![]() |
Presiden Trump mengancam tarif 10% untuk negara pro-BRICS yang dianggap anti-Amerika, termasuk Indonesia, memicu ketegangan dagang dan dampak pasar global. (Brendon Bell/poll via Reuters/file photo) |
Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali menggebrak pasar global dengan ancaman tarif tambahan sebesar 10% terhadap negara-negara yang mendukung kebijakan BRICS yang dianggap "anti-Amerika."
Pernyataan ini disampaikan pada 6 Juli 2025 melalui Truth Social, bertepatan dengan pertemuan pemimpin BRICS di Brasil.
Ancaman ini muncul di tengah negosiasi dagang AS yang kian memanas, menciptakan ketidakpastian di pasar global dan berpotensi mengganggu hubungan diplomatik dengan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Tarif 10% ini menargetkan negara-negara yang dianggap mendukung agenda BRICS, blok ekonomi yang kini diperkuat 11 anggota, termasuk Indonesia, Brasil, Rusia, India, China, hingga Arab Saudi.
Trump menegaskan langkah ini sebagai upaya melindungi kepentingan ekonomi AS. "Jika Anda berdiri bersama BRICS, maka Anda berdiri melawan Amerika. Dan akan ada konsekuensinya," tegasnya.
Ancaman ini berbeda dari pernyataan sebelumnya pada Januari 2025, ketika Trump mengancam tarif 100% jika BRICS mencoba menggantikan dolar AS dengan mata uang baru.
Kini, fokusnya adalah kebijakan BRICS yang dinilai merugikan AS, dengan surat tarif resmi dijadwalkan dikirim pada 7 Juli 2025 dan tenggat negosiasi hingga 9 Juli 2025.
Dampak ancaman ini langsung terasa di pasar global. Indeks Stoxx melemah, mencerminkan kekhawatiran investor akan eskalasi perang dagang.
China, melalui juru bicara Kementerian Luar Negeri Mao Ning, menanggapi dengan nada tegas namun diplomatis. "BRICS tidak mencari konfrontasi.
Kami mendukung kerja sama yang inklusif dan menentang proteksionisme," ujar Mao.
Pernyataan bersama BRICS juga memperingatkan bahwa kenaikan tarif dapat mengganggu rantai pasok global, sebuah sindiran halus terhadap kebijakan Trump.
Indonesia, sebagai anggota baru BRICS, berada di posisi rentan. Sebagai negara yang bergantung pada ekspor ke AS, terutama tekstil dan elektronik, tarif tambahan bisa menekan daya saing.
Ekonom senior dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, memperingatkan dampaknya terhadap perekonomian domestik. "Indonesia harus hati-hati.
Ekspor kita ke AS mencapai 20% dari total ekspor. Tarif 10% bisa memangkas margin keuntungan eksportir dan menekan pertumbuhan ekonomi," ujarnya.
Data Kementerian Perdagangan mencatat, nilai ekspor Indonesia ke AS pada 2024 mencapai USD 25 miliar, dan ancaman tarif ini bisa menggerus angka tersebut.
Reaksi di pasar domestik juga tidak kalah sengit. Diskusi di platform X menunjukkan kekhawatiran publik, meski ada kebingungan antara ancaman tarif 10% terbaru dan tarif 100% sebelumnya terkait de-dollarisasi.
Sementara itu, pemerintah Indonesia belum memberikan pernyataan resmi, tetapi sumber di Kementerian Luar Negeri menyebutkan sedang mempelajari dampak kebijakan ini.
Di tengah ancaman ini, BRICS tetap menunjukkan sikap terbuka. Pertemuan di Brasil menegaskan komitmen untuk mempercepat kerja sama ekonomi tanpa konfrontasi langsung dengan AS.
Namun, ancaman tarif Trump bisa mendorong blok ini untuk menggagas alternatif perdagangan, termasuk memperkuat sistem pembayaran non-dolar, meski langkah ini dibayangi ancaman tarif 100% sebelumnya.
"Ini seperti permainan catur ekonomi. Trump ingin menekan BRICS, tapi risikonya adalah eskalasi perang dagang yang merugikan semua pihak," kata analis ekonomi global dari LPEM UI, Teuku Riefky.
Ancaman Trump ini bukan hanya soal angka, tetapi juga sinyal politik. Dengan negosiasi dagang yang kian rumit, Indonesia dan negara-negara BRICS lainnya harus bergerak cerdas untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan hubungan diplomatik.
Pasar kini menanti langkah konkret AS pada 9 Juli 2025, sambil berharap tensi global tidak semakin memanas.
0Komentar