Presiden AS Donald Trump menyatakan siap menerapkan tahap kedua sanksi terhadap Rusia setelah serangan udara terbesar menghantam Kyiv dan merusak gedung pemerintah Ukraina. (REUTERS)

Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Minggu (7/9) menyatakan kesiapannya untuk memberlakukan tahap kedua sanksi terhadap Rusia. Pernyataan itu muncul hanya beberapa jam setelah serangan udara terbesar sejak perang dimulai menghantam Ukraina, menewaskan sedikitnya empat orang dan merusak gedung pemerintahan di Kyiv.

Ketika ditanya wartawan di Gedung Putih apakah ia siap melangkah ke tahap sanksi berikutnya, Trump menjawab singkat, “Ya, saya siap,” sebelum berangkat menuju turnamen tenis US Open di New York City. Namun, ia tidak merinci bentuk sanksi tambahan tersebut.

Menurut pejabat Ukraina, pasukan Rusia meluncurkan lebih dari 800 drone dan rudal ke berbagai wilayah, termasuk 810 drone serta 13 rudal balistik. 

Serangan itu merusak Gedung Kabinet Menteri Ukraina di pusat Kyiv markas pemerintahan yang selama ini mendapat perlindungan ketat dan menandai pertama kalinya infrastruktur pemerintahan utama di ibu kota terkena serangan langsung sejak Februari 2022.

“Untuk pertama kalinya, gedung pemerintah rusak akibat serangan musuh, termasuk atap dan lantai atas,” kata Perdana Menteri Ukraina, Yulia Svyrydenko. Ia menambahkan, empat orang tewas, termasuk seorang ibu dan bayi berusia tiga bulan yang ditemukan dari reruntuhan.

Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy menyebut serangan itu sebagai “kejahatan yang disengaja dan perpanjangan perang”. Ia mendesak Amerika Serikat serta sekutunya untuk segera memperkuat sanksi dan membantu sistem pertahanan udara Kyiv. 

“Telah berulang kali dikatakan di Washington bahwa sanksi akan menyusul jika terjadi penolakan untuk berdialog,” ujarnya.

Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, mengonfirmasi bahwa Washington tengah menyiapkan langkah lebih jauh. Dalam acara Meet the Press di NBC, Bessent menyebut rencana koordinasi dengan sekutu Eropa untuk memberlakukan sanksi sekunder terhadap negara-negara yang masih membeli minyak Rusia.

“Kami siap meningkatkan tekanan terhadap Rusia, tetapi kami membutuhkan mitra Eropa kami untuk mengikuti kami,” tutur Bessent. 

Ia menggambarkan strategi itu sebagai “perlombaan antara ketahanan militer Ukraina dengan daya tahan ekonomi Rusia,” sembari menekankan kemungkinan “keruntuhan total” ekonomi Moskow jika sanksi diperluas.

Pemerintahan Trump sebelumnya telah mengenakan tarif 50 persen terhadap impor minyak Rusia yang dibeli India, salah satu bea tertinggi dalam sejarah perdagangan luar negeri AS. Trump mengaku “sangat kecewa” karena India tetap membeli “begitu banyak” minyak dari Rusia meski ia mengaku memiliki hubungan baik dengan Perdana Menteri Narendra Modi.

Ancaman sanksi baru ini muncul hampir sebulan setelah pertemuan puncak antara Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin di Alaska berakhir tanpa kesepakatan gencatan senjata. 

Pertemuan di Joint Base Elmendorf-Richardson, Anchorage, pada 15 Agustus lalu hanya berlangsung kurang dari tiga jam. Rusia menuntut Ukraina menyerahkan wilayah di timur dan menghentikan upaya bergabung dengan NATO syarat yang ditolak Kyiv.

Sejak itu, serangan Rusia justru meningkat. Trump sendiri sebelumnya menyatakan optimistis bisa menghentikan perang dengan cepat setelah dilantik pada Januari. Namun, dalam sebuah jamuan dengan anggota Kongres bulan lalu, ia mengakui konflik Ukraina menjadi “tantangan paling sulit” dalam masa jabatannya.

Para pemimpin Eropa juga mendesak langkah yang lebih keras. Presiden Prancis Emmanuel Macron dalam pertemuan di Paris pekan lalu memperingatkan bahwa Uni Eropa akan menempuh tindakan tambahan bersama AS bila Moskow menolak gencatan senjata.

Sementara upaya diplomasi masih terhambat, serangan terbaru Rusia dan ancaman sanksi tahap kedua dari Washington menandai eskalasi menuju perang ekonomi yang semakin terbuka antara Barat dan Rusia.