Mulai Juli 2025, pemerintah akan memungut pajak 0,5% dari penjual e-commerce. Apakah ini demi keadilan pajak atau karena tekanan defisit negara? (Ilustrasi: Apluswire.com/Nabila Elisa Maharani)

Mulai Juli 2025, pemerintah Indonesia berencana memberlakukan kebijakan pajak baru yang mewajibkan platform e-commerce seperti TikTok Shop, Tokopedia, Shopee, Lazada, Blibli, dan Bukalapak untuk memotong Pajak Penghasilan (PPh) final sebesar 0,5% dari omzet penjual. 

Kebijakan ini, yang diatur dalam Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (PMK), menargetkan penjual dengan omzet tahunan antara Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar, dengan pengecualian untuk UMKM beromzet di bawah Rp500 juta. 

Langkah ini diumumkan Kementerian Keuangan pada akhir Juni 2025, di tengah tekanan fiskal yang kian berat.

Pelemahan penerimaan negara sebesar 11,4% menjadi Rp995,3 triliun pada Januari-Mei 2025 menjadi pemicu utama kebijakan ini. 

Dengan ekonomi digital yang diproyeksikan mencapai US$150 miliar pada 2030, pemerintah melihat peluang emas untuk menambal defisit anggaran sekaligus menciptakan keadilan pajak antara bisnis online dan offline. 

Namun, di balik ambisi tersebut, muncul kekhawatiran: akankah kebijakan ini mendorong pertumbuhan fiskal atau justru membebani UMKM dan konsumen?


Krisis Fiskal dan Ledakan E-Commerce

Indonesia sedang berada di persimpangan. Di satu sisi, sektor e-commerce tumbuh pesat, dengan nilai transaksi bruto (Gross Merchandise Value/GMV) mencapai US$65 miliar pada 2024 dan diprediksi melonjak ke US$150 miliar pada 2030. 

Pedagang menggunakan gawai memeriksa stok barang yang dijual secara daring di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis (26/6/2025). (ANTARA/Fakhri Hermansyah/foc)

Pertumbuhan ini menjadikan Indonesia salah satu pasar digital terbesar di Asia Tenggara, didorong oleh perubahan perilaku konsumen dan ekspansi platform seperti Shopee dan Tokopedia. 

Namun, di sisi lain, penerimaan negara justru merosot tajam. Data Kementerian Keuangan menunjukkan penurunan penerimaan pajak sebesar 11,4% pada paruh pertama 2025, dipicu oleh rendahnya harga komoditas global, perlambatan ekonomi domestik, dan gangguan teknis pada sistem administrasi pajak Coretax Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Rasio pajak Indonesia, yang hanya mencapai 10,39% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2022, juga menjadi sorotan. 

Angka ini jauh tertinggal dibandingkan negara tetangga seperti Thailand (17,18%), Vietnam (16,21%), atau Singapura (12,96%). 

“Rendahnya rasio pajak ini mencerminkan tingkat kepatuhan pajak yang masih minim, terutama di sektor informal dan digital,” ujar Dr. Dwi Susanto, ekonom pajak dari Universitas Indonesia. 

“Sektor e-commerce, meski berkontribusi besar pada ekonomi, belum optimal dalam memberikan penerimaan pajak.” tambahnya

Kebijakan ini bukanlah langkah baru. Pada 2018, pemerintah pernah mencoba menerapkan pajak e-commerce melalui PMK 210/2018, namun dibatalkan tiga bulan kemudian akibat resistensi dari pelaku industri. 

Kini, dengan pendekatan yang lebih terarah, pemerintah menegaskan bahwa kebijakan ini bukan pajak baru, melainkan penyederhanaan mekanisme PPh Final UMKM yang sudah ada. 

Dengan menunjuk platform sebagai pemungut pajak, pemerintah berharap dapat menutup kesenjangan pajak antara bisnis online dan offline, sekaligus meningkatkan kepatuhan tanpa membebani UMKM kecil.


Apa yang Ingin Dicapai Pemerintah?

Tujuan utama kebijakan ini adalah tiga pilar: meningkatkan penerimaan negara, menciptakan keadilan pajak, dan menyederhanakan administrasi perpajakan. 

Mentri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. (ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/yu)                                                                             

Pertama, pemerintah ingin menangkap potensi pajak dari sektor e-commerce yang selama ini luput dari pengawasan. 

Dengan GMV e-commerce yang diproyeksikan mencapai US$150 miliar pada 2030, potensi penerimaan dari PPh final 0,5% sangat signifikan. 

“Ini bukan hanya soal menambal defisit, tetapi juga memastikan sektor digital berkontribusi sesuai kapasitasnya,” kata Sri Mulyani, Menteri Keuangan, dalam konferensi pers pada 28 Juni 2025.

Kedua, pemerintah ingin menciptakan level playing field antara bisnis online dan offline. 

Banyak pedagang fisik merasa dirugikan karena pelaku e-commerce sering kali tidak mematuhi kewajiban pajak, sehingga memiliki keunggulan kompetitif. 

“Keadilan pajak adalah inti dari kebijakan ini. Kami ingin memastikan semua pelaku usaha, baik online maupun offline, diperlakukan sama,” tambah Sri Mulyani.

Ketiga, kebijakan ini dirancang untuk menyederhanakan administrasi pajak bagi penjual. 

Dengan platform e-commerce yang memotong pajak secara otomatis, penjual tidak perlu lagi menyetor PPh final secara mandiri setiap bulan. 

“Ini akan mengurangi beban administrasi, terutama bagi UMKM yang sering kesulitan dengan prosedur perpajakan,” jelas Dwi Susanto.


Siapa yang Terkena Imbas?

Kebijakan ini akan berdampak pada berbagai pihak, mulai dari penjual UMKM, platform e-commerce, hingga konsumen. Berikut analisis dampaknya:

Penjual UMKM
Penjual dengan omzet Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar akan merasakan dampak langsung dari pemotongan PPh final 0,5%. 

Meskipun tarif ini tergolong ringan, pemotongan otomatis sebelum dana masuk ke rekening penjual dapat mengganggu arus kas, terutama bagi UMKM dengan margin keuntungan tipis. 

“Bagi UMKM yang operasionalnya ketat, pengurangan 0,5% dari setiap transaksi bisa berarti berkurangnya modal kerja,” kata Budi Santoso, Ketua Asosiasi UMKM Digital Indonesia.

Namun, bagi penjual yang sudah patuh, kebijakan ini justru dapat mempermudah administrasi. “Penjual tidak perlu lagi repot menghitung dan menyetor pajak sendiri. 



Foto: Pedagang sepatu (Aditya Aji/AFP via Getty Images)                                                                                                                                          

Platform akan melakukannya secara otomatis, dan bukti potong akan tersedia di dashboard,” ungkap Dwi Susanto. UMKM dengan omzet di bawah Rp500 juta tetap bebas pajak, yang menunjukkan komitmen pemerintah untuk melindungi usaha mikro.

Platform E-Commerce
Platform seperti Shopee dan Tokopedia akan menghadapi beban teknis dan administrasi yang tidak kecil. 

Mereka harus mengintegrasikan sistem pemotongan pajak, menyediakan bukti potong, dan melaporkan data transaksi ke DJP setiap bulan. 

“Kami mendukung prinsip keadilan pajak, tetapi implementasi ini membutuhkan investasi besar dalam infrastruktur teknologi,” kata Andi Wijaya, perwakilan Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA). 

Kesiapan sistem Coretax DJP, yang masih menghadapi gangguan teknis seperti masalah login dan pembaruan data, juga menjadi kekhawatiran.

Konsumen
Ada risiko bahwa penjual akan membebankan biaya pajak ke harga produk, meskipun tarifnya hanya 0,5%. “Konsumen Indonesia sangat sensitif terhadap harga. 

Kenaikan sekecil apa pun bisa mendorong mereka kembali ke toko fisik,” kata Rina Dewi, analis ritel dari Mandiri Sekuritas. 

Jika banyak penjual menaikkan harga, daya saing e-commerce bisa tergerus, terutama di tengah persaingan ketat dengan platform informal seperti media sosial.

Risiko Perpindahan ke Jalur Informal
Kekhawatiran terbesar adalah potensi penjual beralih ke saluran informal seperti media sosial atau livestream untuk menghindari pajak. 

“Jika pajak hanya diterapkan pada marketplace, penjual bisa saja pindah ke WhatsApp atau Instagram, yang lebih sulit diawasi,” ujar Andi Wijaya. 

Hal ini dapat melemahkan efektivitas kebijakan dan mempersulit pengawasan DJP.


Dukungan vs Kekhawatiran

Kebijakan ini mendapat dukungan dari beberapa pihak, seperti Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), yang melihatnya sebagai langkah menuju keadilan pajak. 

“Ini bukan pajak baru, tetapi mekanisme yang lebih efisien. Kami mendukung upaya pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan tanpa membebani UMKM kecil,” kata Shinta Widjaja, Wakil Ketua APINDO.

Namun, idEA dan pelaku industri menyuarakan kekhawatiran. “Kami khawatir kebijakan ini mendorong penjual ke platform OTT (Over-The-Top) yang tidak diatur. 

Pemerintah harus bijaksana dalam menetapkan tarif dan memberikan waktu persiapan,” tegas Andi Wijaya. Selain itu, kesiapan sistem Coretax DJP menjadi sorotan. 

“Jika sistem pajak tidak stabil, pelaporan data transaksi dalam jumlah besar akan menjadi masalah serius,” tambah Dwi Susanto.


Indonesia tidak sendiri dalam menerapkan pajak e-commerce

Indonesia bukan satu-satunya negara yang memajaki e-commerce. Uni Eropa menerapkan model “deemed seller”, di mana platform bertanggung jawab atas PPN untuk transaksi B2C. 

Vietnam, mulai April 2025, juga mewajibkan platform memungut pajak atas nama penjual. Di AS, fasilitator marketplace mengelola pajak penjualan di negara bagian tertentu. 

“Pendekatan Indonesia sejalan dengan tren global, di mana platform menjadi agen pemungut untuk menyederhanakan kepatuhan,” kata Dr. Maria R. Nindita, pakar perpajakan internasional dari Universitas Gadjah Mada.

Tarif PPh final 0,5% Indonesia juga relatif rendah dibandingkan PPN 10% di Vietnam atau GST 10% di Australia. 

“Ini menunjukkan bahwa pemerintah berusaha menyeimbangkan penerimaan dengan dukungan untuk UMKM,” tambah Maria.

Langkah ke depan dalam penerapan pajak e-commerce

Keberhasilan kebijakan ini bergantung pada tiga hal: infrastruktur teknis, sosialisasi, dan kolaborasi. 

DJP harus segera menyelesaikan gangguan pada sistem Coretax untuk menangani data transaksi yang masif. “Tanpa sistem yang andal, implementasi akan kacau,” tegas Dwi Susanto.

Sosialisasi juga krusial untuk menghindari kesalahpahaman. Pemerintah perlu menjelaskan bahwa ini bukan pajak baru dan UMKM kecil tetap dilindungi. 

“Komunikasi yang jelas akan mengurangi resistensi dari pelaku usaha,” kata Budi Santoso.

Kolaborasi dengan platform dan asosiasi seperti idEA juga penting. “Kami siap bekerja sama dengan pemerintah untuk memastikan implementasi yang mulus, asalkan ada waktu persiapan yang cukup,” ujar Andi Wijaya. 

Pemerintah juga perlu memantau risiko perpindahan penjual ke jalur informal dan menyiapkan strategi pengawasan tambahan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan keterangan terkait peluncuran paket stimulus ekonomi di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Senin (2/6/2025). (Foto: okezone.com)

Kebijakan pajak e-commerce 0,5% adalah langkah strategis pemerintah untuk menangkap potensi ekonomi digital sekaligus menambal defisit fiskal. 

Dengan pendekatan yang menunjuk platform sebagai pemungut, pemerintah berharap meningkatkan kepatuhan dan menciptakan keadilan pajak. 

Namun, tantangan seperti kesiapan sistem Coretax, risiko perpindahan ke jalur informal, dan dampak pada arus kas UMKM tidak bisa diabaikan.

Jika dikelola dengan baik, kebijakan ini bisa menjadi cetak biru untuk reformasi pajak di sektor digital. Namun, tanpa infrastruktur yang kuat dan sosialisasi yang efektif, ambisi pemerintah bisa terhambat. 

“Ini adalah keseimbangan antara penerimaan dan pertumbuhan. Pemerintah harus hati-hati agar tidak mematikan inovasi digital,” pungkas Maria R. Nindita.

Dengan waktu pelaksanaan yang semakin dekat, semua mata tertuju pada Juli 2025. Akankah kebijakan ini menjadi terobosan fiskal atau justru memicu efek domino yang tidak diinginkan?

(kha)