![]() |
| China tetap membeli minyak Rusia meski AS mengancam tarif hingga 500% mulai Agustus. Beijing tegaskan kedaulatan energi dan abaikan tekanan Washington. (REUTERS) |
China secara terbuka menolak ancaman Amerika Serikat yang akan memberlakukan tarif hingga 500% bagi negara-negara yang tetap membeli minyak dari Rusia. Beijing menegaskan tak akan tunduk pada tekanan Washington dan akan tetap menjalankan kebijakan energinya sesuai kepentingan nasional.
Sikap ini disampaikan menyusul pernyataan Presiden AS Donald Trump yang memperingatkan bahwa negara-negara mitra dagang Rusia termasuk China, India, dan Brasil bisa dikenai tarif sekunder minimal 100%, dan bahkan naik lima kali lipat jika Rusia tidak menghentikan agresinya di Ukraina dalam 10 hingga 12 hari. Sanksi ini disebut akan mulai diterapkan paling cepat awal Agustus 2025.
"China memutuskan sendiri apa yang kami beli. Kami tidak akan menyerah atas kedaulatan energi kami," tegas juru bicara Kementerian Luar Negeri China, menanggapi usulan legislatif bipartisan yang tengah digodok Kongres AS.
Menteri Keuangan AS Scott Bessent menyebut langkah ini sebagai cara menekan pendapatan Rusia dari sektor energi, yang masih menyumbang sepertiga anggaran negaranya. Namun bagi Beijing, langkah tersebut dianggap sepihak dan justru berisiko menciptakan gejolak baru di pasar global.
"Tariff walls produce no winner," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China Guo Jiakun. Ia menilai tekanan semacam ini tak akan membawa hasil, dan China akan tetap membuat keputusan berdasarkan kepentingan dalam negeri.
Pasar langsung merespons. Harga minyak dunia tercatat melonjak lebih dari 3% hanya beberapa jam setelah pernyataan Trump dan penolakan China dirilis. Ketegangan antara dua ekonomi terbesar dunia ini meningkatkan kekhawatiran pasar akan potensi gangguan pasokan.
Namun data menunjukkan perdagangan minyak Rusia tetap lancar. Untuk pengiriman Agustus 2025, unit dagang milik BUMN energi China, Sinopec (melalui Unipec), telah tercatat membeli 7 hingga 8 kargo minyak ESPO. Ini menandakan bahwa peringatan dari Washington belum mengubah arah kebijakan energi Beijing.
Sikap keras ini menunjukkan posisi China yang tak mau didikte dalam urusan energi. Dengan konsumsi domestik yang tinggi dan kebutuhan suplai jangka panjang, Rusia tetap menjadi mitra strategis bagi China terlepas dari tekanan barat.
Ketegangan soal energi ini muncul di tengah situasi perdagangan yang juga tak kalah panas. Masa jeda tarif tambahan antara AS dan China akan berakhir pada 12 Agustus 2025. Jika tidak ada perpanjangan, maka rata-rata tarif atas produk China bisa kembali naik dari posisi saat ini yang sudah mencapai 51,1%.
Scott Bessent menegaskan belum ada keputusan perpanjangan hingga Presiden Trump menyetujui secara langsung. Artinya, ruang negosiasi makin sempit, dan risiko “boomerang” dari kebijakan tarif makin besar.
Di luar isu energi, AS juga menekan China agar menghentikan ekspor teknologi ganda ke Rusia, yang ditaksir mencapai US$15 miliar per tahun. Isu ini masuk dalam daftar panjang keluhan Washington atas peran tidak langsung Beijing dalam menopang mesin perang Moskow.
Meski tekanan dari AS kian keras, posisi China tak bergeser. Pemerintah Tiongkok berkali-kali menegaskan bahwa semua keputusan dagang, termasuk pembelian minyak Rusia, akan terus dilakukan sesuai kepentingan nasional.
"Tekanan dan ancaman tidak akan menyelesaikan apa pun. China akan terus membuat keputusan berdasarkan kepentingan nasionalnya," tegas pernyataan resmi pemerintah Tiongkok.
Para analis melihat bahwa ketegangan ini bisa berdampak luas, tak hanya pada pasar energi, tapi juga stabilitas geopolitik. Jika AS benar-benar memberlakukan tarif hingga 500% pada negara mitra dagang Rusia, bukan tak mungkin rantai pasok global kembali terguncang.
Hubungan China-Rusia yang makin erat justru menunjukkan bahwa strategi isolasi ala Barat tidak selalu berhasil. Bagi Beijing, minyak tetap dibutuhkan, dan siapa pun yang bisa memasok tanpa gangguan akan terus jadi mitra, meskipun harus menabrak garis merah dari Washington.

0Komentar