![]() |
| Mulai 1 Agustus 2025, pemerintah resmi menaikkan PPh transaksi kripto hingga 1% dan menghapus PPN atas aset digital. (Ist) |
Pemerintah resmi mengetatkan skema perpajakan atas transaksi aset kripto di Indonesia. Mulai 1 Agustus 2025, tarif pajak penghasilan (PPh) atas transaksi kripto naik lebih dari dua kali lipat, sementara pajak pertambahan nilai (PPN) dihapus sepenuhnya untuk aset kriptonya.
Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50 Tahun 2025 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto, yang diundangkan pada 25 Juli 2025 dan mulai berlaku awal Agustus.
Langkah ini merupakan tindak lanjut dari perubahan status aset kripto yang kini dikategorikan sebagai instrumen keuangan digital bukan lagi komoditas seperti sebelumnya.
"Kripto tidak lagi diperlakukan sebagai barang dagangan seperti dulu, tapi sudah masuk ke dalam sistem keuangan digital di bawah pengawasan OJK," ujar salah satu pejabat Kementerian Keuangan pada Selasa (30/7).
Langkah ini menjadi bagian dari reposisi besar sektor kripto dalam sistem fiskal nasional. Per 2025, kripto tak lagi berada di bawah pengawasan Bappebti, melainkan telah dialihkan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Artinya, seluruh transaksi dan ekosistem digitalnya kini diperlakukan layaknya aktivitas keuangan formal lengkap dengan pajak dan pengawasan.
PPh Kripto Melonjak
Salah satu perubahan terbesar dalam PMK ini adalah kenaikan tarif PPh Final Pasal 22 atas penghasilan dari transaksi aset kripto. Rinciannya sebagai berikut:
• 0,21% untuk transaksi melalui platform lokal yang terdaftar resmi di Indonesia
• 1% untuk transaksi melalui platform asing atau yang tidak terdaftar
Tarif baru ini menggantikan ketentuan lama dalam PMK 68/2022, yang sebelumnya hanya memungut PPh sebesar 0,1% untuk transaksi aset kripto.
Pajak ini dikenakan atas semua jenis transaksi, baik penjualan kripto dengan rupiah maupun swap antar aset digital. Subjek pajaknya adalah penerima penghasilan, termasuk investor, trader, penambang, dan bahkan penerima aset dalam bentuk hadiah.
Platform digital disebut Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) wajib menjadi pemungut dan pelapor PPh ini, dan menyetorkannya ke negara paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya. Pelaporan wajib dilakukan paling lambat tanggal 20 dalam SPT Masa Unifikasi.
Contoh perhitungan:
Tanggal transaksi: 5 Agustus 2025
Jumlah: 0,7 koin
Harga per koin: Rp500 juta
Total transaksi: Rp350 juta
PPh 0,21%: Rp735.000
Tenggat setor: 15 September 2025
Tenggat lapor: 20 September 2025
Untuk transaksi swap antar kripto, kedua belah pihak dikenai pajak. Misalnya, 0,3 koin Kripto F senilai Rp150 juta ditukar dengan 30 koin Kripto G juga senilai Rp150 juta. Maka, masing-masing pihak wajib setor PPh Rp315.000.
Yang perlu diperhatikan, PPh ini bersifat final dan tidak dapat dikreditkan, meski wajib pajak telah membayar pajak serupa di luar negeri. Artinya, potensi double taxation tetap terbuka bagi investor internasional.
Aset Kripto Kini Bebas PPN, Tapi Layanan Ekosistem Tetap Kena Pajak
PMK 50/2025 juga menghapus PPN atas transaksi aset kripto. Pemerintah menyatakan bahwa kripto kini dianggap sebagai surat berharga digital, sehingga mendapat perlakuan serupa dengan saham dan obligasi yang memang tidak dikenai PPN.
“Penyerahan Aset Kripto yang dipersamakan dengan surat berharga tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai,” tegas Pasal 2 aturan tersebut.
Namun, pembebasan PPN ini tidak berlaku untuk seluruh ekosistem kripto. Jasa-jasa yang mendukung aktivitas transaksi, seperti platform perdagangan digital dan penambangan kripto, tetap dikenakan PPN.
Rincian tarif PPN jasa dalam ekosistem kripto:
• Jasa PPMSE (platform transaksi) dikenakan PPN 12% × 11/12 dari fee transaksi
• Jasa penambangan/verifikasi dikenakan PPN sebesar 20% × 11/12 × tarif PPN 11% dari nilai penggantian (block reward, biaya transaksi, dan imbal hasil lain)
Simulasi sederhana
Jika penambang menerima block reward senilai Rp10 juta, maka:
• Dasar pengenaan: 20% × 11/12 × 11% = sekitar 2%
• Total PPN yang harus dibayar: sekitar Rp200.000
Dengan demikian, meskipun aset kripto dibebaskan dari PPN, para penyedia layanan mulai dari platform digital hingga penambang tetap diwajibkan memenuhi kewajiban PPN atas jasanya.
Siapa yang Kena Dampak Langsung?
Setidaknya ada tiga pihak utama yang terdampak langsung dari penerapan aturan baru ini:
Investor Kripto
Investor ritel dan institusi kini harus siap dengan beban PPh yang lebih tinggi. Meski penghapusan PPN bisa dianggap sebagai kompensasi, tapi untuk transaksi besar, selisih 0,11% bisa berdampak pada margin investasi. Bagi yang aktif di platform luar negeri, tarif 1% tentu menjadi beban tambahan yang signifikan.
Platform Perdagangan Kripto
Platform digital (PPMSE) kini memiliki beban administrasi dan tanggung jawab yang lebih besar. Mereka bukan hanya harus memungut PPh dan menghitung PPN atas jasa, tetapi juga memastikan pelaporan dan penyetoran dilakukan tepat waktu. Keterlambatan atau kelalaian berpotensi memicu sanksi fiskal.
Penambang Aset Kripto
Sebelumnya, aktivitas penambangan relatif belum terdokumentasi secara sistematis dalam kerangka pajak. Kini, semua imbalan yang diterima—baik dari block reward maupun biaya transaksi—harus dicatat, dihitung, dan dilaporkan sebagai penghasilan yang dikenai PPh dan PPN.
Pemerintah Siapkan Sanksi, Pastikan Kepatuhan Digital
PMK ini menegaskan bahwa pelanggaran terhadap kewajiban pungut, setor, dan lapor akan dikenai sanksi sesuai Undang-Undang KUP (Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan). Sanksi bisa berupa denda administrasi, bunga keterlambatan, atau bahkan pidana perpajakan bagi pelanggaran berat.
Pemerintah juga mulai mensyaratkan dokumen resmi pemungutan pajak dalam bentuk “Dokumen yang Dipersamakan dengan Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh Unifikasi”, untuk menghindari sengketa administrasi.
Menurut pengamat pajak digital dari DDTC, Dendy Herlambang, regulasi ini menunjukkan bahwa pemerintah "tidak main-main" dalam menata ulang kerangka fiskal sektor ekonomi digital.
"Ini langkah penting untuk menempatkan kripto dalam sistem fiskal formal. Tapi pemerintah juga harus aktif mengedukasi publik soal kewajiban barunya," ujar Dendy.
Meski memberikan kepastian hukum dan menyederhanakan skema pajak, penerapan PMK 50/2025 juga menghadapi sejumlah tantangan implementasi.
Beberapa isu yang mencuat di antaranya:
• Kepatuhan platform asing yang tidak terdaftar di Indonesia
• Potensi double taxation terhadap investor lintas negara
• Kurangnya edukasi dan sosialisasi kepada pengguna ritel
• Ketiadaan sistem pelacakan lintas blockchain yang efektif
Namun begitu, arah kebijakan fiskal pemerintah sudah jelas yaitu aset kripto tidak lagi zona abu-abu, melainkan bagian dari sistem keuangan nasional yang diawasi dan dipajaki secara resmi.

0Komentar