Konflik Iran-Israel memperlihatkan kerentanan rantai pasok militer AS, dengan 13,7 juta perusahaan terancam akibat ketergantungan pada teknologi Israel. (Task and Purpose)

Konflik antara Iran dan Israel, yang memanas sejak serangan udara Amerika Serikat (AS) terhadap fasilitas nuklir Iran pada Juli 2025, telah menyingkap kelemahan mendasar dalam industri pertahanan AS. 

Ketergantungan pada teknologi Israel, terutama di bidang keamanan siber, membuat rantai pasok AS rentan, mengancam operasional ribuan perusahaan dan sistem pertahanan strategis seperti pesawat B-2. 

Krisis ini memaksa AS untuk memikirkan ulang strategi rantai pasoknya, dengan dampak yang dirasakan hingga 13,7 juta perusahaan di berbagai sektor.

Sejak eskalasi konflik pada pertengahan 2025, data dari Exiger, perusahaan analisis rantai pasok berbasis AI, menunjukkan lebih dari 28.000 perusahaan AS bergantung pada teknologi buatan Israel. 

Ketika Israel terlibat dalam konflik dengan Iran, operasional perusahaan-perusahaan ini terancam. 

"Ada ledakan ketergantungan pada teknologi Timur Tengah, terutama keamanan siber, dan Israel adalah salah satu produsen perangkat lunak keamanan digital terbesar di dunia," ujar Brandon Daniels, CEO Exiger, kepada FOX Business. 

Ia memperingatkan, jika konflik meluas, dampaknya bisa meluas hingga 13,7 juta perusahaan yang terkait secara tidak langsung dengan rantai pasok global.

Kerentanan ini bukan hal baru, tetapi menjadi sorotan tajam sejak perang Israel-Hamas pada Oktober 2023. 

Namun, konflik dengan Iran, yang melibatkan dua negara dengan kapasitas militer besar, memperbesar risiko gangguan. 

"Ketika dua negara besar seperti Israel dan Iran terlibat perang kinetik berskala penuh, kemungkinan penghentian rantai pasok jauh lebih parah dibandingkan konflik dengan Hamas atau Hezbollah," kata Daniels. 

Data Project44 juga menunjukkan ancaman Iran untuk menutup Selat Hormuz, yang mengalirkan 20% LNG dan 20-30% perdagangan minyak global, dapat meningkatkan biaya impor dan mengganggu logistik pertahanan AS. 

Selain itu, serangan Houthi di Laut Merah memaksa pengalihan rute kapal ke Tanjung Harapan, menambah waktu transit hingga dua minggu.

Sistem pertahanan strategis AS, seperti pesawat B-2, juga terdampak. Daniels menjelaskan, eskalasi konflik mengharuskan AS untuk "meningkatkan, memodifikasi, dan merancang ulang rantai pasok" untuk mendukung kebutuhan mineral kritis dan magnet yang diperlukan pesawat tersebut. 

"Kita harus bergerak cepat untuk menjadikan rantai pasok sebagai senjata itu sendiri," tegasnya, menekankan pentingnya kemampuan bertindak dan memperoleh sumber daya secara cepat di tengah situasi perang.

Menghadapi tantangan ini, AS mulai mengalihkan fokus ke perencanaan jangka panjang. Daniels menyarankan pendekatan yang tidak hanya melihat enam hari atau minggu ke depan, tetapi enam bulan hingga enam tahun untuk memastikan ketahanan maksimal. 

Langkah ini mencakup pemetaan rantai pasok secara menyeluruh, memahami asal suku cadang, pihak yang memproduksi, dan proses pembuatannya. 

"Kita perlu mengintegrasikan pemasok ke platform keterlibatan untuk komunikasi yang lebih terbuka dan menyederhanakan regulasi yang tidak perlu," tambah Daniels.

Dari sisi kebijakan, Kongres AS diperkirakan akan memprioritaskan visibilitas rantai pasok dalam Undang-Undang Otorisasi Pertahanan Nasional (NDAA) 2026. 

"NDAA tahun ini akan sangat serius memperhatikan masalah visibilitas rantai pasok untuk Departemen Pertahanan dan kontraktornya," ungkap Daniels. 

Langkah ini mencerminkan urgensi untuk mengatasi kelemahan yang terungkap, sekaligus memperkuat ketahanan industri pertahanan AS di tengah ketidakpastian geopolitik.

Konflik Iran-Israel telah menjadi alarm bagi AS untuk segera bertindak. Dengan ketergantungan teknologi yang begitu besar dan ancaman gangguan logistik global, reformasi rantai pasok bukan lagi opsi, melainkan keharusan. 

Jika tidak segera diatasi, kerentanan ini bisa menjadi celah yang melemahkan posisi AS di panggung global, terutama di saat krisis.