AS mencabut sanksi Rusia untuk proyek PLTN Paks-2 Hungaria senilai €12,5 miliar, dorong keamanan energi Eropa, Rosatom, Gazprombank, General License 115B. (AFP/Alexander Nemenov)

Amerika Serikat membuat gebrakan dengan mencabut sanksi terhadap Rusia untuk proyek pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Paks-2 di Hungaria. Keputusan ini, yang diumumkan pada 27 Juni 2025, menjadi yang pertama sejak konflik Ukraina memanas pada 2022, membuka jalan bagi kelanjutan proyek strategis senilai €12,5 miliar yang diharapkan memenuhi lebih dari 50% kebutuhan listrik Hungaria pada 2030-an. 

Langkah ini berdampak besar pada keamanan energi Eropa Tengah, namun memicu kontroversi terkait integritas sanksi Barat terhadap Rusia.

Keputusan ini tertuang dalam General License 115B yang dikeluarkan Kantor Pengawasan Aset Luar Negeri (OFAC) di bawah Departemen Keuangan AS. 

Lisensi tersebut mengizinkan transaksi keuangan dengan sejumlah bank Rusia, termasuk Gazprombank, Sberbank, VTB, Alfa-Bank, dan Rosbank, untuk proyek energi nuklir sipil yang dimulai sebelum 21 November 2024. 

Berlaku hingga 19 Desember 2025, izin ini memungkinkan proyek Paks-2, yang sempat terhenti akibat sanksi sebelumnya, kembali bergulir dengan target penuangan beton pertama pada 2026.

Proyek Paks-2, yang digagas melalui perjanjian bilateral Hungaria-Rusia pada 2014, melibatkan pembangunan dua reaktor VVER-1200 oleh Rosatom, perusahaan nuklir milik negara Rusia. 

Dengan pinjaman €10 miliar dari Rusia, proyek ini mencakup 80% dari total biaya dan dianggap krusial untuk menjamin pasokan listrik Hungaria, yang saat ini bergantung pada PLTN Paks lama untuk separuh kebutuhan energinya. 

Menteri Energi Hungaria, Csaba Lantos, pernah menyatakan pada 2023 bahwa proyek ini ditargetkan terhubung ke jaringan listrik pada awal 2030-an, sebuah langkah yang diyakini akan mendorong ketahanan energi nasional.

Menteri Luar Negeri Hungaria, Peter Szijjarto, menyambut gembira keputusan AS ini. Dalam pernyataannya pada 29 Juni 2025, ia menyebut langkah ini sebagai dorongan besar bagi keamanan energi Hungaria. 

"AS sempat membuat keputusan politik yang menyulitkan kami, tapi kini mereka memandang Hungaria sebagai teman. Pencabutan sanksi ini memastikan proyek Paks-2 berjalan lancar," ujarnya, seperti dikutip dari Russian Today. 

Szijjarto bahkan secara terbuka berterima kasih kepada Presiden AS Donald Trump, yang sejak Januari 2025 mendorong pendekatan diplomatik baru terhadap Rusia, termasuk upaya meredakan ketegangan akibat konflik Ukraina.

Namun, keputusan ini tak luput dari kritik. Ukraina, melalui pernyataan Vladyslav Vlasiuk, menyebut klaim pencabutan sanksi sebagai manipulasi. 

"Ini bukan pencabutan total, melainkan lisensi baru untuk transaksi tertentu. AS tetap teguh pada sanksi terhadap Rusia," tegasnya, seperti dilansir Kyiv Independent. 

Vlasiuk menyoroti bahwa langkah ini hanya mencakup proyek nuklir sipil yang sudah berjalan, bukan kebijakan baru yang longgar secara keseluruhan. 

Analis dari Lansing Institute juga memperingatkan bahwa kelonggaran ini berisiko meningkatkan pengaruh Rusia di infrastruktur kritis Eropa, terutama karena Rosatom tetap menjadi pemain kunci dalam proyek ini.

Konteks keputusan ini tak lepas dari dinamika politik global. Hungaria, yang sejak 2022 konsisten menentang sanksi energi Barat terhadap Rusia, telah mempertahankan kontrak jangka panjang dengan Gazprom untuk pasokan gas. 

Negara ini juga berhasil mendapatkan pengecualian dari Uni Eropa untuk impor minyak dan gas Rusia, bahkan baru-baru ini memblokir usulan UE untuk menghentikan impor gas Rusia pada 2027. 

Keputusan AS ini, menurut sejumlah pengamat, mencerminkan upaya diplomatik untuk meredakan ketegangan dengan Rusia, sekaligus mendukung ketahanan energi di Eropa Tengah. 

Namun, langkah ini juga memicu kekhawatiran di kalangan sekutu Barat, terutama Ukraina, yang melihatnya sebagai pelemahan tekanan terhadap Moskow.

Dampak jangka panjang dari keputusan ini masih menjadi tanda tanya. Di satu sisi, kelanjutan Paks-2 diperkirakan akan memperkuat posisi Hungaria sebagai pusat energi di kawasan, dengan potensi mengurangi ketergantungan pada sumber energi lain. 

Di sisi lain, ketergantungan pada teknologi dan pembiayaan Rusia dapat menciptakan kerentanan geopolitik, terutama di tengah konflik yang belum usai di Ukraina. 

"Ini adalah keseimbangan yang rumit. AS mungkin ingin menjaga stabilitas energi Eropa, tapi risiko pengaruh Rusia di infrastruktur strategis tidak bisa diabaikan," kata seorang analis energi dari World Nuclear News.

Dengan proyek Paks-2 kembali berjalan, Hungaria optimistis bisa memenuhi target energi nasionalnya pada 2030-an. 

Namun, keputusan AS ini juga menegaskan kompleksitas hubungan energi dan politik di Eropa, di mana kepentingan nasional sering kali berbenturan dengan dinamika global. 

Bagi Hungaria, ini adalah kemenangan strategis. Bagi dunia, ini adalah pengingat bahwa energi dan geopolitik selalu berjalan beriringan.