![]() |
Gresik menghadapi krisis lingkungan akibat polusi dan sampah. Apakah harga yang dibayar untuk menjadi kota industri terlalu mahal bagi warganya? (Unsplash) |
Kabupaten Gresik menjelma menjadi salah satu pusat industri terbesar di Indonesia. Ratusan pabrik menggerakkan roda ekonomi nasional, tetapi di balik gemerlapnya produksi, bentang alam dan kesehatan warganya perlahan tergerus.
Pada 2024, tercatat 4.361 kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)—terutama di kawasan industri Sukomulyo Manyar, Driyorejo, dan Kebomas.
Sungai‐sungai keruh akibat limbah, kandungan amonia serta logam berat melampaui ambang batas, sementara TPA Ngipik menampung 720 meter kubik sampah setiap hari.
Kurang dari separuh penduduk menikmati layanan pengelolaan sampah yang layak. Gresik berada di persimpangan: menyeimbangkan pertumbuhan industri dengan kelestarian lingkungan, atau membayar harga yang kian mahal.
Gresik telah lama menjadi magnet industri—dari petrokimia hingga pengolahan pangan—namun pertumbuhan itu menyisakan polusi udara rata-rata tahunan 102 AQI, tergolong “kritis” menurut standar internasional.
Emisi CO, SO₂, NO₂, dan partikulat PM10 dari cerobong pabrik memicu risiko penyakit pernapasan dan kardiovaskular.
Pencemaran air sama gentingnya. Limbah industri, domestik, dan pertanian yang dibuang sembarangan mencemari sungai, tanah, dan laut.
Penelitian menemukan kandungan amonia serta logam berat melebihi baku mutu; mikroplastik dari pabrik daur ulang plastik turut hanyut di aliran sungai Driyorejo.
Masalah lain datang dari sampah. Setiap hari, 388 ton sampah sekitar 1,2 kg per rumah tangga mengguyur TPA Ngipik yang sudah sesak.
Minimnya infrastruktur daur ulang, ditambah rendahnya kesadaran memilah sampah, memunculkan “lautan sampah” di bantaran sungai dan pesisir.
Polusi udara memicu lonjakan ISPA; anak-anak dan lansia menjadi kelompok paling rentan terhadap asma maupun bronkitis kronis. Di fasilitas kesehatan Sukomulyo Manyar, keluhan batuk dan sesak napas kian lazim terdengar.
Pencemaran air merugikan nelayan dan petani. Hasil tangkapan laut menurun, sementara kualitas air irigasi yang buruk menekan produktivitas padi dan hortikultura.
Ketidakmerataan layanan sampah menambah ketimpangan. Warga di pinggiran tanpa akses truk sampah hidup berdampingan dengan tumpukan limbah rumah tangga, memicu risiko penyakit berbasis lingkungan.
Pemerintah Kabupaten Gresik, dipimpin Bupati Fandi Akhmad Yani (Gus Yani), menempatkan pengelolaan sampah sebagai prioritas.
Mesin Refuse-Derived Fuel (RDF) di TPA Ngipik kini mengubah sampah organik dan plastik menjadi briket bahan bakar bagi UMKM; TPA baru di Belahanrejo tengah dipersiapkan.
Perda Nomor 3 Tahun 2021 melarang kantong plastik sekali pakai di toko modern serta mendorong penggunaan wadah minum ulang.
Program “Kampung Zero Waste” diperluas, sementara kebijakan mengganti karangan bunga dengan tanaman hidup menjadi simbol komitmen hijau pemerintah daerah.
LSM ECOTON turut memelopori proyek “Zero Waste Cities” di Desa Wringinanom sejak 2019—mengelola sampah terpilah, kompos, dan edukasi masyarakat. Hingga kini, 300 bank sampah berbasis komunitas berdiri di seluruh Gresik.
Meski inisiatifnya progresif, celah antara kebijakan dan kenyataan masih lebar. Mesin RDF belum optimal tanpa pemilahan sampah di sumber. Sosialisasi Perda plastik belum merata, menyebabkan kepatuhan rendah.
Penegakan hukum terhadap industri pencemar tersendat. Klaim kepatuhan PT Kawasan Industri Gresik tentang limbah cair belum menurunkan kadar pencemaran sungai, menandakan perlunya pemantauan real-time dan sanksi tegas.
Ke depan, Gresik membutuhkan pendekatan terpadu:
Penguatan infrastruktur — fasilitas daur ulang, sistem pemilahan modern, dan perluasan layanan persampahan.
Penegakan regulasi — teknologi sensor emisi wajib, audit independen, dan denda progresif bagi pelanggar.
Edukasi berkelanjutan — kampanye perubahan perilaku, keterlibatan sekolah, dan pemberdayaan komunitas perempuan sebagai agen pengelola rumah tangga.
Kemitraan industri — insentif bagi perusahaan hijau, skema tanggung jawab sosial yang terukur, dan pelaporan emisi terbuka.
Gresik berada di titik kritis: terus terjebak dalam lingkaran polusi atau menjelma menjadi teladan keberlanjutan industri Indonesia.
Inovasi seperti RDF, 300 bank sampah, dan gerakan “Zero Waste” menunjukkan jalan. Namun tanpa penegakan hukum kuat, infrastruktur memadai, dan kesadaran kolektif, visi itu akan tetap sebatas wacana.
(nem)
0Komentar