Hutan tropis Indonesia berperan penting dalam menjaga keseimbangan iklim global, menjadi rumah bagi ribuan spesies unik, serta sumber penghidupan bagi jutaan orang. (Freepik)

Hutan tropis Indonesia sering disebut sebagai paru-paru dunia, bersama dengan Amazon di Amerika Selatan dan hutan Kongo di Afrika. Luasnya mencapai sekitar 125 juta hektare, atau hampir dua kali ukuran Jerman. Sebagian besar berada di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua — wilayah dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa.

Namun, perannya tidak hanya penting bagi Indonesia sendiri. Hutan tropis di nusantara menyimpan cadangan karbon dalam jumlah besar dan berfungsi menyeimbangkan iklim global. 

Tanpa hutan ini, suhu bumi bisa meningkat lebih cepat karena pelepasan emisi karbon dari deforestasi dan kebakaran hutan.

Banyak ilmuwan menyebut Indonesia sebagai salah satu negara kunci dalam menjaga stabilitas iklim dunia. Artinya, apa yang terjadi di hutan Kalimantan bisa berdampak hingga ke belahan dunia lain.


Rumah bagi ribuan spesies

Hutan tropis Indonesia juga merupakan rumah bagi sekitar 10% spesies tumbuhan dan hewan di dunia. Beberapa di antaranya tak bisa ditemukan di tempat lain, seperti orangutan Kalimantan dan Sumatra, burung cenderawasih di Papua, serta bunga raflesia yang dikenal sebagai bunga terbesar di dunia.

Keanekaragaman hayati ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu dari 17 megadiverse countries — negara dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Tapi, keberagaman itu juga menghadapi ancaman serius.

Konversi hutan untuk perkebunan sawit, tambang, dan pembangunan infrastruktur membuat habitat alami banyak satwa menyempit. 

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan, laju kehilangan hutan primer di Indonesia memang menurun dalam beberapa tahun terakhir, tapi tekanan terhadap kawasan hutan tetap tinggi.

“Kalau hutan hilang, bukan cuma pohonnya yang lenyap, tapi seluruh sistem kehidupan di dalamnya,” kata seorang peneliti ekologi dari Universitas Indonesia. “Mulai dari serangga kecil sampai hewan besar, semuanya saling bergantung.”


Menjaga keseimbangan iklim

Salah satu fungsi utama hutan tropis adalah menyerap karbon dioksida dari atmosfer. Menurut laporan Global Forest Watch, hutan Indonesia menyerap sekitar 1,4 gigaton karbon setiap tahun. Jumlah itu cukup besar untuk mengimbangi emisi dari seluruh kendaraan bermotor di Eropa selama setahun.

Tapi ketika hutan ditebang atau terbakar, karbon yang tersimpan di tanah dan tumbuhan dilepaskan ke udara. Itulah yang sering membuat kabut asap lintas negara di Asia Tenggara. Dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia pernah mengalami krisis asap parah, terutama akibat kebakaran lahan gambut.

Pemerintah telah berupaya mengendalikan hal ini dengan memperketat pengawasan dan menegakkan hukum terhadap pembakaran ilegal. Selain itu, ada program restorasi gambut seluas jutaan hektare yang dijalankan sejak 2016.

Upaya ini penting bukan hanya untuk mengurangi emisi, tetapi juga menjaga keseimbangan air dan mencegah banjir besar. Karena hutan tropis tidak sekadar menyerap karbon, tapi juga mengatur siklus air dan menjaga kualitas udara.


Sumber penghidupan jutaan orang

Bagi banyak masyarakat di Indonesia, terutama yang tinggal di pedalaman Kalimantan, Sumatra, dan Papua, hutan bukan sekadar kawasan hijau di peta. Hutan adalah tempat hidup, sumber pangan, dan ruang budaya.

Suku Dayak, misalnya, memiliki sistem adat yang mengatur pemanfaatan hutan secara lestari. Mereka hanya menebang pohon seperlunya dan menanam kembali setelah panen. Di Papua, masyarakat adat memanfaatkan hasil hutan non-kayu seperti sagu, madu, dan rotan tanpa merusak ekosistemnya.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 12 juta orang di Indonesia menggantungkan hidupnya secara langsung pada sumber daya hutan. Artinya, kebijakan kehutanan tak hanya soal konservasi, tapi juga soal ekonomi dan keberlanjutan sosial.

Beberapa tahun terakhir, pemerintah mulai mendorong skema perhutanan sosial—program yang memberikan izin pengelolaan hutan kepada masyarakat. 

Tujuannya agar warga bisa memanfaatkan hutan secara legal tanpa harus menebang habis pohon. Program ini sudah mencakup lebih dari 6 juta hektare lahan.


Tantangan di tengah transisi hijau

Meski ada kemajuan, menjaga hutan tropis tetap bukan perkara mudah. Di satu sisi, dunia mendorong Indonesia untuk menekan deforestasi demi iklim global. Di sisi lain, kebutuhan pembangunan dalam negeri masih tinggi.

Pertambangan nikel, misalnya, meningkat pesat karena permintaan baterai kendaraan listrik. Namun, ekspansi industri ini kerap beririsan dengan kawasan berhutan. 

Untuk mengatasinya, pemerintah mulai memperkenalkan konsep ekonomi hijau dan transisi energi bersih. Salah satu tujuannya adalah agar pembangunan tidak lagi bergantung pada ekstraksi sumber daya alam. Tapi penerapannya masih butuh waktu dan komitmen jangka panjang.

Selain itu, tekanan dari pasar global juga berpengaruh. Uni Eropa, misalnya, sudah memberlakukan aturan deforestation-free supply chain, yang melarang impor produk hasil deforestasi. 

Kebijakan ini bisa menjadi tantangan bagi ekspor Indonesia, tapi juga peluang untuk memperbaiki tata kelola hutan dan meningkatkan nilai ekonomi produk lestari.


Upaya berkelanjutan untuk melindungi hutan

Meski banyak tantangan, peran hutan tropis Indonesia tetap vital dalam menghadapi krisis iklim global. Berbagai lembaga internasional, seperti PBB dan Bank Dunia, memuji langkah Indonesia yang mulai menurunkan laju deforestasi dalam lima tahun terakhir.

Namun, keberhasilan ini perlu dijaga agar tidak hanya menjadi pencapaian sementara. Pengawasan di lapangan, penegakan hukum, dan partisipasi masyarakat masih menjadi kunci.

Beberapa daerah juga mulai memanfaatkan teknologi satelit untuk memantau perubahan tutupan hutan secara real-time. Langkah-langkah seperti ini bisa membantu mencegah pembalakan liar dan mendeteksi kebakaran lebih cepat.

Pada akhirnya, hutan tropis Indonesia bukan hanya aset nasional, tapi juga warisan global. Menjaganya berarti menjaga masa depan bumi.