Small Modular Reactor (SMR) adalah reaktor nuklir skala kecil yang efisien, fleksibel, dan mulai dilirik banyak negara untuk transisi ke energi bersih. (Foto: Idaho National Laboratory)

Small Modular Reactor (SMR) mulai mencuri perhatian dunia, termasuk Indonesia, sebagai solusi potensial untuk transisi energi bersih. Namun, teknologi ini juga menimbulkan tanda tanya besar: seaman apa, seefisien apa, dan seberapa siap kita?

SMR adalah reaktor nuklir berukuran kecil, biasanya menghasilkan listrik kurang dari 300 megawatt (MW), jauh lebih kecil dari reaktor konvensional yang bisa mencapai 1.000 MW lebih. 

Ukurannya yang mini memungkinkan SMR dibangun secara modular di lokasi terpencil, bahkan di kawasan yang tidak bisa dijangkau jaringan listrik nasional. Namun, keunggulan ini juga memunculkan perdebatan baru tentang risiko dan keandalan.

Ketertarikan global terhadap SMR melonjak tajam sejak 2020. Menurut laporan International Atomic Energy Agency (IAEA), lebih dari 80 desain SMR tengah dikembangkan di 19 negara. 

Bahkan, Bill Gates lewat perusahaannya, TerraPower, telah menggelontorkan miliaran dolar untuk SMR yang disebut-sebut “game changer” sektor energi.

Di Asia Tenggara, Filipina menjadi negara pertama yang menandatangani kesepakatan pembangunan SMR dengan NuScale Power asal AS. 

Sementara Indonesia, lewat Batan dan PLN, masih berada dalam tahap studi kelayakan dan regulasi awal.

Latar belakang lonjakan minat ini tak lepas dari krisis energi global pasca pandemi dan invasi Rusia ke Ukraina yang mengguncang pasokan gas dunia. 

Negara-negara kini berlomba mencari energi alternatif yang tidak tergantung cuaca seperti tenaga surya dan angin. 

Di sinilah SMR disebut-sebut unggul: stabil, emisi nol, dan bisa menyatu dengan sistem kelistrikan yang sudah ada.

Tapi tidak semua pihak sepakat.

Dr. Myrna Safitri, pakar kebijakan energi dari Universitas Indonesia, memperingatkan agar euforia SMR tidak menutup mata terhadap risikonya. 

“Meskipun ukurannya kecil, SMR tetap menggunakan bahan bakar nuklir. Artinya, risiko kebocoran radiasi, pengelolaan limbah, hingga potensi penyalahgunaan tetap ada,” katanya.

Biaya juga menjadi pertanyaan besar. Studi dari World Nuclear Industry Status Report 2023 menyebut, biaya pembangunan SMR saat ini masih dua hingga lima kali lipat lebih mahal per MW dibandingkan energi terbarukan seperti PLTS atau PLTB. 

Bahkan, proyek NuScale di AS baru-baru ini dibatalkan karena tidak mencapai target investor, memunculkan keraguan pada keekonomian SMR.

Di sisi lain, pendukung SMR menilai biaya akan turun drastis jika produksi dilakukan massal. “SMR ibarat mobil listrik 10 tahun lalu—mahal di awal, tapi akan murah seiring skala industri tumbuh,” ujar Andi Yuwono, analis energi di lembaga riset Reforminer Institute.

Namun waktu tak berpihak. Indonesia menargetkan emisi nol bersih pada 2060, dan sektor energi menyumbang 34% emisi nasional. 

Artinya, keputusan investasi harus diambil sekarang. Jika terlalu lama terjebak di fase studi, SMR bisa tertinggal dari solusi lain yang lebih cepat dan sudah terbukti.

Pemerintah Indonesia lewat Bappenas dan Kementerian ESDM mulai menyusun peta jalan nuklir baru, termasuk potensi adopsi SMR di Kalimantan dan Papua. 

Tapi belum ada keputusan konkret. Proses izin, aspek keamanan, serta kesiapan SDM masih jadi PR besar.

“Teknologi boleh canggih, tapi kalau regulasi dan kepercayaan publik belum siap, bisa jadi bumerang,” ujar Dr. Myrna.

Kini pilihan ada di tangan pembuat kebijakan: apakah SMR akan jadi andalan baru transisi energi, atau hanya sekadar jargon futuristik yang tak kunjung realisasi?

Yang pasti, jam terus berdetak menuju 2060.