pasukan penjaga perdamaian dari Kontingen Garuda Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang bertugas dalam misi PBB di Lebanon.

TNI menyiapkan sekitar 20.000 personel untuk kemungkinan misi perdamaian di Gaza, dengan porsi terbesar berasal dari TNI Angkatan Darat (AD). Rencana ini disusun setelah arahan Presiden Prabowo dan Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, seiring dinamika gencatan senjata serta upaya stabilisasi di wilayah tersebut. Sejauh ini, penetapan komposisi final masih menunggu keputusan Markas Besar TNI (Mabes TNI).

Komposisi awal yang disusun Mabes TNI menempatkan TNI AD sekitar 60 persen atau sekitar 12.000 prajurit. TNI Angkatan Laut (AL) diproyeksikan menyumbang 25 persen atau 5.000 personel, sementara TNI Angkatan Udara (AU) sekitar 15 persen atau 3.000 personel. Susunan ini masih bersifat proyeksi dan dapat berubah mengikuti kebutuhan misi dan persetujuan internasional.

Langkah tersebut muncul di tengah pembahasan mengenai pembentukan international stabilization force untuk Gaza, yang memfokuskan mandat pada keamanan dasar, bantuan kemanusiaan, dan rekonstruksi pascakonflik. Pemerintah Indonesia menyatakan kesediaan untuk berkontribusi apabila terdapat mandat resmi dari United Nations (PBB).

Sjafrie Sjamsoeddin menjelaskan bahwa kontingen Indonesia akan diarahkan pada tugas kemanusiaan. “Fokusnya pada kesehatan dan konstruksi. Kami menyiapkan elemen yang relevan dengan kebutuhan lapangan,” ujarnya dalam keterangan resmi. 

Ia menambahkan bahwa struktur pasukan disiapkan dalam bentuk brigade komposit yang mencakup batalyon kesehatan, batalyon zeni konstruksi, serta unsur logistik dan dukungan mekanis.

Sejumlah perwira perencanaan menyebut bahwa opsi pengerahan akan melibatkan alutsista pendukung seperti pesawat angkut, kapal bantu, dan fasilitas logistik yang biasa digunakan dalam operasi kemanusiaan. 

Namun, proses pengiriman bergantung pada keputusan PBB, kesiapan negara mitra, dan jaminan keamanan akses menuju Gaza.
Hingga kini belum ada keputusan mengenai waktu pengerahan maupun jumlah akhir personel. 

Indonesia juga masih menunggu kejelasan mekanisme komando internasional yang akan mengatur pasukan multinasional tersebut. 

Di sisi lain, langkah ini diperkirakan mendapat sorotan diplomatik mengingat sensitifnya isu Palestina–Israel serta posisi Indonesia yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel.

Pemerintah menegaskan bahwa kontribusi Indonesia bersifat kemanusiaan dan tidak dimaksudkan sebagai operasi tempur. Fokus utamanya menjaga stabilitas awal agar ruang dialog politik dan pemulihan infrastruktur dasar di Gaza dapat berlangsung.