Universitas Pertahanan RI sukses meluncurkan satelit nano RIDU-Sat 1 dari California menggunakan roket SpaceX. (Foto: kemhan.go.id)

Indonesia menorehkan sejarah baru di dunia teknologi antariksa. Universitas Pertahanan Republik Indonesia (Unhan RI) berhasil meluncurkan satelit nano pertamanya, RIDU-Sat 1, pada Selasa, 24 Juni 2025 pukul 04.26 WIB dari California, AS. 

Satelit ini mengorbit Bumi pada ketinggian 519 kilometer dan jadi tonggak penting dalam penguasaan teknologi satelit di kalangan perguruan tinggi nasional.

Satelit yang dikembangkan oleh para kadet dan dosen Unhan RI ini mengudara melalui roket Falcon 9 milik SpaceX dalam misi Transporter-14

RIDU-Sat 1 menjadi satu dari 72 satelit yang dibawa dalam misi tersebut, dan dilepaskan sebagai satelit ke-7 dari dispenser pada menit ke-50 sejak peluncuran.

“Ini bukan sekadar prestasi kampus, tapi momentum nasional menuju kemandirian teknologi satelit,” kata Prof. Arie Satriyo Wibowo, Ketua Lembaga Antariksa Unhan RI. 

“Unhan menjadi universitas pertama di Indonesia yang punya dan mengoperasikan satelit nano sendiri.” tambahnya.

RIDU-Sat 1 adalah satelit tipe nano berukuran 10x10x11,3 cm (1U) yang memiliki fungsi utama untuk pendidikan, penelitian, pengembangan teknologi, dan komunikasi darurat berbasis APRS (Automatic Packet Reporting System). 

Satelit ini dirancang untuk mendukung respons cepat dalam situasi krisis, seperti bencana alam, ketika infrastruktur komunikasi konvensional lumpuh.

Selain itu, pengoperasian satelit ini diklaim sebagai bentuk nyata dari strategi STEM Empowerment yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto—yakni memperkuat kapasitas nasional di bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika.

Peluncuran ini turut memperpanjang jejak keterlibatan akademik Indonesia di luar angkasa setelah Linusat-1 (2011) dan Surya Satelit 1 (2022). 

Namun, berbeda dari pendahulunya, RIDU-Sat 1 memiliki dukungan penuh dari Kementerian Pertahanan dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), serta kolaborasi dengan lembaga luar negeri seperti Berlin Nanosatelliten Allianz (BNA) dan AMSAT-ID.

Pakar luar angkasa dari BRIN, Dr. Desyana Putri, menyebut peluncuran ini sebagai "game-changer" dalam ekosistem riset perguruan tinggi.

“Kampus Indonesia selama ini kuat di teori, tapi lemah di aplikasi teknologi tinggi. RIDU-Sat ini memecah paradigma itu,” ujar Desyana. “Kini mahasiswa dan dosen langsung terlibat dalam desain, pengujian, hingga pelacakan satelit aktif di orbit.”

Stasiun Bumi Satelit Amatir (SBSA) yang dibangun Unhan di Sentul kini aktif memantau pergerakan RIDU-Sat 1, didukung oleh jaringan 35 stasiun radio amatir di seluruh Indonesia. 

Komunikasi pertama dengan satelit dijadwalkan pada 24 Juni pukul 12.00 WIB saat satelit melintasi wilayah Indonesia pada sudut elevasi 30°.

Menurut Menteri Pertahanan RI, Sjafrie Sjamsoeddin, proyek ini tidak akan berhenti di satu peluncuran saja.

“RIDU-Sat 1 adalah awal. Ke depan, kita targetkan membangun constellation kecil untuk misi pendidikan dan militer non-tempur, seperti pemantauan wilayah, komunikasi taktis, dan pelatihan kadet,” jelas Sjafrie dalam pernyataan resmi.

Unhan sendiri tengah menyiapkan kurikulum baru yang mengintegrasikan bidang space defense strategy dan satellite engineering, bekerja sama dengan beberapa universitas teknologi di Eropa dan Asia.

Meski dipuji sebagai langkah maju, sejumlah pengamat mengingatkan bahwa tantangan besar masih menanti, terutama dalam hal keberlanjutan program.

“Banyak program teknologi kita bagus di awal, lalu tenggelam karena tak ada roadmap jangka panjang dan anggaran berkelanjutan,” kata Irwan Habib, analis kebijakan inovasi di LIPI. “Kalau tidak ada konsistensi pendanaan dan kebijakan lintas menteri, ya kita ulang siklus dari nol lagi.”

RIDU-Sat 1 mungkin kecil secara ukuran fisik, tapi peluncurannya menandai lompatan besar dalam arah pembangunan teknologi nasional berbasis pendidikan tinggi. 

Di tengah persaingan global menuju kemandirian teknologi luar angkasa, Indonesia kini punya pemain baru yang lahir dari ruang kelas, bukan pabrik pertahanan.

“Yang kami kirim ke orbit bukan sekadar satelit,” tutup Prof. Arie, “tapi juga harapan bahwa anak muda Indonesia bisa menjadi bagian dari masa depan teknologi dunia.”