Indonesia memperpanjang izin impor listrik 200 MW dari Malaysia untuk memenuhi kebutuhan energi di Kalimantan Barat. (Dok. PLN)


Indonesia memperpanjang izin impor listrik sebesar 200 megawatt (MW) dari Malaysia untuk memenuhi kebutuhan energi di wilayah perbatasan Kalimantan. Langkah ini juga menjadi bagian dari persiapan Indonesia menuju peran sebagai pusat energi kawasan Asia Tenggara melalui proyek ASEAN Power Grid.

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung mengonfirmasi bahwa kerja sama impor listrik tersebut sudah berjalan dan kini tengah dalam proses perpanjangan perizinan.


“Ini kan sudah berjalan dan juga ini lagi perpanjangan perizinan, dan itu juga kita lakukan fasilitasi,” kata Yuliot usai menghadiri 43rd ASEAN Minister on Energy Meeting (AMEM) di Kuala Lumpur, Kamis (16/10/2025).

Impor listrik dari Malaysia selama ini menjadi salah satu solusi sementara untuk mengatasi defisit pasokan listrik di Kalimantan Barat, terutama di wilayah yang sulit dijangkau jaringan transmisi utama PLN. 

Melalui interkoneksi ini, listrik dari Sarawak Energy Berhad disalurkan ke sistem kelistrikan Indonesia di perbatasan, membantu stabilitas pasokan bagi masyarakat dan industri setempat.

Namun, di sisi lain, sejumlah ekonom menilai kebijakan ini perlu dikaji ulang dari sisi keberlanjutan dan kemandirian energi nasional. 

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, menilai impor listrik dari Malaysia tidak ideal untuk jangka panjang.

“Impor listrik dari Malaysia justru kurang menguntungkan karena berpotensi menekan cadangan devisa. Selain itu, pasokan listrik lintas negara juga memiliki risiko gangguan jika sistem jaringan di Malaysia bermasalah,” ujar Bhima.

Menurut Bhima, pemerintah seharusnya memperkuat pengembangan energi terbarukan lokal, terutama di daerah perbatasan dengan jaringan terbatas. 

“Kalimantan bisa memanfaatkan sumber energi terbarukan seperti panel surya dan mikrohidro. Ini lebih efisien sekaligus memperkuat kemandirian energi daerah,” tambahnya.

Pemerintah memandang kerja sama kelistrikan lintas negara bukan sekadar solusi pasokan, tetapi juga bagian dari strategi jangka panjang untuk memperkuat posisi Indonesia dalam integrasi energi ASEAN. 

Yuliot menegaskan bahwa Indonesia menargetkan menjadi “hub energi kawasan” di tengah meningkatnya kebutuhan listrik di Asia Tenggara.

“Dengan peningkatan signifikan, Indonesia harus siap menjadi hub energi untuk ASEAN,” tegasnya.

Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), pemerintah menargetkan pembangunan 48.000 kilometer sirkuit jaringan transmisi dalam sepuluh tahun ke depan untuk memperluas interkoneksi kelistrikan nasional dan regional.

Selain itu, Kementerian ESDM juga telah memetakan kebutuhan investasi senilai Rp600 triliun untuk mendukung pengembangan infrastruktur energi tersebut. Dana ini tidak hanya akan bersumber dari pemerintah, tetapi juga melibatkan sektor swasta dan investor asing. 

“Kebutuhan investasi kita sudah petakan, total investasi yang dibutuhkan sekitar 600 triliun rupiah,” ujar Yuliot.

Pertemuan ASEAN Ministers on Energy Meeting (AMEM) ke-43 yang berlangsung di Kuala Lumpur pada 16–17 Oktober 2025 menghasilkan sejumlah kesepakatan strategis, termasuk pengesahan Nota Kesepahaman yang disempurnakan tentang ASEAN Power Grid. 

Kesepakatan ini memperkuat interkoneksi listrik antarnegara anggota ASEAN, dengan Indonesia menjadi salah satu penggerak utamanya.

Melalui kerja sama ini, negara-negara anggota diharapkan dapat saling menyalurkan surplus energi, menekan biaya pembangunan infrastruktur kelistrikan, dan mempercepat transisi menuju energi bersih sesuai dengan ASEAN Community Vision 2045.