Indonesia dan negara-negara Arab secara terbuka kecam serangan Hamas 7 Oktober. Dalam Deklarasi New York yang diteken 125 negara, Hamas diminta menyerahkan kekuasaan atas Gaza dan diserukan solusi dua negara yang konkret. (SOCIAL MEDIA)

Deklarasi bersejarah lahir di Markas Besar PBB, ketika 125 negara, termasuk Indonesia dan negara-negara Arab serta mayoritas Muslim, sepakat menandatangani sebuah dokumen penting yang untuk pertama kalinya mengecam serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 ke Israel. 

Deklarasi New York ini menyerukan pelucutan senjata Hamas, pembebasan seluruh sandera, dan berakhirnya kekuasaan kelompok tersebut di Gaza.

Ditandatangani bersama oleh Liga Arab, Uni Eropa, serta negara-negara seperti Qatar, Turki, Yordania, dan Mesir, deklarasi ini dinilai sebagai langkah diplomatik yang belum pernah terjadi sebelumnya. 

Indonesia menjadi satu-satunya negara Asia Tenggara yang turut membubuhkan dukungan dalam forum yang digagas oleh Prancis dan Arab Saudi itu.

“Dalam konteks mengakhiri perang di Gaza, Hamas harus mengakhiri kekuasaannya di Gaza dan menyerahkan persenjataannya kepada Otoritas Palestina,” demikian isi deklarasi tujuh halaman yang dikutip The Times of Israel. 

Dokumen itu menekankan peran internasional dalam mendukung Otoritas Palestina membangun pemerintahan baru tanpa milisi bersenjata.

Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Noel Barrot, menyebut deklarasi ini sebagai “bersejarah dan belum pernah terjadi sebelumnya.” Ia menegaskan, “Untuk pertama kalinya, negara-negara Arab dan Timur Tengah mengutuk Hamas, mengutuk serangan 7 Oktober, menyerukan pelucutan senjata Hamas, dan menyerukan pengucilannya dari pemerintahan Palestina.”

Barrot menyatakan bahwa deklarasi tersebut menjadi dasar penerapan solusi dua negara yang bersifat “terukur, mengikat waktu, dan tak dapat dibatalkan.” Tidak hanya menuntut Israel menghentikan operasi militer di Gaza, dokumen ini juga mengutuk kekerasan terhadap warga sipil oleh kedua belah pihak baik Hamas maupun Israel.

Israel langsung merespons keras. Menteri Luar Negeri Gideon Sa’ar menyebut deklarasi itu sebagai “kampanye tekanan internasional yang menyimpang.” Ia menegaskan, “Israel tidak akan menyerah pada tekanan untuk mengakhiri perang di Gaza atau dipaksa menerima solusi dua negara.” 

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bahkan menuding negara-negara Barat, seperti Inggris dan Kanada, tengah “memberi hadiah kepada terorisme Hamas” dengan mendukung pengakuan negara Palestina. 

Sa’ar memperingatkan bahwa mendirikan negara Palestina sekarang “sama saja dengan mendirikan negara Hamas, negara jihadis. Itu tidak akan terjadi.” Israel dan Amerika Serikat diketahui menolak hadir dalam konferensi tersebut dan memboikot prosesnya sejak awal.

Salah satu isi penting deklarasi adalah pembentukan delapan kelompok kerja yang mengkaji teknis solusi dua negara, termasuk perencanaan pemerintahan transisi di Gaza pasca-perang. 

Komite ini akan melibatkan Otoritas Palestina sebagai pemerintahan sah dan menyiapkan dukungan pasukan internasional guna menjamin stabilitas keamanan dan rekonstruksi. 

Deklarasi juga menyerukan pencabutan larangan Israel terhadap badan PBB untuk pengungsi Palestina, UNRWA, serta penghapusan materi kebencian dalam kurikulum Palestina dan Israel. 

“Israel harus mencabut larangan terhadap UNRWA, membebaskan dana pajak Palestina, dan memulihkan konektivitas ekonomi Palestina ke sistem internasional,” tulis salah satu butir deklarasi.

Selain mengecam kekerasan, deklarasi juga menegaskan kembali “right of return” atau hak kembali warga Palestina yang diusir atau melarikan diri dari wilayah yang kini menjadi Israel sejak 1948. 

Isu ini selama puluhan tahun menjadi ganjalan dalam perundingan damai. Deklarasi juga menyerukan rehabilitasi ekonomi Palestina melalui pembukaan akses perdagangan, pencairan dana tertahan oleh Israel, serta pengakuan resmi terhadap Otoritas Palestina sebagai satu-satunya perwakilan sah bangsa Palestina. 

Delegasi Palestina di PBB pada hari yang sama menyatakan bahwa “Israel dan Hamas harus sama-sama meninggalkan Gaza untuk memberi ruang bagi Otoritas Palestina membentuk pemerintahan sah di wilayah tersebut.”

Turki, yang selama ini vokal membela Hamas, ikut menandatangani deklarasi ini. Presiden Recep Tayyip Erdoğan tetap mengkritik Israel dengan menyebut blokade Gaza sebagai bentuk “kelaparan sistematis yang dipakai sebagai senjata,” dan membandingkannya dengan kamp konsentrasi Nazi. 

Namun keikutsertaan Ankara dalam deklarasi menunjukkan pergeseran nuansa diplomasi. Sementara itu, Indonesia sebagai salah satu penandatangan, tetap konsisten dalam dukungan terhadap Palestina. 

Namun, posisi ini kini dilengkapi dengan kecaman terhadap Hamas, sesuatu yang jarang dilakukan secara terbuka oleh Jakarta. “Deklarasi ini adalah langkah yang seimbang dan strategis untuk membuka jalan menuju perdamaian permanen di Timur Tengah,” ujar seorang diplomat senior Indonesia yang ikut dalam penyusunan naskah.

Sejalan dengan deklarasi, sebanyak 15 negara Barat, termasuk Spanyol, Irlandia, dan Norwegia, menyatakan kesiapan mereka untuk mengakui negara Palestina secara resmi pada Sidang Umum PBB bulan September 2025. 

Inggris dan Kanada juga menyatakan dukungan bersyarat, tergantung pada perkembangan situasi di Gaza dan Tepi Barat. Langkah ini dipandang sebagai cara mendorong Israel kembali ke jalur diplomasi, meski beberapa analis memperingatkan bahwa pengakuan sepihak bisa memperkeras sikap Israel dan memicu kebuntuan baru.

Deklarasi New York menghadirkan babak baru dalam dinamika konflik Israel-Palestina. Meskipun tidak bersifat mengikat secara hukum, dokumen ini mencerminkan dukungan internasional yang makin terkoordinasi untuk mendorong solusi dua negara. 

Dalam waktu dekat, dunia akan melihat apakah upaya ini benar-benar menggerakkan proses perdamaian atau justru tersendat karena penolakan dari pihak-pihak utama.

“Mendirikan negara Palestina saat ini bukan solusi damai, melainkan pemicu perang yang lebih besar,” tegas Menteri Luar Negeri Israel Gideon Sa’ar. 

Di sisi lain, Menteri Luar Negeri Prancis justru menilai, “Kami tidak sedang memberi ruang pada Hamas, tapi memberi masa depan bagi rakyat Palestina dan keamanan jangka panjang bagi Israel.” 

Perseteruan ini kini bergerak dari medan tempur ke arena diplomasi global. Sidang Umum PBB September nanti bisa menjadi titik balik apakah Palestina merdeka akhirnya bisa terwujud, atau dunia kembali menyaksikan babak baru dari kebuntuan yang telah berlangsung lebih dari 75 tahun.