![]() |
Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, meninggalkan pertemuan tentang program nuklir Iran di Hotel Intercontinental di Jenewa pada 20 Juni 2025 |
Iran secara tegas menyatakan tidak akan kembali ke meja perundingan soal nuklir. Sikap ini diambil sebagai bentuk penolakan terhadap agresi militer Israel yang terus berlangsung sejak awal Juni 2025. Keputusan tersebut menyulut kekhawatiran akan memburuknya stabilitas di Timur Tengah dan menggagalkan upaya diplomatik internasional yang selama ini dibangun dengan susah payah.
Dalam pernyataan yang disampaikan di Jenewa, Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi menegaskan bahwa negaranya tak akan bernegosiasi “selama agresi Israel terus berlanjut.”
Komentar ini muncul hanya sehari setelah serangan udara Israel kembali menghantam fasilitas nuklir dan militer Iran, termasuk Natanz dan Isfahan — dua lokasi yang menjadi simbol kemampuan nuklir Iran.
Serangan tersebut merupakan bagian dari “Operasi Rising Lion” yang dicanangkan Israel. Menurut Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, operasi ini bertujuan untuk “menghilangkan ancaman nuklir Iran.”
Israel mengklaim telah memundurkan program nuklir Iran setidaknya dua tahun, klaim yang masih diperdebatkan para analis.
“Kami Tidak Akan Menyerah di Bawah Tekanan”
Bagi Iran, perundingan di tengah serangan militer bukan hanya tidak adil — tetapi juga melecehkan kedaulatan negara.
“Kemampuan pertahanan Iran tidak dapat dinegosiasikan,” tegas Araghchi. Ayatollah Ali Khamenei, pemimpin tertinggi Iran, dalam pernyataan di media sosial juga menyebut bahwa “Iran tidak akan pernah berkompromi dengan Zionis,” mempertegas posisi ideologis dan politik Teheran.
Sikap ini tidak hanya simbolik. Iran bahkan mengisyaratkan kemungkinan meninggalkan Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT), sebuah langkah ekstrem yang berisiko memicu kecemasan global.
Di balik pernyataan tegas itu, rakyat Iran dan Israel menjadi korban nyata konflik. Di Iran, lebih dari 450 orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka akibat serangan udara.
Sementara di Israel, serangan balasan Iran dengan rudal balistik menyebabkan setidaknya 24 kematian, serta kerusakan di wilayah Tel Aviv dan Ramat Gan.
![]() |
Kerusakan terlihat setelah sebuah rudal yang diluncurkan dari Iran dilaporkan menghantam Bat Yam, selatan Tel Aviv, Israel, pada 20 Juni 2025. (Foto: Anadolu via Getty Images) |
“Saya mendengar ledakan besar di tengah malam, lalu listrik padam,” kata Mehdi, seorang warga Teheran, dalam wawancara dengan media lokal. “Kami ketakutan — tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.”
Rumah sakit penuh, jaringan internet melambat karena upaya pemerintah melawan serangan siber, dan aktivitas ekonomi lumpuh di sejumlah kota besar Iran.
Di Israel, sistem pertahanan udara Iron Dome dikerahkan secara masif, sementara pemerintah mengeluarkan peringatan darurat nasional.
Upaya Eropa dan Ketidakhadiran PBB
Sementara itu, para diplomat Eropa — termasuk dari Inggris, Jerman, dan Prancis — mendesak Iran untuk kembali ke pembicaraan di Jenewa.
Mereka menekankan bahwa solusi militer tidak akan menyelesaikan persoalan nuklir Iran. Namun, suara mereka tenggelam di tengah dentuman bom dan tekanan dari berbagai pihak.
PBB sendiri hingga kini belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait penolakan Iran untuk berunding, meski Badan Energi Atom Internasional (IAEA) telah menyatakan bahwa Iran melanggar sejumlah kewajiban dalam pelaporan bahan nuklir.
Dari Washington, Presiden Donald Trump memberikan Iran tenggat waktu dua minggu untuk menghindari kemungkinan serangan udara Amerika. “Iran ingin berbicara dengan kami, bukan Eropa,” ujarnya, sambil menegaskan bahwa AS tidak terlibat langsung dalam serangan Israel.
Namun, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio menyatakan bahwa prioritas Amerika adalah melindungi pasukan AS di kawasan — bukan mendorong konfrontasi langsung.
Sementara itu, Rusia melalui Presiden Vladimir Putin mendorong penyelesaian damai dan menyerukan jaminan akses Iran terhadap energi nuklir sipil.
Penolakan Iran terhadap perundingan di bawah tekanan militer menunjukkan bahwa proses diplomasi berada di titik buntu.
Meskipun para mediator regional seperti Turki dan Liga Arab mencoba mengambil peran, medan pertempuran tampaknya lebih berisik dibanding ruang negosiasi.
Menurut analis Timur Tengah dari Atlantic Council, “Selama Israel terus melakukan serangan, dan Iran bertahan pada posisi tanpa kompromi, upaya diplomatik hanya akan menjadi formalitas.”
Selain itu, ketegangan ini berisiko menimbulkan dampak ekonomi global, terutama jika konflik merambah ke Selat Hormuz, jalur vital distribusi minyak dunia.
Dengan tekanan dari kedua sisi — militer dan diplomatik — pertanyaan terbesar adalah: siapa yang akan membuat langkah pertama menuju de-eskalasi?
Keteguhan Iran untuk tidak kembali ke meja perundingan selama Israel masih menyerang bukan sekadar strategi negosiasi — tetapi bentuk perlawanan terhadap tekanan militer dan politik.
Namun, di tengah kehancuran dan ancaman eskalasi lebih lanjut, masyarakat sipil menjadi korban utama.
Apakah komunitas internasional mampu menjembatani dua pihak yang sama-sama keras kepala? Ataukah konflik ini akan menjadi babak baru dalam sejarah panjang permusuhan antara Iran dan Israel — dengan konsekuensi global yang tak bisa dihindari?
“Kami ingin berdialog, tapi bukan sambil dibom,” kata seorang diplomat Iran yang enggan disebutkan namanya kepada The Guardian.
Sebuah pernyataan yang mencerminkan dilema besar dalam geopolitik dunia saat ini: bagaimana membangun perdamaian ketika suara ledakan lebih nyaring daripada diplomasi.
0Komentar