Negara-negara NATO di Eropa mulai mendorong otonomi pertahanan dan mengurangi ketergantungan pada senjata buatan Amerika Serikat. (Celal Gunes/Anadolu/Getty Images)


Para pemimpin NATO mengumumkan keputusan besar pada 30 juni 2025, semua negara anggota sepakat menaikkan belanja pertahanan hingga 5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) mereka pada tahun 2035. 

Langkah ini, yang disebut sebagai respons terhadap "ancaman jangka panjang dari Rusia", bisa menjadi babak baru dalam pertahanan kolektif Eropa. 

Namun, di balik janji keamanan, muncul ketegangan baru: semakin banyak negara Eropa yang resah dengan ketergantungan mereka terhadap industri senjata Amerika Serikat.

Menurut data dari Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), impor senjata oleh negara NATO Eropa melonjak lebih dari dua kali lipat antara 2015–2019 dan 2020–2024. 

Sebanyak 64% dari impor tersebut berasal dari Amerika Serikat, menunjukkan dominasi industri senjata Negeri Paman Sam dalam portofolio pertahanan Eropa.

Kekhawatiran negara Eropa bukan hanya soal angka. Secara strategis, banyak yang takut akan kemungkinan keberadaan "kill switch" atau mekanisme penghenti jarak jauh pada sistem senjata seperti jet tempur F-35 yang dibuat AS. 

Jika arah kebijakan Washington berubah, sekutu-sekutu Eropa bisa saja kehilangan kendali atas aset tempur mereka sendiri.

Kekhawatiran ini makin diperburuk oleh kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih. Selama masa jabatan sebelumnya, Trump beberapa kali mengancam akan menarik dukungan dari NATO dan bahkan pernah menyuarakan minatnya untuk "membeli" wilayah seperti Greenland dari Denmark. 

"Ketergantungan pada senjata Amerika membuat kami rentan terhadap fluktuasi politik di Washington," ujar seorang pejabat senior pertahanan Prancis dalam wawancara dengan Le Monde.

Negara-negara seperti Hungaria, Belgia, dan Polandia mencatat lonjakan impor senjata masing-masing sebesar 1454%, 1338%, dan 508% dalam lima tahun terakhir. 

Namun, lonjakan ini tidak sejalan dengan peningkatan kapasitas produksi industri pertahanan Eropa sendiri. 

Akibatnya, sebagian besar dari tambahan anggaran pertahanan justru mengalir ke perusahaan-perusahaan Amerika.

Emmanuel Macron, Presiden Prancis, sejak lama menyerukan "otonomi strategis" dan memperkuat industri senjata Eropa. 

"Jika kita menghabiskan miliaran euro tapi 70% di antaranya lari ke luar negeri, maka kita sedang menggali ketergantungan baru," ujarnya dalam KTT pertahanan Eropa awal tahun ini.

Sebagai respon, Uni Eropa menggulirkan proyek ambisius bernama ReArm Europe. Program ini mengalokasikan lebih dari $860 miliar untuk membangun kapasitas pertahanan bersama, termasuk $160 miliar dalam bentuk pinjaman UE untuk pengadaan bersama. Fokus utama: sistem pertahanan udara, artileri, dan drone buatan Eropa.

Namun, inisiatif ini ditanggapi dengan skeptisisme di Washington. Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, dijadwalkan melobi sekutu Eropa agar tetap membeli senjata dari AS. 

Bagi pemerintahan Trump, gelombang rearmament Eropa adalah peluang ekonomi yang tidak boleh dilewatkan.

Beberapa negara mulai mempertimbangkan alternatif. Kanada, misalnya, mengevaluasi ulang keputusannya membeli jet F-35 dan membuka opsi pembelian pesawat tempur dari Swedia. 

Perdana Menteri Mark Carney mengatakan, "Tidak masuk akal jika tiga perempat anggaran belanja pertahanan kita masuk ke kantong industri AS."

Demikian pula, Denmark menyuarakan keprihatinan atas ketergantungan tersebut, terutama setelah Trump kembali mengangkat isu pembelian Greenland. 

Sementara itu, Macron aktif melobi negara-negara NATO untuk memilih sistem SAMP/T buatan Prancis-Italia sebagai alternatif dari rudal Patriot AS. Meski semangat untuk kemandirian pertahanan tinggi, tantangan di lapangan sangat besar. 

Laporan Bruegel menyebutkan bahwa Eropa butuh tambahan 300.000 tentara, 1.400 tank, dan 2.000 kendaraan tempur infanteri untuk bisa menandingi kekuatan Rusia tanpa bantuan AS.

Lebih dari itu, kemampuan Eropa dalam memproduksi sistem seperti satelit komunikasi dan intelijen masih tertinggal jauh dari AS. 

"Kita bisa punya uang, tapi tidak bisa membeli waktu. Kapasitas industri kita perlu bertahun-tahun untuk bisa mengejar ketertinggalan," kata Katarina Djokic, peneliti pertahanan di SIPRI.

Banyak pihak meyakini bahwa transisi menuju kemandirian pertahanan Eropa tidak bisa instan. Namun, langkah-langkah awal telah menunjukkan niat yang kuat. 

Analisis dari Bruegel menyarankan pembentukan institusi pertahanan baru di tingkat UE untuk mengoordinasikan produksi dan pengadaan lintas negara.

Satu hal yang pasti: perdebatan ini akan membentuk wajah pertahanan Eropa selama dekade mendatang. 

Di tengah krisis global dan ketidakpastian politik di Washington, negara-negara Eropa tampaknya mulai serius bertanya: apakah keamanan bisa dibeli, dan jika iya, dari siapa?

(nem)