![]() |
Peningkatan Neo-Nazisme di kalangan pemuda Rusia didorong ketimpangan ekonomi, krisis identitas, radikalisasi digital, dan narasi ambivalen Kremlin. (Ilustrasi: Apluswire/Nabila Elisa Maharani) |
Fenomena peningkatan keterlibatan pemuda Rusia dalam kelompok Neo-Nazi menjadi sorotan global. Data terbaru menunjukkan peningkatan signifikan sejak 2023, dengan kekerasan bermotivasi ideologis melonjak hingga memengaruhi 259 korban pada 2024, naik tajam dari 123 korban pada tahun sebelumnya.
Siapa yang terdampak? Imigran, kelompok minoritas etnis, individu LGBT+, hingga lawan politik menjadi sasaran utama.
Di balik angka-angka ini, ada pendorong kuat: ketimpangan ekonomi, krisis identitas pasca-Soviet, radikalisasi digital, dan narasi negara yang ambivalen.
Apa yang sebenarnya terjadi di Rusia, dan mengapa pemuda, bahkan yang masih berusia 13-14 tahun, terjerat dalam ideologi ekstrem ini?
Krisis Ekonomi: Lahan Subur Radikalisasi
Ketimpangan ekonomi di Rusia menjadi salah satu pemicu utama radikalisasi pemuda. Data menunjukkan kesenjangan pendapatan dan kekayaan di Rusia sangat mencolok, dengan pengeluaran konsumen rata-rata kelompok berpenghasilan tertinggi 10 kali lipat lebih besar dibandingkan kelompok terendah.
![]() |
Ketimpangan ekonomi ekstrem di Rusia jadi bahan bakar radikalisasi generasi muda. Konsumsi kelompok kaya 10x lipat lebih tinggi dibanding yang termiskin. (Ilustrasi: Apluswire) |
Tingkat pengangguran pemuda, meskipun menurun dari 16,16% pada 2021 menjadi 9,25% pada 2024, tetap menjadi tantangan besar.
Pada 2023, angka pengangguran pemuda tercatat 12,7%, menunjukkan fluktuasi yang terus membebani generasi muda.
“Ketika peluang kerja minim dan mobilitas sosial terbatas, pemuda merasa terjebak. Ideologi ekstremis seperti Neo-Nazisme menawarkan narasi sederhana: menyalahkan pihak lain, seperti imigran, atas masalah ekonomi mereka.”
Mobilitas sosial di Rusia memang terbatas. Hanya seperempat warga Rusia yang mampu berpindah antar strata sosial, dan perubahan signifikan dari strata rendah ke tinggi sangat jarang terjadi.
Peluang mencapai strata atas bergantung pada “potensi manusia” seperti kesehatan dan latar belakang keluarga berpendidikan tinggi, yang sering kali tidak dimiliki pemuda dari kelas bawah.
Akibatnya, banyak pemuda merasa marah dan terasing, mencari solusi radikal untuk mengatasi ketidakadilan yang mereka rasakan.
Kelompok Neo-Nazi memanfaatkan keluhan ini dengan cerdik. Mereka menawarkan narasi yang menyalahkan imigran atau “orang luar” atas kesulitan ekonomi, memberikan janji palsu tentang ketertiban dan keadilan dalam struktur hierarkis mereka.
“Narasi ini menarik karena memberikan rasa tujuan dan kepemilikan yang tidak ditemukan di masyarakat arus utama,” tambah Ivanov.
Krisis Identitas: Pencarian Makna di Tengah Kekosongan Ideologi
Era pasca-Soviet meninggalkan Rusia dengan kekosongan ideologis yang mendalam. Keruntuhan Uni Soviet menghapus identitas nasional yang kuat, meninggalkan generasi muda yang kini berjuang mencari makna dan rasa memiliki.
Masa remaja, periode kritis pembentukan identitas, menjadi momen rawan bagi radikalisasi.
“Pemuda Rusia mencari identitas yang jelas di tengah perubahan sosial yang cepat,” kata Dr. Natalia Petrova, psikolog sosial dari Institut Penelitian Sosial Rusia. “Kelompok Neo-Nazi menawarkan narasi ‘kita versus mereka’ yang kaku, memberikan rasa komunitas yang kuat.”
Data menunjukkan tingkat apatisme politik yang tinggi di kalangan pemuda Rusia. Sekitar 60% menyatakan “tidak tertarik” atau “hanya sedikit tertarik” pada politik, dengan hanya 26% mempercayai pemerintah, 16% mempercayai partai politik, dan 24% mempercayai Duma Negara.
Namun, dua pertiga pemuda setuju bahwa mereka harus memiliki lebih banyak kesempatan untuk menyuarakan pandangan politik mereka.
Ketidakpuasan ini, ditambah dengan ketidakpercayaan terhadap institusi, menciptakan lahan subur bagi ideologi ekstremis.
Kelompok Neo-Nazi memanfaatkan kebutuhan psikologis akan identitas dengan menawarkan konsep seperti “Rusia murni” atau “identitas Arya”.
Narasi ini memberikan tujuan bersama yang jelas, mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh sistem politik arus utama.
“Ketika institusi gagal memberikan rasa tujuan, kelompok ekstremis masuk dengan solusi yang tampak sederhana namun berbahaya,” ujar Petrova.
Persepsi ketidakadilan juga memainkan peran besar. Kelompok Neo-Nazi membingkai pemuda Rusia sebagai “korban” ancaman eksistensial, menyalahkan kelompok seperti imigran, individu LGBT+, atau “nilai-nilai Barat” atas masalah sosial.
Narasi ini mengubah frustrasi abstrak menjadi kebencian terhadap target konkret, memberikan rasa tujuan yang “benar” bagi pemuda yang merasa terpinggirkan.
Radikalisasi Digital: TikTok, Telegram, dan Gamifikasi Kebencian
Lingkungan digital telah menjadi medan utama radikalisasi pemuda Rusia. Platform seperti TikTok dan Telegram menjadi alat ampuh bagi kelompok ekstremis untuk merekrut dan mengindoktrinasi.
![]() |
TikTok dan Telegram dimanfaatkan ekstremis untuk sebarkan propaganda, tawarkan 'uang mudah', hingga glorifikasi kekerasan lewat video brutal dan game seperti Minecraft. (Ilustrasi: Apluswire) |
TikTok, dengan keterlibatan per postingan yang jauh lebih tinggi dibandingkan platform seperti X, telah menjadi saluran utama penyebaran propaganda pro-Rusia dan narasi ekstremis.
“Algoritma TikTok menciptakan ruang gema, di mana pemuda terpapar konten yang semakin radikal berdasarkan minat awal mereka,” kata Maria Sokolova, analis media digital dari Universitas St. Petersburg.
Telegram, yang sangat populer di Rusia, digunakan untuk menawarkan “uang mudah” kepada remaja untuk melakukan tindakan sabotase, bahkan hingga tindakan berbahaya seperti pengeboman.
Video serangan Neo-Nazi, yang sering kali brutal dan mencakup mutilasi, disebarkan luas di saluran Telegram sayap kanan, bertujuan untuk mengagungkan kekerasan dan menarik rekrutan baru.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah taktik gamifikasi. Kelompok ekstremis mengubah budaya game menjadi alat rekrutmen, menanamkan narasi kebencian ke dalam mekanisme gameplay yang familiar.
Contohnya, avatar di Minecraft yang berbaris di bawah simbol Neo-Nazi seperti Black Sun dengan slogan “Defend Your Land”.
Pada 2022, seorang remaja Rusia dihukum karena merencanakan serangan virtual terhadap gedung FSB di Minecraft, menunjukkan bagaimana ruang digital bisa menjadi inkubator niat ekstremis dunia nyata.
“Gamifikasi ini berbahaya karena mengaburkan batas antara permainan dan ideologi ekstremis,” ujar Sokolova. “Pemuda melihat tindakan ekstremis sebagai ‘permainan’, yang menurunkan hambatan psikologis terhadap kekerasan.”
Desain algoritmik platform digital, dikombinasikan dengan anonimitas relatif, memungkinkan kelompok Neo-Nazi mengidentifikasi dan menargetkan pemuda rentan dengan efisien, mengubah konsumen propaganda pasif menjadi pelaku aktif.
Narasi Negara yang Ambivalen: Bumerang Kebijakan Kremlin
Peran negara Rusia dalam fenomena ini sangat paradoksal. Di satu sisi, Kremlin mengklaim memerangi “Nazisme” melalui narasi “denazifikasi” Ukraina, yang digunakan untuk membenarkan invasi.
![]() |
Seorang wanita Ukraina memegang gambar yang memperlihatkan kepala presiden Rusia Vladimir Putin, Joseph Stalin dan Adolf Hitler di Kyiv pada 12 Februari. (Sergey Dolzhenko/EPA-EFE/REX/Shutterstock) |
Namun, retorika ini justru memperkuat sentimen sayap kanan di dalam negeri. Hanya 52% pemuda Rusia percaya hubungan dengan Barat bisa ramah, dan hanya 20% menganggap Rusia sebagai negara Eropa.
Narasi anti-Barat dan bahasa dehumanisasi terhadap Ukraina, yang menyalahkan “nilai-nilai liberal” atau “globalis Barat”, menciptakan lingkungan di mana xenofobia dan nasionalisme menjadi normal.
“Retorika ‘denazifikasi’ Kremlin secara tidak sengaja memberikan legitimasi bagi kelompok ekstremis domestik,” kata Dr. Dmitry Volkov, pakar politik Rusia dari Universitas Higher School of Economics. “Dengan mempersenjatai narasi anti-Barat dan menyalahkan kelompok tertentu, negara menciptakan kerangka yang mudah diadopsi oleh Neo-Nazi.”
Peningkatan retorika anti-imigran oleh media pemerintah juga memperburuk situasi. Pejabat tinggi dan tokoh agama, seperti Patriark Kirill, menyuarakan kekhawatiran tentang imigran yang “mengubah wajah kota-kota Rusia”.
Akibatnya, opini publik bergeser: 25% warga Rusia kini melihat imigran sebagai masalah, naik dari 19% sebelumnya, dan 31% mendukung larangan total warga Asia Tengah masuk Rusia, dua kali lipat sejak 2022.
Penyalahgunaan undang-undang anti-ekstremisme semakin memperumit masalah. Meskipun dimaksudkan untuk melawan ekstremisme, undang-undang ini sering digunakan untuk menekan perbedaan pendapat dan menargetkan kelompok minoritas, seperti individu LGBT+ yang kini dilabeli sebagai “ekstremis” sejak 2023.
Penindasan organisasi independen seperti SOVA Center, yang memantau ekstremisme, menciptakan kekosongan data dan menghambat respons efektif.
“Dengan menekan pemantau independen, negara membuat dirinya buta terhadap skala sebenarnya masalah ini,” ujar Volkov.
Strategi “nasionalisme terkelola” Kremlin, yang dimulai sejak era Putin pada 2000, juga memiliki efek bumerang.
Upaya untuk mengkooptasi kelompok nasionalis radikal, seperti melalui organisasi pemuda pro-Putin “Nashi”, justru memberikan platform bagi individu dengan kecenderungan ekstremis.
Ini menciptakan jembatan antara subkultur ekstremis dan arus utama, yang kini memperkuat narasi Neo-Nazi.
Kekerasan yang Melonjak dan Kelompok Rentan Terancam
Dampak dari radikalisasi ini sangat nyata. Kekerasan bermotivasi ideologis melonjak ke level tertinggi sejak 2011, dengan 259 korban pada 2024, termasuk satu kematian.
![]() |
Foto seorang remaja ditembak pada bagian wajah dengan pistol suar (flare gun) dalam perjalanan pulang dari pemutaran film mengenai aktivis sayap kiri. ( Anita.ru) |
Serangan bermotivasi etnis terhadap “orang luar” seperti warga Asia Tengah, Kaukasus, dan individu berkulit gelap meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi 163 kasus.
Kelompok LGBT+, subkultur pemuda, dan lawan politik juga menjadi target, menunjukkan perluasan sasaran kekerasan.
Imigran, khususnya dari Asia Tengah, menghadapi permusuhan yang meningkat, terutama setelah serangan teroris Crocus City Hall.
Sebanyak 56% warga Rusia ingin melarang atau membatasi masuknya imigran Asia Tengah, dan 39% menolak kehadiran kelompok Roma.
Penetapan “Gerakan LGBT Internasional” sebagai organisasi ekstremis telah menyebabkan penuntutan sewenang-wenang, mendorong organisasi pendukung beroperasi secara klandestin.
“Kebijakan negara dan kekerasan ekstremis saling memperkuat, menciptakan lingkungan yang permisif bagi Neo-Nazi,” ujar Elena Mikhailova, aktivis hak asasi manusia. “Kelompok rentan kini hidup dalam ketakutan, sementara pelaku merasa memiliki dukungan diam-diam dari narasi resmi.”
Mengatasi Akar Masalah
Untuk membalikkan tren ini, pendekatan komprehensif diperlukan.
Pertama, mengatasi ketimpangan ekonomi melalui kebijakan yang meningkatkan peluang kerja dan mobilitas sosial bagi pemuda. Program pendidikan dan pelatihan kerja dapat mengurangi frustrasi yang menjadi bahan bakar radikalisasi.
Kedua, pendidikan literasi digital harus digalakkan untuk membantu pemuda mengenali dan menolak propaganda ekstremis. “Pemuda perlu diajarkan cara kritis mengevaluasi konten daring,” kata Sokolova.
Ketiga, menciptakan ruang publik yang inklusif dan saluran partisipasi sipil yang sehat dapat menyalurkan aspirasi pemuda secara konstruktif.
Keempat, reformasi undang-undang anti-ekstremisme diperlukan untuk mencegah penyalahgunaan terhadap kelompok minoritas dan perbedaan pendapat. Dukungan terhadap organisasi masyarakat sipil independen juga krusial untuk memastikan pemantauan ekstremisme yang akurat.
Terakhir, strategi deradikalisasi yang menargetkan kebutuhan psikologis pemuda, seperti identitas dan rasa memiliki, harus dikembangkan. “Kita perlu memberikan alternatif yang positif bagi pemuda, bukan hanya melarang atau menekan,” ujar Petrova.
Peningkatan keterlibatan pemuda Rusia dalam kelompok Neo-Nazi adalah krisis yang didorong oleh ketimpangan ekonomi, krisis identitas, dan radikalisasi digital, diperparah oleh narasi negara yang ambivalen.
Dengan kekerasan yang melonjak dan kelompok rentan semakin terancam, Rusia menghadapi tantangan serius yang membutuhkan solusi mendesak.
Tanpa intervensi yang tepat, tren ini berisiko memperdalam perpecahan sosial dan mengancam stabilitas domestik.
Saatnya Rusia mengatasi akar masalah ini, sebelum ideologi kebencian mengakar lebih dalam di kalangan generasi muda.
0Komentar