![]() |
| Kontroversi tunjangan DPRD Jawa Tengah mencuat setelah terungkap besaran tunjangan rumah mencapai Rp 79 juta per bulan. Gubernur Ahmad Lutfi janji evaluasi usai protes publik. (INDORAYA/Athok Mahfud) |
Kontroversi mencuat di Jawa Tengah setelah besaran tunjangan perumahan dan transportasi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi tersebut terungkap ke publik. Berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 100.3.3.1/51 Tahun 2025 yang ditandatangani Penjabat Gubernur Nana Sudjana pada 12 Februari 2025, anggota DPRD menerima tunjangan perumahan sebesar Rp 47,77 juta per bulan.
Wakil ketua dewan menerima Rp 72,31 juta, sedangkan ketua dewan memperoleh Rp 79,63 juta per bulan. Di luar itu, seluruh anggota dewan juga mendapatkan tunjangan transportasi sebesar Rp 16,2 juta per bulan.
Kebijakan yang dibebankan kepada APBD Provinsi Jawa Tengah tersebut memicu gelombang protes di berbagai daerah sejak awal September 2025.
Demonstrasi mahasiswa dan kelompok masyarakat mendesak agar tunjangan tersebut segera ditinjau ulang karena dinilai tidak sebanding dengan kondisi ekonomi warga yang masih bergulat dengan pemulihan daya beli.
Gubernur Jawa Tengah Ahmad Lutfi menuturkan pihaknya telah menyiapkan langkah evaluasi.
"Nanti sesuai dengan appraisal masih dihitung. Belum (evaluasi), nanti kita kumpulin lagi. Rapat dong nanti," ujarnya saat ditemui di Semarang, Sabtu (6/9/2025).
Lutfi menyebut rapat evaluasi akan segera digelar untuk membahas besaran tunjangan tersebut.
Ketua DPRD Jateng Sumanto menyampaikan sikap senada. Dalam keterangan resminya, ia menegaskan dewan siap meninjau ulang kebijakan tersebut dan menghapus kunjungan luar negeri anggota dewan sebagai bentuk penghematan anggaran.
"DPRD mendukung sepenuhnya arahan dan kebijakan Presiden RI Prabowo Subianto. Kami juga sepakat dengan tuntutan dan harapan mahasiswa terkait evaluasi kinerja DPRD. Karena itu, DPRD siap bersinergi dengan rakyat mendorong serta mendukung upaya perbaikan," kata Sumanto.
Polemik tunjangan ini berakar dari regulasi yang telah berlaku sejak 2017. Penetapan besaran tunjangan merujuk pada PP Nomor 18 Tahun 2017 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD, Perda Jateng Nomor 9 Tahun 2017, serta Pergub Jateng Nomor 64 Tahun 2017.
Namun, kenaikan biaya hidup dan tekanan fiskal daerah membuat masyarakat mempertanyakan relevansi angka tersebut di tengah kebutuhan publik lain yang mendesak, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar.
Sejumlah pengunjuk rasa di Solo dan Semarang, Jumat (5/9/2025), membawa poster bertuliskan
"Tunjangan Sultan, Rakyat Ikat Pinggang." Aroma asap ban terbakar menyengat di depan kantor DPRD Jateng ketika mereka berorasi menuntut transparansi anggaran. "Bagaimana rakyat mau percaya kalau dewan justru asyik menikmati rumah mewah dari uang kami?" kata salah satu peserta aksi, Arif (22), mahasiswa universitas negeri di Semarang seperti dikutip dari kompas.com.
Secara politik, keputusan ini juga menempatkan DPRD Jateng dalam sorotan nasional. Pemerintah pusat melalui arahan Presiden Prabowo disebut telah meminta seluruh kepala daerah dan pimpinan legislatif provinsi melakukan evaluasi terhadap beban belanja pegawai, termasuk tunjangan anggota dewan.
Hingga saat ini, evaluasi resmi belum dipublikasikan. Namun, DPRD Jateng telah menggelar rapat pimpinan yang melibatkan seluruh fraksi dan komisi untuk membahas skema pengurangan beban anggaran.
Salah satu usulan yang mengemuka adalah melakukan penyesuaian tunjangan berdasarkan hasil appraisal pasar properti terkini, mengingat harga sewa rumah di beberapa wilayah disebut tidak sebanding dengan angka tunjangan saat ini.
Jika langkah revisi benar dilakukan, itu akan menjadi ujian pertama bagi kepemimpinan Ahmad Lutfi sejak dilantik sebagai gubernur definitif, sekaligus mengukur keseriusan DPRD dalam merespons keresahan publik. Untuk saat ini, publik masih menunggu, sementara uang tunjangan tetap mengalir setiap bulan.

0Komentar