. Kewirausahaan dan keterampilan digital belum diajarkan secara aplikatif. Akibatnya, lulusan kesulitan bersaing di pasar kerja yang makin ketat,” ujarnya. 

Tingginya standar pengalaman kerja dan sertifikasi juga mempersempit peluang lulusan baru. Sementara banyak perusahaan lebih memilih tenaga kerja berpengalaman, Gen Z yang baru lulus justru tersisih sejak awal proses rekrutmen.

Cerita getir tak berhenti di situ. Beberapa pekerja muda yang terkena PHK bahkan mengaku diputus kontrak secara mendadak ketika meminta kejelasan status. 

“Saya sudah tiga tahun kerja, tapi ketika tanya soal perpanjangan kontrak, malah langsung diberhentikan,” ungkap Dimas (25), mantan karyawan ritel di Jakarta. Banyak dari mereka kemudian terpaksa beralih profesi ke sektor informal, meski berpendidikan tinggi.

Janji penciptaan 19 juta lapangan kerja yang dicanangkan pemerintah kini direvisi menjadi 8 juta. Program seperti padat karya Kementerian Pekerjaan Umum, koperasi nasional, dan pelatihan MBG digulirkan dengan target jutaan peserta. 

Namun, penyerapan tenaga kerja dinilai lambat dan belum menjangkau sebagian besar lulusan muda yang justru paling membutuhkan. Ekspor tenaga kerja ke luar negeri sempat dilirik sebagai solusi alternatif, tapi menuai kritik karena dinilai sekadar mengalihkan masalah ke negara lain.

Lonjakan pengangguran dan PHK di 2025 menegaskan ketidaksiapan struktur pasar kerja menghadapi generasi baru angkatan kerja. 

Tanpa reformasi pendidikan yang relevan dengan industri, transparansi rekrutmen, dan penciptaan pekerjaan formal yang berkualitas, jutaan sarjana muda berisiko terus terjebak dalam siklus pengangguran panjang. 

Bagi Faliha dan jutaan pencari kerja seangkatannya, menunggu panggilan kerja kini tak sekadar ujian kesabaran, tapi juga pertaruhan masa depan.