Tesla menghadapi ujian kepercayaan investor setelah laba turun dan fokus bergeser ke proyek AI serta robotika di bawah kepemimpinan Elon Musk. (Unsplash/Milan Csizmedia)

Tesla, Inc. kembali menjadi sorotan setelah laporan keuangan kuartal III 2025 menunjukkan laba bersih turun 15 persen dibandingkan periode sama tahun lalu. Penurunan ini terjadi di tengah ambisi besar Elon Musk mengalihkan fokus perusahaan ke bidang kecerdasan buatan (AI), robot humanoid, dan proyek kendaraan otonom. 

Bagi sebagian investor, arah baru itu terlihat menjanjikan. Namun sebagian lain menilai Tesla mulai menjauh dari inti bisnisnya, yakni mobil listrik.

Laporan keuangan yang dirilis pada 30 Oktober mencatat pendapatan Tesla mencapai sekitar US$23,4 miliar, sedikit di bawah proyeksi analis di Wall Street. Margin laba kotor juga tergerus akibat strategi penurunan harga kendaraan yang terus berlangsung sejak awal tahun. 

Musk menyebut langkah itu penting untuk menjaga daya saing di pasar global, terutama menghadapi tekanan dari produsen asal China seperti BYD dan NIO.

Dalam panggilan konferensi bersama investor, Musk menegaskan bahwa masa depan Tesla tidak hanya bertumpu pada mobil, tetapi pada “ekosistem AI dan robotika yang terintegrasi.” 

Ia menyoroti kemajuan proyek Optimus, robot humanoid buatan Tesla, serta peningkatan kemampuan model neural network untuk sistem autopilot. 

“Kami sedang membangun masa depan di mana kendaraan dan robot dapat belajar serta berinteraksi secara mandiri,” ujarnya dalam keterangan resmi.

Namun pasar tidak serta-merta menyambut optimisme tersebut. Sehari setelah laporan keuangan dirilis, saham Tesla turun lebih dari 6 persen di Nasdaq, penurunan harian terbesar sejak awal tahun. 

Menurut laporan Bloomberg, reaksi itu mencerminkan kekhawatiran investor terhadap prospek keuntungan jangka pendek. Sejumlah analis menilai bahwa meski proyek AI menawarkan pertumbuhan jangka panjang, kontribusinya terhadap pendapatan masih terbatas dan belum terlihat jelas dalam laporan keuangan.

Garrett Nelson, analis otomotif di CFRA Research, mengatakan kepada Reuters bahwa investor “mulai kehilangan kesabaran” terhadap janji-janji jangka panjang Musk. 

“Tesla tetaplah perusahaan mobil listrik, dan pasar ingin melihat peningkatan penjualan serta profitabilitas di tengah persaingan ketat, bukan sekadar wacana teknologi masa depan,” ujarnya.

Tekanan terhadap Tesla tidak terlepas dari kondisi industri kendaraan listrik global yang sedang melambat. Data International Energy Agency (IEA) menunjukkan penjualan kendaraan listrik global tumbuh 22 persen sepanjang 2025, turun dari 35 persen pada 2023. 

Kenaikan suku bunga menekan daya beli konsumen, sementara perang harga antarprodusen membuat margin keuntungan semakin tipis. Tesla, yang selama ini menjadi pemimpin pasar, kini harus menyesuaikan diri di tengah ekspansi agresif produsen Asia.

Beberapa investor besar pun mulai melakukan penyesuaian portofolio. Dana pensiun Norwegia dan manajer aset BlackRock dilaporkan mengurangi porsi saham Tesla dalam laporan kuartalannya. 

Meski tanpa pernyataan resmi, langkah itu dianggap sebagai bentuk penyaringan risiko akibat diversifikasi ekstrem perusahaan.
“Tesla tetap menarik dari sisi teknologi, tetapi dari sisi valuasi, ruang manuvernya makin sempit,” tulis laporan The Wall Street Journal.

Sebaliknya, sebagian pengamat menilai arah Musk masih visioner. Analis dari Wedbush Securities, Dan Ives, menilai Tesla sedang membangun “kerangka masa depan industri otomotif berbasis AI” yang akan membedakannya dari kompetitor.

Ia meyakini, investor yang sabar akan melihat hasilnya dalam dua hingga tiga tahun ke depan, terutama jika teknologi robot humanoid Optimus dan sistem FSD (Full Self-Driving) berhasil mencapai skala produksi massal.

Strategi agresif Musk sejatinya sudah terlihat sejak awal 2024, ketika ia merombak struktur kepemimpinan internal dan mengalihkan sebagian besar sumber daya riset ke divisi AI.

Langkah itu diikuti dengan pembangunan pabrik baru di Texas yang difokuskan pada riset robot humanoid dan chip AI bernama Dojo. Namun hingga kini, belum ada jadwal pasti untuk peluncuran komersial proyek-proyek tersebut.

Kombinasi antara ambisi jangka panjang dan tekanan jangka pendek membuat Tesla kini berada di persimpangan. Dalam setahun terakhir, harga saham Tesla turun sekitar 18 persen, meski kapitalisasi pasarnya masih bertahan di atas US$700 miliar. Sebaliknya, BYD justru mencatat kenaikan 9 persen berkat pertumbuhan kuat di segmen menengah.

Kondisi ini memperlihatkan perubahan pola pikir investor terhadap perusahaan teknologi otomotif. Jika pada masa awal Tesla para investor cenderung memuja visi besar Musk tanpa banyak pertanyaan, kini mereka lebih berhati-hati dan selektif. Setiap langkah ekspansi dinilai melalui kacamata profitabilitas dan efisiensi, bukan sekadar inovasi.

Sebagai respons terhadap perubahan kondisi pasar, Tesla berusaha mempertahankan posisinya sebagai pionir industri yang seimbang antara visi dan profitabilitas.

Dalam laporan internal yang dikutip CNBC, manajemen menyebut akan terus meningkatkan efisiensi produksi dan mempertahankan fokus pada pengembangan perangkat lunak otonom. Tesla juga berkomitmen melanjutkan ekspansi pasar ke India dan Amerika Selatan pada 2026.