Garuda Indonesia berkomitmen membeli 50 pesawat Boeing dalam kesepakatan era Trump. Di baliknya, tersimpan risiko keuangan dan tarik ulur politik dagang. (Boeing)

Garuda Indonesia berencana membeli 50 pesawat Boeing dalam kerangka kesepakatan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat. Namun di balik komitmen itu, muncul tanda tanya besar sanggupkah maskapai pelat merah ini membiayai ambisinya sendiri?

Rencana pembelian ini diumumkan bersamaan dengan kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Washington, awal Juli lalu. Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyebutnya sebagai bagian dari “paket kesepakatan strategis” senilai lebih dari US$20 miliar meliputi ekspor energi dan pertanian AS, serta penurunan tarif bea masuk sejumlah produk Indonesia ke pasar Amerika.

“Ini adalah era baru kerja sama Indonesia-Amerika,” ujar Prabowo dalam konferensi pers bersama di Gedung Putih.

Dari sisi Indonesia, imbalan yang diperoleh cukup signifikan. Ancaman kenaikan tarif ekspor Indonesia ke AS sebesar 32 persen akhirnya hanya naik menjadi 19 persen. 

Namun dari sisi Garuda, konsekuensi pembelian 50 pesawat wide-body Boeing 777 dan narrow-body 737 Max memunculkan banyak pertanyaan.


Utang Belum Pulih, Rugi Masih Dalam

Garuda Indonesia saat ini belum sepenuhnya pulih dari restrukturisasi utang yang disepakati pada 2022. Dalam laporan keuangan kuartal I 2025, maskapai mencatatkan rugi bersih sebesar US$75,48 juta atau sekitar Rp1,23 triliun. Pangsa pasar domestik juga terus tergerus, kini hanya berada di kisaran 30-35 persen.

Belum lagi masalah pengadaan armada sebelumnya. Garuda diketahui masih menunda pengiriman 49 unit Boeing 737 Max dari pesanan terdahulu, menyusul tragedi jatuhnya pesawat serupa milik Lion Air pada 2018. Belum ada kejelasan apakah pesanan lama ini akan dibatalkan, diganti, atau digabung dalam paket baru.


Uang Muka Belum Ada, Skema Pendanaan Masih Gelap

Sejumlah sumber menyebut bahwa negosiasi teknis dengan Boeing belum selesai, termasuk soal uang muka. Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra, menyatakan pihaknya masih mencari investor strategis untuk mendanai pembelian tersebut. 

Namun ia menegaskan, pinjaman Rp6,65 triliun dari PT Danantara, perusahaan pembiayaan milik negara, tidak dialokasikan untuk pembelian pesawat.

Opsi lain adalah melalui penerbitan surat utang. Namun kondisi keuangan Garuda membuat kemungkinan imbal hasilnya sangat tinggi, yang justru dapat menambah beban baru. Alternatif berikutnya adalah Penyertaan Modal Negara (PMN). 

Jika ini terjadi, maka dana publik melalui APBN—maupun lembaga perbankan pelat merah (Himbara) berpotensi kembali menalangi ekspansi bisnis maskapai yang belum menunjukkan profitabilitas jangka panjang.


Investasi Besar, Pangsa Pasar Tidak Otomatis Naik

Penambahan 50 unit pesawat dan bahkan disebut-sebut bisa meningkat hingga 75 unit dalam jangka panjang tidak serta merta menjamin kenaikan pangsa pasar Garuda. 

Industri penerbangan nasional masih didominasi oleh maskapai bertarif rendah seperti Lion Air dan Citilink. Sementara itu, Garuda menghadapi tantangan pada segmentasi layanan penuh (full service) yang pasarnya makin menyempit pascapandemi.

Dari sisi teknis, armada Boeing juga membutuhkan adaptasi infrastruktur operasional. Selama ini, Garuda masih sangat bergantung pada pesawat Airbus, baik dari segi pelatihan awak, perawatan, maupun suku cadang. 

Pergantian skala besar ke Boeing memerlukan investasi tambahan dalam ekosistem pendukung, yang belum diperhitungkan dalam rencana awal.


Diplomasi Dagang atau Kepentingan Bisnis?

Dari tiga sektor yang masuk dalam paket dagang energi, pertanian, dan aviasi hanya pembelian pesawat yang belum memiliki nota kesepahaman (MoU) resmi. 

Komitmen pembelian minyak dan kedelai dari AS telah disepakati secara komersial oleh BUMN dan perusahaan swasta. Sementara pembelian pesawat Boeing baru diumumkan secara politik, belum secara kontraktual.

Analis menilai langkah ini terlalu cepat dari sisi Garuda. "Jika MoU saja belum ada, lalu bagaimana perhitungan komersial dan risiko jangka panjangnya?" kata seorang pengamat aviasi kepada wartawan.

Bloomberg bahkan mencatat ironi dalam kebijakan ini. Garuda sebelumnya menarik diri dari komitmen pembelian 737 Max pasca-kecelakaan fatal. Kini, maskapai yang sama justru kembali mempertimbangkannya, saat kondisi finansial belum stabil.

Rencana pembelian Boeing ini tidak hanya soal bisnis penerbangan, tapi juga soal diplomasi, APBN, dan nasib ribuan karyawan maskapai nasional. 

Jika berhasil, Garuda mungkin mampu memperbarui armada dan bersaing lebih baik di kancah internasional. Tapi jika gagal, beban utang bisa makin dalam dan merembet ke sistem keuangan negara.