![]() |
Pulau-pulau kecil Indonesia terancam: ditambang, diperjualbelikan di situs luar negeri. Sebanyak 226 pulau sudah dikuasai swasta. (Foto: Unsplash/Derek Sotton) |
Pulau-pulau kecil di Indonesia kembali jadi sorotan. Setelah ditambang, kini sebagian dari mereka justru diperjualbelikan secara daring. Data mencatat, setidaknya 226 pulau telah diprivatisasi hingga 2023. Siapa yang diuntungkan, dan siapa yang terpinggirkan?
Sepasang pulau di Anambas, Pulau Panjang di Nusa Tenggara Barat, dan Pulau Seliu di Bangka Belitung sempat terpampang di situs jual beli internasional Private Islands Inc.
Situasi ini mengundang tanya: benarkah pulau-pulau Indonesia bisa dijual?
Kasus ini terungkap pada pertengahan Juni 2025 dan memicu kehebohan publik. Private Islands Inc., situs asal Kanada yang dikenal menjual pulau pribadi, menawarkan pulau-pulau Indonesia sebagai “tropis nan eksotis” yang "masih asli", lengkap dengan harga dalam dolar AS. Padahal, Indonesia tidak mengenal konsep kepemilikan pribadi atas pulau.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nusron Wahid menyatakan dengan tegas:
“Satu pulau tidak mungkin dapat dijual ke satu orang.”
Namun, pernyataan ini tampaknya tak cukup membendung praktik jual beli yang terus berulang sejak hampir dua dekade terakhir.
Menurut data Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), hingga 2023, ada 226 pulau kecil yang statusnya telah diprivatisasi.
Artinya, pulau-pulau itu dimiliki secara legal oleh perorangan atau perusahaan, baik untuk keperluan pariwisata maupun pertambangan.
Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati, menjelaskan:
“Artinya dimiliki oleh individu atau korporasi. Termasuk untuk tambang. Ini bentuk eksploitasi ruang hidup masyarakat pesisir.”
KIARA juga menyoroti aturan ATR/BPN tahun 2016 yang memperbolehkan penguasaan swasta atas 70% luas suatu pulau kecil, dengan sisa 30% diklaim untuk negara.
Namun aturan ini dinilai menyisakan celah besar dalam perlindungan ruang hidup masyarakat lokal.
“Kalau satu pulau 70% dikuasai pihak privat, nelayan tidak bisa singgah. Sudah pasti mereka akan diusir,” ujar Susan.
Fenomena jual beli pulau bukan cerita baru. Berikut deretan kasus penjualan pulau yang sempat terungkap publik:
2006: Pulau di Manggarai Barat dan Sumba Timur
2007: Pulau Bawah di Natuna, Kepulauan Riau
2009: Pulau Tatawa (NTT) dan pulau di Mentawai
2021: Pulau Lantigiang (Selayar), Pulau di Lombok Barat dan Kepulauan Riau
2022: Pulau-pulau di Kepulauan Widi, Maluku Utara
2023: Pulau Poto di Kepulauan Riau
2025: Pulau Panjang (NTB), Pulau Seliu (Babel), sepasang pulau di Anambas
Pola yang muncul jelas: eksploitasi dan komersialisasi pulau kecil terus terjadi, dengan aktor yang berganti namun praktik yang sama.
Warga pulau kecil kini hidup dalam ketidakpastian. Di tengah gempuran tambang dan jual-beli pulau, mereka merasa kehilangan hak hidup di tanah sendiri.
“Kemarin ramai isu tambang, sekarang giliran jual beli pulau. Kalau dibiarkan, lama-lama kami terusir dari pulau yang kami tinggali, Peradaban kami juga berpeluang lenyap akibat pembangunan yang tidak berpihak.”— kata Bambang Zakaria, warga Kepulauan Karimunjawa.
Indonesia memang melarang kepemilikan penuh atas sebuah pulau. Namun, praktik di lapangan menunjukkan bahwa izin pengelolaan pulau sering berujung pada privatisasi fungsional—terutama di sektor wisata dan tambang.
Pulau dianggap sebagai “tanah kosong bernilai tinggi” yang dapat diubah menjadi resort mewah, properti eksklusif, atau bahkan tambang strategis.
Regulasi yang longgar, pengawasan yang lemah, serta kurangnya partisipasi masyarakat lokal dalam proses pengambilan keputusan membuat fenomena ini terus berlangsung.
Apa Solusinya?
Pakar hukum agraria Universitas Gadjah Mada, Prof. Dian A. Hidayat, menilai perlu ada revisi serius terhadap kebijakan tata ruang dan kepemilikan wilayah pesisir dan pulau kecil.
“Negara harus hadir secara aktif, bukan sekadar mengeluarkan pernyataan normatif. Penataan ulang izin pemanfaatan ruang laut mutlak dilakukan,” katanya.
KIARA juga mendorong pemerintah menerbitkan moratorium privatisasi pulau kecil, terutama yang menjadi wilayah tangkap nelayan dan tempat tinggal komunitas adat.
Isu ini bukan semata soal legalitas jual beli tanah, tetapi tentang hak dasar masyarakat adat, nelayan tradisional, dan kedaulatan negara atas wilayahnya sendiri.
“Kami dibiarkan bertahan sendirian,” kata seorang warga pulau kecil.
Ketika pulau kecil terus dianggap sebagai objek komersial, bukan ruang hidup, maka hilangnya satu pulau tak hanya berarti berkurangnya lahan—tetapi juga lenyapnya peradaban.
0Komentar