Di tengah rivalitas Amerika Serikat dan Tiongkok, negara-negara kekuatan menengah seperti Turki, India, dan Indonesia tampil sebagai penyeimbang baru yang menentukan arah politik dunia multipolar. (unsplash.com)

Dalam dunia yang semakin multipolar di mana kekuatan besar tak lagi mampu mendominasi sendirian, peran “kekuatan menengah” atau middle powers menjadi semakin menonjol. 

Negara-negara seperti Turki, India, dan Indonesia kini tampil sebagai pemain penting yang mampu menyeimbangkan, menjembatani, sekaligus memengaruhi arah politik global meski tak memiliki kekuatan ekonomi dan militer sebesar Amerika Serikat atau Tiongkok.

Konsep middle power bukan hal baru. Setelah Perang Dunia II, istilah ini dipakai untuk menggambarkan negara-negara yang bukan adidaya tetapi cukup berpengaruh dalam menjaga stabilitas global. 

Kanada dan Australia dulu sering dijadikan contoh klasik sebagai negara dengan sumber daya besar tapi lebih dikenal karena diplomasi aktif dan pendekatan multilateral.

Kini lanskapnya berubah. Kekuasaan global tak lagi terkonsentrasi pada satu atau dua kutub. Amerika Serikat menghadapi tantangan dari Tiongkok dan Rusia, sementara Uni Eropa bergulat dengan dinamika internal. 

Dalam ruang kosong inilah kekuatan menengah mulai menegaskan diri—tidak sebagai pengikut, tapi sebagai pemain independen dengan kepentingan dan strategi sendiri.

Para analis menyebut bahwa kekuatan menengah memiliki tiga ciri utama:

1. Kapasitas menengah secara material, artinya mereka punya ekonomi dan militer cukup kuat untuk memengaruhi kawasan.

2. Kecenderungan mendukung multilateralisme lewat lembaga-lembaga seperti PBB, G20, atau ASEAN.

3. Kemampuan mediasi: menjadi jembatan antara blok besar dunia.


Dengan kombinasi itulah mereka sering menjadi broker politik global — bukan penguasa, tapi penentu arah ketika dua kekuatan besar saling bersaing.


Turki: Menjaga keseimbangan di antara kekuatan besar

Turki mungkin salah satu contoh paling nyata dari negara middle power yang luwes memainkan posisi geopolitiknya. Terletak di antara Eropa dan Asia, Turki memiliki nilai strategis yang sulit diabaikan baik oleh Barat maupun Timur.

Di bawah kepemimpinan Recep Tayyip Erdoğan, Ankara menempuh jalur yang disebut banyak analis sebagai “kebijakan luar negeri otonom”. 

Turki tetap anggota NATO, tapi juga menjalin kerja sama pertahanan dengan Rusia termasuk membeli sistem rudal S-400. Langkah ini sempat memicu ketegangan dengan Washington namun di sisi lain menunjukkan bahwa Turki tak mau sekadar menjadi pelengkap Barat.

Peran Turki dalam perang Rusia–Ukraina juga mencerminkan posisi unik itu. Saat banyak negara menutup pintu terhadap Moskow, Ankara justru memfasilitasi kesepakatan ekspor gandum melalui Laut Hitam.

Langkah itu bukan hanya meningkatkan profil diplomatiknya tetapi juga memperlihatkan kemampuan Turki memanfaatkan ruang di antara dua kubu besar.

Secara ekonomi, Turki menghadapi tekanan berat akibat inflasi tinggi dan ketergantungan energi impor. Namun ambisi geopolitik Erdoğan tetap kuat dengan memperluas pengaruh di Asia Tengah, Afrika, hingga Timur Tengah. 

Dalam konteks global, Turki memosisikan diri sebagai penghubung dunia Muslim dengan Barat—sebuah posisi yang jarang dimiliki negara lain.

“Turki mencoba menulis ulang perannya di tatanan global,” kata analis hubungan internasional Galip Dalay dalam wawancara dengan Chatham House. “Ia bukan lagi sekadar bagian dari sistem Barat, tapi pemain independen yang ingin dihormati.”


India: Antara idealisme global dan kepentingan nasional

India sering disebut sebagai kekuatan menengah yang sedang tumbuh menjadi kekuatan besar. Dengan populasi lebih dari 1,4 miliar orang dan ekonomi kelima terbesar di dunia, India punya semua modal untuk memproyeksikan kekuatan global. Namun seperti banyak middle power lain, pendekatan India tetap hati-hati dan pragmatis.

Dalam isu Ukraina, India mengambil posisi netral dengan menolak mengecam Rusia secara langsung tetapi juga menjaga hubungan dengan Barat. Langkah itu menggambarkan strategi “multi-alignments” India yaitu berhubungan dengan semua pihak tanpa terikat pada satu blok.

Di satu sisi, India aktif di forum seperti Quad (dengan AS, Jepang, dan Australia) untuk mengimbangi pengaruh Tiongkok di Indo-Pasifik. Di sisi lain, negara itu masih membeli minyak Rusia dengan harga murah—langkah yang dianggap “kontra-arus” oleh sekutu Barat.

India juga semakin menonjol dalam diplomasi teknologi dan perubahan iklim. Dalam KTT G20 di New Delhi tahun 2023 misalnya, India mendorong agenda Global South dan menegaskan pentingnya keadilan iklim, bahwa negara berkembang tidak bisa dipaksa menanggung beban yang sama dengan negara maju.

Namun di balik ambisi global itu, India menghadapi dilema internal. Ketimpangan ekonomi, tensi agama, dan infrastruktur yang belum merata membatasi daya dorongnya. 

Analis di Observer Research Foundation menyebut India masih dalam “transisi dari middle power menuju great power” di mana kapasitasnya belum sepenuhnya seimbang dengan ambisinya.


Indonesia: Diplomasi tenang dari Asia Tenggara

Berbeda dari Turki dan India, Indonesia jarang tampil mencolok dalam politik global. Namun pendekatan yang tenang dan konsisten justru menjadi kekuatannya. Sebagai negara terbesar di Asia Tenggara dan demokrasi terbesar ketiga di dunia, Indonesia memainkan peran penting di kawasan.

Melalui ASEAN, Indonesia berupaya menjaga stabilitas regional di tengah ketegangan Laut Cina Selatan. Dalam isu Myanmar misalnya, Jakarta berusaha memimpin upaya diplomatik tanpa konfrontasi langsung. Pendekatan Indonesia adalah quiet diplomacy—bukan untuk headline tapi untuk hasil.

Indonesia juga termasuk anggota MIKTA, forum informal beranggotakan Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki, dan Australia. Koalisi ini dibentuk untuk memperkuat peran middle powers dalam isu global seperti ekonomi, energi, dan keamanan. 

Walau tidak sepopuler G20, MIKTA menjadi ruang penting untuk membangun solidaritas lintas kawasan.

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia mulai menegaskan peran ekonomi strategisnya. Dengan cadangan nikel terbesar di dunia, negara ini mendorong kebijakan hilirisasi untuk memperkuat posisi dalam rantai pasok kendaraan listrik global. 

Langkah ini bukan hanya soal ekonomi tapi juga geopolitik karena sumber daya kini menjadi alat tawar penting dalam hubungan internasional.

Namun tantangannya juga besar yaitu ketergantungan investasi asing, keterbatasan kapasitas diplomatik, dan tekanan domestik menjelang transisi politik. Seperti banyak middle power lain, Indonesia harus menyeimbangkan idealisme dengan realitas.


Dilema strategis kekuatan menengah

Dalam tatanan dunia yang semakin kompleks, kekuatan menengah menghadapi dilema ganda—di satu sisi ingin mandiri, di sisi lain tak bisa lepas dari pengaruh kekuatan besar.

1. Tekanan dari kutub besar
Persaingan AS–Tiongkok memaksa banyak negara memilih posisi. India, Turki, dan Indonesia berusaha menolak dikotomi itu, tetapi tekanan politik dan ekonomi sering kali tak terhindarkan. Misalnya, sanksi sekunder terhadap Rusia berdampak pada perdagangan global yang turut memengaruhi negara-negara nonblok.

2. Kapasitas yang terbatas
Meskipun punya pengaruh regional, sumber daya mereka tetap terbatas. Militer India masih menghadapi tantangan logistik, diplomasi Indonesia belum sekuat negara G20 lain, sementara Turki menghadapi tekanan ekonomi domestik. Itu membuat pengaruh mereka sering kali lebih simbolik ketimbang substantif.

3. Peluang kolaborasi baru
Meski begitu, peluang untuk memperkuat peran middle power tetap besar. Koalisi seperti BRICS+, MIKTA, dan forum Global South membuka ruang bagi kerja sama baru. Kolaborasi lintas kawasan dalam isu teknologi, energi, dan pangan bisa memperkuat posisi mereka di dunia yang makin terfragmentasi.


Peran middle power sering kali tak terlihat di permukaan tapi dampaknya terasa dalam jangka panjang. Turki membantu menjaga jalur pangan global tetap terbuka. India memperjuangkan suara negara berkembang di forum internasional. Indonesia mendorong stabilitas kawasan lewat diplomasi yang tenang.

Ketiganya menunjukkan bahwa kekuatan global tak lagi hanya soal kekuatan militer atau ekonomi besar. Dunia kini juga membutuhkan negara-negara yang bisa menjembatani, menenangkan, dan menegosiasikan kepentingan di tengah rivalitas yang meningkat.

Dalam konteks itu, middle power bukan sekadar istilah akademik. Mereka adalah penyeimbang, pihak yang menjaga agar sistem internasional tidak kembali ke pola lama—satu kekuatan mendominasi sementara yang lain hanya mengikuti.