![]() |
| Tragedi KM Barcelona 5 membuka kembali luka lama transportasi laut Indonesia—manifes tak akurat, kapal tua, pelampung kurang, dan penegakan hukum lemah. (BASARNAS) |
Kobaran api dan asap hitam pekat menggulung langit siang pada 20 Juli 2025, tak jauh dari Pulau Talise, Minahasa Utara. KM Barcelona 5, kapal penumpang rute Talaud–Manado, terbakar hebat di tengah laut. Penumpang panik, sebagian melompat ke air, sebagian lainnya berebut pelampung yang jumlahnya jauh dari cukup.
Di atas kertas, hanya 200 penumpang tercatat dalam manifes resmi. Namun kenyataannya, 571 orang dievakuasi oleh tim SAR.
Lima korban jiwa tercatat termasuk seorang ibu hamil yang sedang dalam perjalanan sebagai pasien rujukan medis. Dua korban lainnya masih belum berhasil diidentifikasi.
Tapi kematian itu hanya lima angka dari sederet kegagalan sistemik yang menenggelamkan kepercayaan publik terhadap keselamatan transportasi laut di Indonesia.
“Ini Kebiasaan Lama yang Tidak Pernah Selesai”
Tak butuh waktu lama sebelum netizen bersuara. Di media sosial, tagar #KMBarcelona5 langsung trending. Namun, alih-alih hanya simpati, publik bereaksi dengan satu nada kemarahan.
"Setiap tahun begini terus, manifes fiktif, kapal tua, dan pemerintah baru bergerak kalau sudah ada korban," tulis akun @ferryg*n*wan_.
Kemarahan itu punya alasan. Hanya berselang 18 hari sebelumnya, KMP Tunu Pratama Jaya tenggelam di Selat Bali. Dari 65 orang di dalam kapal, 17 tewas dan 18 masih hilang hingga hari ini. Kedua tragedi ini seperti cermin yang menampakkan borok lama yang belum juga dibersihkan.
“Saya tidak kaget lagi. Ini bukan soal nasib buruk. Ini soal sistem yang dibiarkan rusak,” kata Dr. Atmadji Sumarkidjo, pengamat transportasi laut dari Universitas Maritim Indonesia, dalam wawancara dengan kami. Menurutnya, kasus KM Barcelona 5 adalah hasil dari “perpaduan klasik antara kapal tua, regulasi longgar, dan operator yang tak takut sanksi.”
![]() |
| KAPAL TENGGELAM - Tangkapan layar siaran langsung penumpang KM Barcelona VA di Facebook, memperlihatkan kondisi kapal terbakar di Perairan Talise, Minggu (20/7/2025) |
Penyelidikan awal menunjukkan api diduga berasal dari korsleting listrik atau kebocoran bahan bakar di bagian buritan. Namun KNKT belum mengumumkan temuan final.
Yang sudah jelas adalah kapal kelebihan muatan, prosedur darurat amburadul, dan penumpang dibiarkan mengandalkan insting bertahan hidup mereka sendiri.
Kapal Tua, Prosedur Usang, dan Alat Keselamatan yang Tak Pernah Cukup
KM Barcelona 5 bukan kapal baru. Usianya lebih dari 15 tahun, dan itu bukan hal aneh di Indonesia. Menurut data Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, hampir 60% armada penyeberangan kita berumur di atas 10 tahun. Banyak di antaranya tetap dinyatakan "layak berlayar", meski pernah bermasalah.
Kondisi ini nyaris identik dengan KMP Tunu Pratama Jaya yang tenggelam awal bulan ini. Kapal itu juga tua, pernah kandas tiga kali antara 2021–2022, dan dalam insiden terakhir, kebocoran di ruang mesin menyebabkan pemadaman total.
Muatan yang tidak terikat dengan baik berupa truk dan kendaraan besar memperparah kemiringan kapal saat dihantam gelombang setinggi 2 hingga 3 meter.
“Masalah kita bukan hanya soal cuaca atau human error,” kata Capt. Andri Lesmana, mantan perwira kapal dan kini konsultan keselamatan maritim. “Banyak kapal kita tidak punya sistem evakuasi cepat. Pelampung tidak cukup, alarm darurat tidak berfungsi, dan awak kapal tak cukup terlatih.”
Fakta di lapangan menguatkan itu. Di KM Barcelona 5, banyak penumpang berebut pelampung, dan beberapa mengaku tidak pernah melihat prosedur evakuasi dijelaskan sebelum kapal berangkat. Di KMP Tunu Pratama Jaya, jaket pelampung bahkan tidak ditemukan oleh beberapa korban selamat.
Ironisnya, regulasi sudah ada. PP No. 9/2019 secara jelas mengatur tanggung jawab operator kapal dan nakhoda dalam menjamin keselamatan. Tapi pada praktiknya, sanksi jarang ditegakkan.
Manifes Fiktif dan Overkapasitas: Kebiasaan yang Membunuh
Salah satu ironi terbesar dari tragedi KM Barcelona 5 adalah data resmi dan fakta lapangan yang berjarak jauh. Dalam manifes, hanya 200 penumpang terdaftar. Namun tim SAR menyebut mereka mengevakuasi 571 orang. Itu berarti, 71,6% penumpang tidak tercatat secara resmi.
“Ini bukan sekadar kesalahan administrasi. Ini kriminal,” kata Budi Hartanto, peneliti senior di Institut Keselamatan Transportasi Laut. “Manifes fiktif membuat jumlah korban tidak bisa dihitung akurat. Banyak anak kecil dan perempuan tidak masuk daftar, dan ini terjadi berulang.”
Manifes fiktif juga menyebabkan proses evakuasi dan pencarian korban menjadi kacau. Dalam kasus KMP Tunu Pratama Jaya, puluhan korban yang ditemukan tidak tercantum dalam daftar, termasuk beberapa ibu dan anak. Akibatnya, keluarga menunggu kabar berhari-hari tanpa kepastian.
Di sisi lain, praktik overkapasitas sering kali dianggap “biasa” oleh operator kapal. “Kalau musim ramai, penumpang bisa dua kali lipat dari yang seharusnya,” ujar salah satu ABK kapal ferry di Pelabuhan Bitung yang enggan disebut namanya. “Tidak ada pengawasan ketat. Kadang petugas pelabuhan juga tutup mata.”
Pemerintah Bergerak, Tapi Cukupkah?
Setelah tragedi ini mencuat, pemerintah langsung bereaksi. Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi menginstruksikan audit keselamatan kapal penyeberangan, mulai dari pengecekan teknis hingga pelatihan awak. Beberapa pelabuhan juga mulai menerapkan sistem baru: digitalisasi manifes berbasis NIK.
Di Pelabuhan Gilimanuk, misalnya, penumpang kini wajib mencantumkan nomor induk kependudukan sebelum naik kapal. Tujuannya untuk menutup celah data fiktif. Selain itu, panic button dan GPS pelacakan real-time juga mulai diuji coba di beberapa rute laut rawan.
Namun, apakah langkah ini cukup?
“Langkahnya bagus, tapi ini bukan hal baru,” ujar Atmadji Sumarkidjo lagi. “Sudah ada banyak rekomendasi sejak tragedi KM Zahro Express dan Levina I dulu. Tapi selalu menunggu tragedi besar baru bertindak.”
Ia menambahkan bahwa KNKT perlu diperkuat secara struktural, termasuk melibatkan ahli independen dalam investigasi dan memberikan wewenang lebih besar untuk merekomendasikan sanksi administratif maupun pidana.
Sayangnya, catatan buruk sanksi masih menghantui. Dalam banyak kasus, operator kapal hanya diberi teguran atau denda ringan, meski jelas melanggar prosedur keselamatan. "Selama hukuman tidak setimpal, mereka tidak akan takut," ujar Budi Hartanto.
Luka Sosial dan Lingkungan yang Tak Terlihat
Di balik angka-angka dan laporan teknis, ada dampak yang lebih sunyi namun dalam. Korban jiwa dalam tragedi laut seperti ini, menurut data Yayasan Pelindung Penumpang Laut, lebih dari 70% berasal dari keluarga miskin. Mereka memilih kapal karena murah dan tidak punya alternatif transportasi lain
"Anak saya naik kapal karena itu satu-satunya jalan dari Talaud ke Manado," kata Yohana, ibu dari salah satu korban selamat KM Barcelona 5. “Dia tidak mampu beli tiket pesawat. Tapi saya tidak sangka kapal bisa seperti itu, tidak aman.”
Selain sisi manusia, kerusakan lingkungan juga menjadi konsekuensi besar. Dalam kasus KM Barcelona 5, kebocoran bahan bakar mencemari perairan sekitar Pulau Talise.
Aktivis lingkungan lokal menyebut tumpahan solar dan oli bisa mengganggu ekosistem laut setempat selama berbulan-bulan.
"Terumbu karang dan biota laut di sekitar lokasi sangat rentan," kata Arief Wicaksono, peneliti kelautan dari Universitas Sam Ratulangi. "Belum ada sistem mitigasi cepat untuk menangani pencemaran akibat kecelakaan kapal."
Antara Perubahan dan Pengulangan
Indonesia bukan negara yang kekurangan regulasi. Tapi tragedi demi tragedi di laut menunjukkan bahwa peraturan tanpa penegakan adalah ilusi.
Dalam lima tahun terakhir, lebih dari 60 kecelakaan kapal terjadi di perairan Indonesia, dari Sumatra hingga Papua. Rata-rata, hanya satu dari lima insiden yang berujung pada sanksi serius terhadap operator kapal.
“Kalau tidak ada restrukturisasi total dalam pengawasan dan penegakan, tragedi seperti KM Barcelona 5 akan terus berulang,” pungkas Atmadji.
Modernisasi armada, digitalisasi sistem, dan edukasi keselamatan maritim harus menjadi prioritas jangka panjang. Tapi lebih dari itu, dibutuhkan keberanian politik untuk membongkar jejaring operator nakal dan aparat pelabuhan yang tutup mata.
Sebab dalam kasus seperti ini, kematian bukan hanya soal nasib. Ia adalah produk dari sistem yang dibiarkan gagal.




0Komentar