![]() |
| Perdana Menteri Jepang, Sanae Takaichi. | REUTERS/Issei Kato |
Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi pada Jumat (21/11/2025) menolak mencabut pernyataannya terkait Taiwan, menegaskan tidak ada perubahan kebijakan Tokyo di tengah tekanan diplomatik dan ekonomi dari China.
Pernyataan itu disampaikan di Tokyo sebelum keberangkatannya ke KTT G20 di Afrika Selatan, setelah Beijing melayangkan protes keras atas komentar Takaichi yang dianggap melanggar prinsip Satu China.
Dalam keterangan resminya, Takaichi menyebut pemerintah akan membuat “penilaian komprehensif berdasarkan seluruh informasi yang tersedia” atas setiap situasi yang dinilai mengancam eksistensi Jepang.
Ia merujuk pertemuannya dengan Presiden China Xi Jinping di KTT APEC Korea Selatan pada November lalu.
“Presiden Xi dan saya telah menegaskan arah besar untuk memperkuat hubungan strategis yang saling menguntungkan dan membangun hubungan yang konstruktif dan stabil,” ujar Takaichi seperti dikutip media Jepang.
Ketegangan bermula dari pernyataannya pada 7 November, ketika Takaichi menjadi pemimpin Jepang pertama dalam beberapa dekade yang menyebut penggunaan kekuatan militer China dalam krisis Taiwan dapat dikategorikan sebagai situasi yang mengancam kelangsungan hidup Jepanglandasan hukum yang memungkinkan Pasukan Bela Diri Jepang dikerahkan.
Komentar itu memicu kemarahan Beijing karena dinilai bertentangan dengan empat dokumen politik yang selama ini menjadi dasar hubungan kedua negara.
Di sisi lain, respons China berkembang menjadi serangkaian tekanan ekonomi. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning pada Rabu (19/11/2025) memperingatkan Tokyo akan menghadapi “tindakan balasan serius” bila Takaichi bergeming.
“Jepang harus menanggung konsekuensi penuhnya,” ujar Mao dalam konferensi pers rutin, dikutip dari pernyataan Kemenlu China.
Sejumlah kebijakan pembatasan pun diberlakukan Beijing, termasuk larangan impor produk laut Jepang, peringatan perjalanan ke Jepang, dan penangguhan persetujuan pemutaran film-film Jepang.
Sekitar 30% dari 1,44 juta perjalanan wisatawan China hingga akhir Desember telah dibatalkan, dengan potensi kerugian wisata mencapai USD 1,2 miliar. Wisatawan China adalah kelompok terbesar di Jepang pada 2025, sekitar 7,5 juta orang atau 23% dari total kunjungan.
Upaya diplomatik kedua negara sejauh ini belum menunjukkan hasil. Pertemuan pejabat tingkat tinggi awal pekan ini gagal meredam gesekan, dan belum ada agenda pertemuan bilateral antara Takaichi dan PM China Li Qiang di G20.
Sementara itu, Taiwan pada Jumat mengumumkan pencabutan seluruh pembatasan impor makanan Jepang sebagai bentuk dukungan kepada Tokyo.
Kronologi ketegangan ini menunjukkan eskalasi cepat dalam dua pekan terakhir, dengan dampak langsung pada perdagangan, pariwisata, dan jalur komunikasi diplomatik antara dua ekonomi terbesar di Asia tersebut.

0Komentar