Amerika Serikat mengancam akan mengenakan tarif 100 persen kepada Tiongkok jika terus mengimpor minyak dari Rusia, memicu ketegangan diplomatik dan kekhawatiran pasar energi global. (AP Photo)


Amerika Serikat kembali meningkatkan tekanan terhadap Tiongkok. Pemerintahan Trump secara terang-terangan mengancam akan mengenakan tarif tambahan sebesar 100 persen terhadap barang-barang impor dari negara yang tetap membeli minyak dari Rusia, terutama Tiongkok yang saat ini menjadi pembeli terbesar.

Ancaman itu disampaikan langsung oleh Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, dalam pertemuan bilateral dengan delegasi Tiongkok di Stockholm, Swedia, pada Selasa, 29 Juli 2025. 

Dalam konferensi pers usai pertemuan, Bessent menegaskan bahwa Beijing membeli sekitar dua juta barel minyak mentah per hari dari Rusia volume yang disebutnya memperkuat “mesin perang Moskow”.

“Jika Rusia tidak menunjukkan itikad damai dalam 50 hari ke depan, kami siap menjatuhkan tarif sekunder hingga 100 persen kepada negara yang masih menopang ekonomi perang mereka,” tegas Bessent.

Langkah ini menjadi bagian dari strategi ekonomi AS untuk menekan Rusia agar segera menghentikan invasi ke Ukraina. Presiden Trump sebelumnya menetapkan tenggat 50 hari sejak 14 Juli 2025, namun kini dikabarkan telah mempercepat batas waktu menjadi hanya 10–12 hari, dengan deadline baru jatuh pada 7 Agustus.

Respons dari Beijing datang cepat dan tegas. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Guo Jiakun, menyebut ancaman tersebut tidak akan memengaruhi keputusan negaranya dalam hal perdagangan energi.

“China membeli energi dari siapa pun berdasarkan kepentingan nasional dan prinsip nonintervensi. Tekanan eksternal tidak akan mengubah posisi kami,” ujar Guo dalam pernyataan resmi.

China saat ini tercatat mengimpor sekitar dua juta barel minyak mentah per hari dari Rusia, menjadikannya pasar terbesar bagi ekspor energi Moskow. Selain China, India dan Brasil juga masuk dalam daftar negara yang berpotensi terdampak sanksi tarif baru AS.

Namun berbeda dengan China, India dikabarkan mempertimbangkan pengurangan impor dari Rusia hingga 2,3 juta barel per hari, demi menghindari risiko terseret dalam konflik tarif dengan Washington.

Reaksi pasar terhadap ancaman ini muncul dalam hitungan jam. Harga minyak melonjak lebih dari 3 persen pada 29–30 Juli 2025. Brent naik menjadi USD 72,51 per barel, sementara WTI menyentuh USD 69,21. 

Para analis memperkirakan jika sanksi benar-benar dijatuhkan dan negara-negara seperti China atau India dikurangi pasokan Rusia-nya, maka pasar bisa kehilangan sekitar 4,5 juta barel per hari.

“Risiko pasokan global akan meningkat drastis. Harga minyak bisa menyentuh USD 80 bahkan USD 90 dalam waktu dekat, dan itu akan mendorong inflasi di AS sendiri,” ujar Charles Wirth, analis energi dari Global Risk Partners.

Dari sisi politik domestik, kubu Trump juga tengah berhitung. Kenaikan harga minyak akan berdampak langsung pada harga BBM dan logistik di AS isu sensitif menjelang pemilu sela 2026. Sejumlah penasihat Gedung Putih dilaporkan khawatir kebijakan ini bisa memicu backlash dari pemilih kelas menengah.

Meski draft Sanctioning Russia Act (S.1241) di Kongres AS memberi wewenang presiden untuk menjatuhkan tarif hingga 500 persen terhadap negara pembeli energi Rusia, sejauh ini angka yang disebut secara eksplisit oleh Bessent masih 100 persen. Namun ancaman itu cukup untuk mengguncang diplomasi ekonomi global.

Pertemuan di Stockholm antara AS dan China pada 28–29 Juli 2025 memang difokuskan pada isu energi dan teknologi. Isu sensitif lain seperti TikTok dan Taiwan dilaporkan sengaja dihindari. Meski disebut “robust” oleh pihak AS, pertemuan tersebut belum menghasilkan kesepakatan perpanjangan gencatan tarif dagang.

Di sisi lain, Uni Eropa memilih jalan kompromi. Blok tersebut berhasil menghindari konflik tarif besar dengan AS dengan menyetujui pembelian energi senilai USD 750 miliar dari AS dalam tiga tahun ke depan, serta penerapan tarif 15 persen untuk sebagian besar produk yang sebelumnya terancam.

Preseden ini membuat sejumlah pengamat menilai bahwa ancaman AS terhadap Tiongkok lebih sebagai alat negosiasi daripada niat untuk benar-benar diberlakukan. Terlebih, kasus serupa terjadi pada Maret 2025, saat AS mengancam pembeli minyak Venezuela namun akhirnya tidak menindaklanjuti.

Namun jika Rusia tidak memenuhi tenggat 7 Agustus, dan Tiongkok tetap melanjutkan pembelian minyak seperti biasa, maka tarik-menarik ini bisa berubah menjadi eskalasi nyata. Saat ini, pasar tengah berjaga di kisaran USD 67–72 per barel, menunggu sinyal berikutnya dari Washington dan Beijing.