PKB usulkan gubernur ditunjuk pemerintah pusat dan bupati dipilih DPRD. Wacana ini digadang bisa hemat Rp 10-12 triliun per pilkada, tapi menuai pro-kontra.

Rencana perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah kembali mencuat setelah Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, atau Cak Imin, mendorong sistem baru yang dinilai lebih efisien. 

Ia menyebut, gubernur sebaiknya ditunjuk langsung pemerintah pusat karena berperan sebagai perpanjangan tangan pusat, sementara pemilihan bupati diserahkan kepada DPRD mewakili rakyat. 

Usulan ini, menurut Cak Imin, merupakan respons atas biaya pilkada langsung yang dinilai tidak masuk akal.

“Pilkada secara langsung ini berbiaya tinggi. Kita ingin sebetulnya dua pola yaitu gubernur sebagai perwakilan pemerintahan pusat ditunjuk oleh pusat. Bupati karena bukan perwakilan pusat, dipilih rakyat melalui DPRD,” kata Cak Imin usai rapat internal PKB, Senin (22/7).

Menurutnya, otonomi daerah belum berjalan optimal karena hampir seluruh kebijakan daerah tetap bergantung pada pemerintah pusat. “Ujung-ujungnya pemerintah daerah juga bergantung pada pusat dalam seluruh aspek, belum bisa mandiri. 

Melihat kondisi itu, PKB berkesimpulan harus ada jalan efektif antara kemauan rakyat dengan kemauan pusat,” ujarnya.

Anggaran pilkada langsung memang kerap jadi sorotan. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, pilkada serentak 2024 menelan biaya lebih dari Rp 26 triliun, belum termasuk ongkos kampanye yang bagi kandidat bisa mencapai puluhan miliar per orang. 

Di banyak kasus, biaya politik membuat calon kepala daerah terjebak utang atau bergantung pada sokongan pemodal besar, yang kerap berujung pada praktik politik uang atau gratifikasi setelah terpilih.

Jika usulan PKB diterapkan, biaya pilkada bisa ditekan hingga separuh. Perhitungan kasar ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Faisal Basri, menyebut pengeluaran negara bisa berkurang Rp 10–12 triliun setiap periode pilkada jika pemilihan gubernur ditiadakan. 

“Beban fiskal negara bisa jauh lebih ringan, tapi risiko intervensi politik pusat dan melemahnya akuntabilitas ke publik harus jadi perhatian,” kata Faisal.

Dorongan evaluasi pilkada langsung sejatinya bukan hanya datang dari PKB. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejak Desember 2024 telah mengeluarkan seruan resmi agar pemerintah dan DPR meninjau ulang mekanisme ini. 

“Sistem ini banyak mendatangkan kemudaratan dan dampak negatif, antara lain pemborosan karena biaya sangat mahal, maraknya politik uang, serta polarisasi di tengah masyarakat,” tulis MUI dalam pernyataannya.

Nada serupa datang dari Presiden Prabowo Subianto yang dalam peringatan HUT ke-60 Partai Golkar pada 12 Desember 2024 menilai demokrasi yang berjalan saat ini butuh koreksi. Ia mengakui ongkos politik yang terlalu tinggi menjadi beban besar bagi calon kepala daerah. 

“Menurut saya, kita harus perbaiki sistem kita, dan kita tidak boleh malu untuk mengakui bahwa kemungkinan sistem ini terlalu mahal. Dari wajah yang menang pun saya lihat lesu, apalagi yang kalah,” kata Prabowo di hadapan elit Golkar.

Partai Golkar sendiri, melalui Ketua Umum Bahlil Lahadalia, juga menyuarakan perlunya reformasi mekanisme demokrasi agar lebih efisien. Golkar menilai, pilkada langsung yang berbiaya tinggi membuka ruang ketergantungan kandidat pada cukong politik, yang pada gilirannya bisa merusak integritas kebijakan daerah.

Namun, usulan ini memicu pro-kontra tajam. Kelompok pro menilai, langkah ini bisa menutup peluang praktik politik uang yang merajalela di pilkada langsung. 

Dengan mekanisme penunjukan gubernur dan pemilihan bupati oleh DPRD, biaya negara dan kandidat bisa ditekan drastis. Sementara kelompok kontra menilai, penunjukan gubernur berpotensi menggerus hak demokrasi warga, melemahkan otonomi daerah, dan membuka celah intervensi politik pusat dalam pengambilan kebijakan lokal.

Jika wacana ini disepakati, DPR bersama pemerintah bisa mengajukan revisi Undang-Undang Pilkada dalam dua tahun ke depan. Artinya, mekanisme baru berpotensi diterapkan pada pilkada serentak 2029. 

Namun, nasib usulan ini akan sangat bergantung pada dinamika politik di Senayan, sikap partai besar lain, serta seberapa besar tekanan publik terhadap biaya demokrasi yang dianggap kian tak terkendali.