Beberapa pesawat Garuda Indonesia yang sedang terparkir di apron Bandara Internasional Soekarno-Hatta di Cengkareng, Indonesia. | APLUSWIRE/Larissa Meidiana

Garuda Indonesia (GIAA) mengambil langkah besar dalam upaya pemulihan keuangan dan operasionalnya. Melalui keputusan strategis yang disahkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada 12 November 2025, perseroan memastikan bahwa sebagian besar dana penyertaan modal dari PT Danantara Asset Management (Persero) akan dialirkan ke Citilink Indonesia. Nilainya tidak kecil, sekitar Rp14,9 triliun atau 63,22% dari total penyertaan Rp23,67 triliun.

Dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia pada Selasa (18/11), manajemen Garuda menegaskan bahwa peningkatan modal bagi Citilink akan mulai dilakukan pada Desember 2025. 

Penyertaan modal tersebut terdiri dari Rp17,02 triliun dana tunai dan Rp6,65 triliun konversi pinjaman pemegang saham, disalurkan melalui mekanisme Penambahan Modal Tanpa Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (PMTHMETD).

Prioritas penggunaan dana

Fokus utama alokasi dana ke Citilink adalah menjaga keberlangsungan operasional. Sekitar Rp11,23 triliun dari total dana akan digunakan untuk modal kerja dan kebutuhan operasional harian, termasuk biaya perawatan dan perbaikan pesawat yang membengkak dalam setahun terakhir. 

Sementara Rp3,73 triliun sisanya dialokasikan untuk melunasi utang pembelian bahan bakar kepada PT Pertamina (Persero) senilai US$225 juta.

Di luar Citilink, sisa dana sekitar Rp8,70 triliun digunakan Garuda untuk memperkuat modal kerja dan operasional, termasuk kebutuhan maintenance melalui unit MRO seperti PT GMF AeroAsia Tbk. 

Prioritas terhadap perawatan armada ini muncul di tengah laporan bahwa sejumlah pesawat GIAA dan Citilink masih dalam kondisi grounded karena belum menjalani perawatan wajib.

Perubahan arah strategi bisnis

Keputusan tersebut juga menandai perubahan arah bisnis yang cukup signifikan. Rencana awal pada 9 Oktober 2025 sempat menyinggung penggunaan dana untuk ekspansi armada dan peningkatan kapasitas rute penerbangan. 

Namun pembaruan pada 11 November menghapus agenda ekspansi dan mengerucut pada stabilisasi operasional, sebuah sinyal bahwa langkah penyelamatan jangka pendek menjadi lebih penting dibandingkan pertumbuhan agresif.

Tekanan finansial memang masih terasa berat. Laporan semester I/2025 mencatat rugi bersih US$143,7 juta, meningkat 41,4% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Pendapatan usaha turun 4,47% menjadi US$1,54 miliar. Sementara ekuitas perseroan per 30 Juni 2025 masih negatif sekitar US$1,49 miliar, dengan liabilitas mencapai US$8,01 miliar dan aset US$6,51 miliar.

Respons pasar dan ekspektasi investor

Catatan industri menilai bahwa alokasi besar ke Citilink merefleksikan pandangan bahwa anak usaha low-cost carrier itu adalah salah satu pilar pemulihan grup. 

Citilink dinilai memiliki tingkat fleksibilitas lebih tinggi dalam mengejar efisiensi dan utilisasi armada, terutama pada pasar domestik yang masih menjadi tulang punggung pendapatan.

Namun tantangan eksternal tetap mengintai, mulai dari harga avtur yang volatil, tekanan kurs dolar, dan persaingan ketat antar-maskapai. Bagi pasar modal, perhatian kini tertuju pada bagaimana dana tersebut direalisasikan dan apakah mampu mempercepat pemulihan armada yang selama ini menjadi sumber beban biaya terbesar.

Dengan jadwal pelaksanaan peningkatan modal pada Desember 2025, bulan-bulan ke depan akan menjadi fase krusial bagi Garuda dan Citilink. 

Investor dan regulator menunggu bukti konkret bahwa injeksi modal bukan hanya memperpanjang napas, melainkan benar-benar memperkuat fondasi restrukturisasi yang dijalankan sejak krisis pandemi mengguncang industri penerbangan global.