Tingkat PHK di Indonesia naik 32 persen pada 2025. Sektor manufaktur menjadi yang paling terpukul, memicu kekhawatiran atas stabilitas tenaga kerja nasional. (Shutterstock/Wulandari)

Pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia melonjak tajam sebesar 32,1 persen pada Agustus 2025 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), sebanyak 58.000 pekerja menjadi korban PHK dari total 7,46 juta pengangguran nasional.

Kemnaker dalam laporan terbarunya yang dirilis November 2025 mencatat, jumlah pekerja terkena PHK meningkat dari 18.610 orang pada Januari–Februari menjadi 44.333 orang pada Agustus 2025. 

Sektor industri pengolahan tercatat sebagai penyumbang terbesar dengan 22.800 korban, disusul perdagangan 9.700 orang, dan pertambangan 7.700 pekerja.

Sektor manufaktur menjadi yang paling terdampak sepanjang tahun ini. Kasus menonjol terjadi di PT Victory Chingluh Indonesia, pemasok sepatu merek Nike di Tangerang, Banten, yang melakukan PHK terhadap sekitar 2.200–2.800 pekerja pada Oktober 2025. Langkah ini disebut sebagai upaya efisiensi akibat penurunan pesanan ekspor dan meningkatnya biaya operasional.

“PHK terpaksa dilakukan untuk efisiensi dampak dari penurunan pesanan yang terjadi beberapa bulan terakhir,” ujar manajemen PT Victory Chingluh Indonesia seperti dikutip dari CNBC Indonesia. Pabrik di Pasar Kemis itu sebelumnya juga telah memutus hubungan kerja dengan sekitar 2.000 pekerja pada Maret 2025.

Gelombang serupa terjadi di PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), yang menyatakan bangkrut pada Maret 2025 dan menghentikan operasionalnya. Akibatnya, lebih dari 10.000 pekerja kehilangan pekerjaan. 

Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Kementerian Perindustrian Reni Yanita menjelaskan industri padat karya sedang tertekan oleh kenaikan upah dan biaya logistik, yang mendorong sebagian perusahaan merelokasi pabrik ke daerah dengan biaya tenaga kerja lebih rendah.

Meski jumlah PHK meningkat, BPS mencatat tingkat pengangguran terbuka (TPT) justru turun tipis dari 4,91 persen pada Agustus 2024 menjadi 4,85 persen pada Agustus 2025. 

Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menjelaskan, penurunan tersebut dipengaruhi oleh serapan tenaga kerja baru yang masih lebih besar dibanding jumlah pekerja yang terkena PHK.

“Sebenarnya ada yang PHK, dan ada yang masuk diserap lapangan kerja. Kebetulan di Agustus itu juga jumlah angkatan kerjanya meningkat,” kata Amalia dalam rapat di Istana Kepresidenan, Jakarta. 

Data BPS menunjukkan jumlah penduduk bekerja bertambah 1,9 juta orang menjadi 146,54 juta pada Agustus 2025.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui Ketua Komisi VII Dasco Ahmad Solihin meminta perusahaan menunda proses PHK dan melakukan perundingan tripartit sesuai ketentuan. 

Sementara itu, Wakil Gubernur Banten Achmad Dimyati Natakusumah menyatakan kekhawatiran meningkatnya pengangguran dapat memicu keresahan sosial di kawasan industri.

Data Kemnaker juga menunjukkan, sepanjang Januari–September 2025 terdapat 45.426 kasus PHK di seluruh Indonesia. Jawa Barat menjadi provinsi dengan angka PHK tertinggi. Namun, tren PHK mulai melandai pada kuartal III 2025, turun dari kisaran 4.900–17.000 orang per bulan menjadi sekitar 830–1.100 orang per bulan.