![]() |
Utang Amerika Serikat melonjak hingga Rp591.735 triliun akibat kebijakan fiskal Presiden Trump. Pelemahan dolar dan lonjakan bunga utang memicu kekhawatiran krisis global. (Disway) |
Amerika Serikat kini menghadapi lonceng peringatan fiskal paling nyaring dalam sejarah modernnya. Tumpukan utang negara adidaya itu telah menyentuh angka fantastis: USD37 triliun atau setara Rp591.735 triliun (kurs Rp15.992 per USD).
Di tengah tekanan geopolitik dan perlambatan global, dolar AS yang selama ini jadi primadona keuangan dunia mulai kehilangan pesonanya.
Kondisi ini diperparah oleh langkah kontroversial Presiden Donald Trump yang baru-baru ini menandatangani RUU anggaran baru.
Paket kebijakan tersebut menambah beban fiskal hingga USD3 triliun (Rp47 ribu triliun), lantaran memasukkan pemotongan pajak besar-besaran dan belanja negara tanpa imbangan pemangkasan pengeluaran.
Elon Musk, yang sempat menjadi pendukung kebijakan Trump, tak segan menyebut RUU ini sebagai “disgusting abomination” alias kehinaan yang menjijikkan.
Ia mengkritik habis arah belanja pemerintah yang dinilainya sembrono dan memperbesar risiko krisis keuangan.
Dolar Melemah, Suku Bunga Naik
Reaksi pasar pun mulai terasa. Nilai tukar dolar AS anjlok 10% terhadap pound sterling dan 15% terhadap euro sejak awal 2025.
Imbal hasil (yield) surat utang pemerintah AS melonjak, mencerminkan premi risiko yang lebih tinggi dari investor.
Kurva imbal hasil kini menanjak tajam sinyal klasik bahwa pasar mulai kehilangan keyakinan terhadap stabilitas fiskal AS.
“Jika tren ini dibiarkan, AS bisa menghabiskan USD10 triliun setiap tahun hanya untuk membayar utang dan bunga,” ujar Ray Dalio, pendiri hedge fund Bridgewater Associates, yang telah lama mewanti-wanti soal utang Amerika.
Menurut Dalio, Amerika Serikat sedang berada di titik balik. Jika tak ada perubahan drastis, skenario bencana fiskal tinggal menunggu waktu.
Ia menguraikan tiga opsi berat yang mungkin harus diambil Washington:
Pemangkasan Belanja atau Kenaikan Pajak Ekstrem
Mengurangi defisit dari 6% menjadi 3% dari PDB bisa jadi langkah darurat. Namun, arah kebijakan Trump justru berlawanan: belanja naik, pajak turun.
Mencetak Uang Lebih Banyak
The Fed bisa saja kembali membeli surat utang pemerintah — seperti era pasca-krisis 2008. Tapi risiko inflasi dan ketimpangan ekonomi akan semakin parah.
Gagal Bayar
Opsi yang tak terbayangkan, tapi bukan mustahil. Default akan menghantam sistem keuangan global dan membuat kepercayaan terhadap dolar runtuh seketika.
Dolar Masih Jadi Raja, Tapi Mahkota Retak
Meski dilanda badai, dominasi dolar belum sepenuhnya tergoyahkan. Mata uang ini masih digunakan dalam 90% transaksi valas global dan separuh perdagangan internasional. Ekonom Mohamed El-Erian menyebut dolar sebagai “the cleanest dirty shirt” —pakaian paling bersih di antara yang kotor.
“Dunia ingin lepas dari dolar, tapi belum ada alternatif yang likuid, stabil, dan terpercaya,” katanya.
Daya tahan dolar juga ditopang oleh kekuatan ekonomi AS senilai USD25 triliun per tahun, serta daya tarik pasar keuangan AS yang dalam dan likuid. Bahkan, meski rasio utangnya tinggi, AS masih lebih baik dibanding Jepang dan Italia.
Upaya De-Dolarisasi BRICS Masih Jalan di Tempat
Namun, tekanan datang dari berbagai arah. China dan Rusia makin agresif mendorong penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan.
BRICS juga mulai menjajaki pembuatan mata uang cadangan baru. Tapi hingga kini, belum ada satu pun opsi yang sebanding dengan dolar dari segi jangkauan global.
Jika dolar runtuh, dampaknya bisa sistemik. Negara-negara yang menyimpan cadangan dolar dan surat utang AS akan menderita kerugian besar. Sistem perdagangan dan pembiayaan global pun bisa terguncang, memicu inflasi dan bahkan resesi global.
Meski The Fed belum memangkas suku bunga secepat Eropa atau Inggris, pelemahan dolar menandakan bahwa faktor fundamental bukan sekadar kebijakan moneter kini lebih menentukan sentimen pasar.
Bukan Kiamat, Tapi Alarm Bahaya Menyala
Dengan ekonomi terbesar dan otoritas moneter yang kuat, AS masih punya amunisi untuk mencegah krisis fiskal skala penuh.
Namun, utang USD37 triliun tetap menjadi beban besar. Tanpa reformasi fiskal, posisi dolar sebagai mata uang cadangan dunia bisa terus terkikis, sedikit demi sedikit.
Seperti disinggung dalam buku klasik Death of the Dollar (1968) karya William F. Rickenbacker, kematian dolar bisa jadi bukan peristiwa ledakan besar, tapi kemunduran perlahan akibat kebijakan yang gegabah.
0Komentar