Mayoritas mal di indonesia ternyata bukan destinasi orang kaya. Data appbi menunjukkan 95 persen pusat perbelanjaan melayani kelas menengah-bawah, sementara pusat belanja premium hanya 5 persen. (Detikcom/Faiq Azmi)

Hampir semua mal di Indonesia ternyata bukan tempat belanja orang superkaya. Dari ratusan pusat perbelanjaan yang tersebar di Tanah Air, 95 persen melayani segmen kelas menengah dan bawah, sementara hanya 5 persen yang benar-benar menjadi destinasi belanja kalangan berduit.

Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonsus Widjaja, menyebut pusat perbelanjaan kelas atas di Indonesia jumlahnya bisa dihitung dengan jari. 

“Kelas atas itu hanya 5%. Kalau yang kita lihat itu hanya Thamrin Sudirman, Plaza Indonesia, Senayan City, Plaza Senayan itu cuma 5% jumlahnya. Dari seluruh total pusat perbelanjaan yang ada di Indonesia, 35% itu kelas menengah, 60% itu adalah kelas bawah. Jadi sebetulnya industri usaha pusat perbelanjaan Indonesia 95% didominasi oleh kelas menengah bawah,” ujarnya.

Fenomena ini terjadi ketika masyarakat kelas menengah atas justru semakin berhati-hati dalam berbelanja. Alphonsus menyebut kelompok berduit ini lebih memilih menahan konsumsi dan mengalihkan dana ke investasi di tengah ketidakpastian global. 

“Kalau yang di kelas menengah atas penyebabnya misalkan mereka lebih kehati-hatian dalam berbelanja. Apalagi kalau ada pengaruh makroekonomi, mikroekonomi dari global. Sehingga mereka belanja atau investasi,” katanya.

Kondisi tersebut membuat mayoritas mal di Indonesia berfokus pada pasar menengah dan bawah. Gerai-gerai ritel, tenant makanan cepat saji, hingga produk lokal menjadi penopang utama traffic pengunjung, sementara pusat belanja premium hanya bertahan di kawasan bisnis utama Jakarta.

Dominasi segmen menengah-bawah juga mendorong APPBI mendukung langkah pelaku usaha kecil dan menengah agar bisa masuk ke jaringan mal. Melalui skema lisensi dan waralaba, Alphonsus menilai UMKM bisa punya kesempatan lebih besar menembus pasar. 

“Dengan konsep lisensi dan waralaba, saya kira ini akan menjadi satu peluang usaha bagi pemegang merek maupun bagi para pengusaha. Kami senang sekali kepada Bu Susan (Ketua Umum Asosiasi Lisensi Indonesia) yang menginisiasi gerakan ini, agar masuk ke mal-mal juga dan khususnya di kelas menengah bawah. Karena memang pusat perbelanjaan di Indonesia itu didominasi oleh kelas menengah bawah,” jelasnya.

Namun, daya beli kelas menengah bawah yang menopang sebagian besar mal juga sedang menghadapi tekanan. Sejak 2024, konsumsi kelompok ini menurun dan mendorong pengelola pusat belanja meminta dukungan kebijakan. 

Alphonsus menilai stimulus langsung, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), bisa menjadi langkah cepat meningkatkan konsumsi. 

“Faktor masalah daya beli ini sudah terjadi cukup lama, sejak 2024. Jadi, stimulus ataupun insentif yang diberikan oleh pemerintah itu harus yang sifatnya langsung. Salah satunya adalah BLT (bantuan langsung tunai). Itu saya kira adalah langkah yang cukup tepat untuk bisa serta merta menaikkan daya beli masyarakat,” jelasnya.

Meski demikian, ia mewanti-wanti agar penyaluran BLT diawasi ketat karena kerap disalahgunakan. “Cuma yang jadi masalah, BLT ini sering disalahgunakan untuk judi online dan sebagainya. Jadi, memang harus hati-hati,” tegasnya.

Dengan dominasi pasar menengah-bawah dan konsumen kelas atas yang kian menahan belanja, masa depan industri mal di Indonesia akan banyak ditentukan oleh kemampuan pengelola beradaptasi. 

Menggandeng UMKM, menjaga daya beli konsumen, dan memaksimalkan peluang lisensi dinilai menjadi kunci agar pusat perbelanjaan tetap ramai di tengah pergeseran perilaku belanja masyarakat.