Upaya Rusia mengangkat kembali citra Stalin memunculkan pertanyaan: apakah ini bagian dari strategi politik Presiden Putin atau bentuk nostalgia terhadap era Soviet? (Foto: Getty Images)

Ketika patung Joseph Stalin berdiri kembali di stasiun metro Taganskaya, Moskow, pada Mei 2025, banyak warga yang datang meletakkan bunga. Beberapa berfoto bersama anak-anak mereka di depan sosok sang diktator, seolah-olah menyambut kembalinya tokoh yang selama puluhan tahun dicap sebagai simbol kekerasan negara.

Patung itu bukan sekadar monumen. Ia adalah simbol dari arus balik sejarah yang kini didorong oleh pemerintah Rusia di bawah kepemimpinan Vladimir Putin. 

Stalin, yang selama era Uni Soviet dikenal luas karena perannya dalam Perang Dunia II dan juga kekejamannya dalam pembersihan besar-besaran (Great Terror), kini perlahan dipoles kembali citranya sebagai pemimpin kuat nan visioner. Ini bukan kebetulan. Ini adalah narasi yang sedang dibangun.

Upaya rehabilitasi sosok Stalin di Rusia memunculkan pertanyaan: apakah ini sekadar nostalgia, atau bagian dari strategi kekuasaan yang lebih besar?

Patung Stalin yang baru dipasang di Moskow adalah replika dari monumen serupa yang pernah dicopot pada 1966 sebagai bagian dari proses de-Stalinisasi. (Getty Images)


Dari De-Stalinisasi ke Rehabilitasi

Setelah kematian Stalin pada 1953, penggantinya Nikita Khrushchev meluncurkan kebijakan de-Stalinisasi

Patung-patung Stalin disingkirkan, namanya dihapus dari lagu kebangsaan, dan jasadnya dipindahkan dari mausoleum megah di Lapangan Merah. 

Sejarah Stalin yang selama ini dipuja mulai dikritik secara terbuka, terutama terkait pembunuhan massal, kerja paksa di gulag, dan represi terhadap lawan politik.

Namun sejak Putin berkuasa pada tahun 2000, proses ini perlahan dibalikkan. Menurut catatan dari sejarawan Ivan Zheyanov, hingga 2025 setidaknya sudah lebih dari 100 monumen Stalin kembali berdiri di seluruh Rusia. 

Puncaknya terjadi setelah invasi Rusia ke Ukraina pada 2022, saat narasi Soviet mulai dimunculkan kembali untuk mendukung klaim teritorial Kremlin.



Pada 2021, jajak pendapat Levada Center menemukan bahwa 63% warga Rusia—termasuk Putin sendiri—menganggap pembubaran Uni Soviet sebagai "kesalahan." (Foto: Getty Images)


"Pemimpin Tegas untuk Zaman Sulit"

Bagi sebagian rakyat Rusia, terutama generasi muda, Stalin tak lagi dikenang sebagai algojo, tetapi sebagai simbol ketegasan dan kemenangan atas Nazi. 

Survei yang dilakukan oleh Kyiv International Institute of Sociology pada 2023 menunjukkan bahwa 63% warga Rusia memandang Stalin secara positif. Bahkan di kalangan usia 18-24 tahun, angka ini mencapai 48%.

“Saya rasa Stalin terlalu dibenci,” kata seorang mahasiswa di Moskow kepada BBC Rusia. “Dia memang kejam, tapi itu demi kejayaan bangsa.”

Narasi semacam ini kerap dipertegas oleh media pemerintah. Dalam pidato-pidato resmi, Stalin dipuji atas kepemimpinannya dalam “Perang Patriotik Raya” dan perannya dalam membangun infrastruktur Soviet, seperti sistem metro Moskow. 

Sebaliknya, topik tentang gulag dan pembersihan etnis jarang disebut.

Menurut analis politik Dmitry Oreshkin, ini bukan semata nostalgia. “Ini bagian dari strategi Putin untuk meneguhkan posisinya sebagai pemimpin kuat yang diperlukan dalam masa sulit,” ujarnya. 

“Sejarah digunakan sebagai alat legitimasi.”


Ukraina dan Warisan Soviet

Narasi ini juga berkaitan erat dengan invasi Rusia ke Ukraina. Dalam berbagai pernyataannya, Putin menyebut Ukraina sebagai “ciptaan buatan” dari masa Soviet, dan merujuk Stalin sebagai tokoh yang menyatukan wilayah tersebut di bawah kekuasaan Moskow. 

Bahkan, pada Mei 2025, Kremlin secara terbuka menyatakan bahwa pembubaran Uni Soviet pada 1991 “tidak sah secara hukum”.

Sikap ini tidak hanya memicu ketegangan dengan Ukraina, tetapi juga negara-negara Baltik dan Eropa Timur lainnya yang pernah berada di bawah bayang-bayang Moskow. 

“Putin ingin mengembalikan kebanggaan Soviet, tapi lupa bahwa sebagian besar negara bekas Uni Soviet justru ingin menjauh dari warisan itu,” ujar Natalia Savchenko, analis sejarah Rusia dari Kyiv.


Antara Kebanggaan dan Lupa Sejarah

Bagi sebagian warga Rusia, kebangkitan simbol-simbol Stalin menghadirkan rasa bangga, terutama di tengah tekanan ekonomi dan isolasi global. Namun bagi yang lain, ini menjadi alarm bahaya bagi pelupaan sejarah kelam.

Kremlin kerap menggunakan peran Stalin dalam kemenangan Soviet di Perang Dunia II untuk menggambarkannya sebagai pahlawan dan membenarkan glorifikasi dirinya. (Foto: Getty Images)

“Anak-anak sekarang tidak tahu apa itu gulag,” kata Yelena, seorang guru sejarah di St. Petersburg. “Buku pelajaran hanya bicara soal kemenangan perang. Tidak ada tentang penderitaan rakyat sendiri.”

Pandangan serupa juga disuarakan oleh jurnalis dan sejarawan internasional. Dalam artikel opini di The Guardian, sejarawan Inggris Simon Sebag Montefiore menyebut rehabilitasi Stalin di Rusia sebagai “usaha berbahaya untuk menutupi luka sejarah demi agenda kekuasaan.”

Meski narasi Soviet dan figur Stalin menguat di dalam negeri, tidak semua warga Rusia menyambutnya dengan antusias. Sebagian menilai bahwa upaya menghidupkan kembali kejayaan masa lalu adalah ilusi.

“Negara-negara tetangga kita sudah merdeka dan tak ingin kembali ke Uni Soviet,” ujar seorang warga Moskow yang diwawancarai oleh BBC. “Saya rasa kita harus maju ke depan, bukan terus menoleh ke masa lalu.”

Namun selama ketegangan dengan Barat berlangsung dan Putin terus memosisikan dirinya sebagai pelindung Rusia dari “ancaman eksternal,” tampaknya sejarah akan tetap menjadi medan pertempuran politik yang utama.

Patung Stalin yang kembali berdiri di Moskow bukan sekadar peringatan sejarah. Ia adalah pernyataan politik—bahwa masa lalu bisa dipoles untuk membenarkan kebijakan masa kini. 

Di tengah krisis geopolitik, isolasi internasional, dan perubahan sosial, pemerintah Rusia tampaknya memilih untuk menghidupkan kembali simbol-simbol kekuasaan masa lalu. 

Pertanyaannya kini: apakah masyarakat Rusia siap menelan seluruh sejarah itu, atau hanya bagian yang mereka ingin ingat?