![]() |
| Kanada akan akui negara Palestina pada September 2025. Jadi negara G7 ketiga setelah Inggris & Prancis, sinyal perpecahan sikap di tubuh G7 soal Israel. (AFP/DAVE CHAN) |
Perdana Menteri Kanada Mark Carney resmi mengumumkan bahwa Ottawa akan mengakui Negara Palestina pada September 2025. Langkah ini menjadikan Kanada sebagai negara G7 ketiga yang menyatakan pengakuan terhadap Palestina hanya dalam sepekan terakhir, setelah Prancis dan Inggris mengambil sikap serupa.
“Prospek berdirinya negara Palestina sedang terkikis di depan mata kita,” ujar Carney dalam pernyataan yang dirilis Selasa malam waktu Ottawa. “Pendekatan ini tidak lagi dapat dipertahankan.”
Namun, pengakuan itu tidak diberikan secara mutlak. Carney menegaskan bahwa pengakuan dari pihak Kanada bergantung pada sejumlah syarat penting yang harus dipenuhi Otoritas Palestina, antara lain pelaksanaan pemilu bebas pada 2026 tanpa keterlibatan Hamas, serta komitmen penuh terhadap demiliterisasi.
“Saya tidak meremehkan betapa beratnya syarat ini. Tapi kita tidak bisa lagi menunggu,” kata Carney. “Tingkat penderitaan manusia di Gaza tidak dapat ditoleransi dan terus memburuk dengan cepat.”
Kanada selama ini dikenal sebagai sekutu dekat Israel. Tapi sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 dan respons militer Israel yang memicu krisis kemanusiaan besar di Gaza, tekanan dari dalam negeri Kanada untuk mengambil sikap mulai meningkat tajam.
Dalam waktu kurang dari dua bulan, hampir 200 mantan diplomat dan duta besar Kanada menandatangani surat terbuka yang mendesak pemerintah agar segera mengakui Palestina sebagai negara merdeka.
Dalam surat itu, mereka menyatakan bahwa tindakan militer Israel telah melanggar nilai-nilai dasar Kanada. “Pengungsian besar-besaran, pemboman tanpa pandang bulu, kelaparan warga sipil, dan serangan kekerasan oleh pemukim ekstremis di Tepi Barat telah mengabaikan prinsip-prinsip Kanada setiap hari,” tulis mereka.
Surat tersebut juga menyebut bahwa pengakuan negara Palestina akan menjadi pernyataan tegas terhadap segala bentuk upaya pengusiran dan penindasan. “Pengakuan ini bukan hanya bentuk dukungan kami terhadap hak rakyat Palestina atas penentuan nasib sendiri, tapi juga penolakan total terhadap setiap agenda yang mencoba menggusur mereka dari tanah mereka sendiri.”
Carney mengatakan dirinya telah berbicara langsung dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengenai syarat-syarat pengakuan tersebut. Salah satu poin kunci yang disampaikan Ottawa adalah bahwa Palestina harus menunjukkan komitmen nyata terhadap tata kelola demokratis yang bebas dari pengaruh kelompok bersenjata.
“Kami ingin melihat pemilu bebas tanpa Hamas, pemerintahan sipil yang bisa dipercaya, dan penghentian total aktivitas militer oleh aktor non-negara,” ujar Carney. “Itu adalah syarat mutlak untuk mewujudkan perdamaian jangka panjang.”
Langkah Kanada ini menambah tekanan terhadap Israel, terutama menjelang Sidang Umum PBB ke-80 yang akan digelar September mendatang. Prancis dan Inggris sebelumnya telah menyatakan akan mengakui Palestina pada forum tersebut.
Prancis mengumumkan sikapnya pada 24 Juli, diikuti oleh Inggris pada 29 Juli. Kedua negara sama-sama mensyaratkan penghentian operasi militer Israel dan dimulainya proses negosiasi damai.
Pemerintah Inggris bahkan menyatakan secara eksplisit bahwa pengakuan akan dilakukan jika Israel tidak segera menyetujui gencatan senjata dan memenuhi sejumlah syarat tambahan.
Sementara itu, Kanada juga telah menyatakan akan mengirim Menteri Luar Negeri ke Konferensi Tingkat Tinggi PBB tentang Solusi Dua Negara di New York pada awal September. Carney menyebut forum itu sebagai momentum krusial untuk mendorong negara-negara lain agar bersikap serupa.
“Kami akan bekerja secara intensif di semua forum untuk mencapai tujuan ini,” katanya. “Dunia tidak bisa terus membiarkan prospek solusi dua negara menghilang begitu saja.”
Respons dari Israel terhadap pengumuman ini sangat keras. Duta Besar Israel untuk Kanada, Iddo Moed, menyebut keputusan Ottawa sebagai bentuk tekanan yang tidak adil dan bias.
“Kami tidak akan tunduk pada kampanye tekanan internasional yang menyimpang terhadap kami,” kata Moed dalam pernyataan resminya. “Kami tidak akan mengorbankan keberadaan kami sendiri dengan mengizinkan paksaan negara jihadis di tanah leluhur kami yang berusaha memusnahkan kami.”
Di sisi lain, kelompok Hamas justru menyambut baik langkah tersebut. Dalam keterangan tertulis yang dirilis dari Gaza, juru bicara Hamas menyebut pengumuman Kanada sebagai “langkah positif ke arah yang benar menuju keadilan bagi rakyat Palestina yang tertindas.”
Meski secara praktis pengakuan ini tidak mengubah situasi di lapangan, para analis menilai bahwa langkah simbolik dari negara-negara G7 memiliki dampak diplomatik yang signifikan. Sebagai blok ekonomi dan politik paling berpengaruh di dunia, sikap kolektif G7 dapat menggeser keseimbangan politik global dalam isu Palestina.
“Kita belum bicara tentang pembentukan negara Palestina secara de facto,” kata seorang diplomat senior Uni Eropa yang enggan disebut namanya. “Tapi ketika tiga negara G7 mulai mengambil sikap, negara lain akan sulit untuk tetap diam.”
Carney sendiri menyadari bahwa pengakuan ini bukan solusi instan. “Banyak yang harus terjadi sebelum negara yang demokratis dan layak dapat didirikan,” katanya. “Tapi dengan membiarkan kebuntuan terus berlangsung, kita hanya memberi ruang pada ekstremisme di kedua sisi.”
Pengakuan Palestina oleh negara-negara Barat memang bukan hal baru. Hingga kini, sekitar 150 dari 193 negara anggota PBB telah mengakui negara Palestina, termasuk hampir semua negara di Afrika, Asia, dan Amerika Latin.
Namun negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara selama ini menahan diri untuk tidak melangkah sebelum ada perundingan damai yang jelas.
Langkah Kanada, Inggris, dan Prancis menunjukkan bahwa pendekatan itu mulai ditinggalkan. Ketiga negara ini juga menandatangani deklarasi bersama yang disebut “New York Call”, yang menyatakan kesiapan untuk mengakui Palestina secara kolektif sebagai bentuk dukungan terhadap solusi dua negara.
Kini tekanan mulai bergeser ke negara-negara G7 lainnya yaitu Jerman, Italia, Jepang, dan tentu saja Amerika Serikat. Washington hingga kini tetap menolak pengakuan sepihak dan menekankan pentingnya negosiasi langsung antara Israel dan Palestina.
Dengan Sidang Umum PBB hanya tinggal beberapa pekan lagi, keputusan yang diambil negara-negara kunci bisa menjadi titik balik dalam sejarah konflik Timur Tengah.
“Ini bukan keputusan ringan,” tegas Carney. “Namun ini adalah pilihan moral dan strategis untuk masa depan yang lebih adil di kawasan itu.”

0Komentar