PBNU mengingatkan boikot produk Israel harus tepat sasaran agar tidak salah kaprah. Aksi tanpa data valid bisa rugikan pekerja dan perekonomian nasional. 

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengingatkan masyarakat agar gerakan boikot produk yang dianggap terkait dengan Israel dilakukan secara hati-hati dan berdasarkan data valid. Peringatan ini disampaikan menyusul maraknya kampanye boikot di media sosial dalam beberapa pekan terakhir.

Ketua PBNU Bidang Pemberdayaan Perekonomian, Eman Suryaman, menegaskan boikot tidak boleh hanya didasarkan pada kepemilikan saham asing dalam jumlah kecil di perusahaan publik Indonesia. 

"Di media sosial belakangan ini, sejumlah pihak aktif mengkampanyekan boikot produk keluaran perusahaan go public hanya lantaran sebagian kecil sahamnya dimiliki oleh investor asing tertentu. Hal yang seperti ini tidak tepat," kata Eman, Senin (15/9/2025).

Data Bursa Efek Indonesia (BEI) per 15 September 2025 menunjukkan terdapat 954 perusahaan emiten terdaftar. Mayoritas saham perusahaan tersebut dimiliki oleh investor domestik, meskipun sebagian kecil dimiliki asing. 

PBNU menilai, kesalahan sasaran dalam aksi boikot bisa berdampak pada perusahaan nasional maupun perekonomian dalam negeri.

Tokoh muda NU, Nadirsyah Hosen atau Gus Nadir, juga memberi catatan terkait beredarnya daftar produk boikot di media sosial. Menurutnya, banyak daftar tersebut tidak akurat dan tidak menyertakan alasan rinci. 

"Jangan sampai boikot salah sasaran," ujarnya. Ia menambahkan, sering kali daftar itu diolah ulang sebelum dipublikasikan ulang oleh akun-akun tertentu sehingga berpotensi menyesatkan publik.

Sebelumnya, PBB merilis daftar resmi pada Juli 2025 yang mencantumkan 48 perusahaan global terlibat dalam pendudukan Israel di Palestina. Sejumlah merek internasional yang kerap masuk daftar boikot di Indonesia, terutama di sektor makanan dan minuman, justru tidak tercantum dalam daftar resmi tersebut.

Dari sisi tenaga kerja, Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Aspirasi), Mirah Sumirat, menegaskan boikot tanpa dasar kuat bisa berdampak langsung pada pekerja. 

"Jadi, meskipun tujuannya baik, perlu dipikirkan dampaknya agar tidak justru merugikan pekerja dan perekonomian nasional," kata Mirah.

Ia menjelaskan, penurunan penjualan akibat boikot berpotensi membuat perusahaan melakukan efisiensi hingga pemutusan hubungan kerja (PHK). 

Kondisi itu diperparah dengan situasi saat ini di mana PHK sudah meningkat akibat penurunan daya beli, pelemahan ekspor, dan ketidakpastian investasi.

Di sejumlah gerai makanan cepat saji, karyawan kontrak mulai merasakan dampak kampanye boikot. Jam kerja mereka dilaporkan berkurang signifikan, dari sekitar 20 hari menjadi 7–10 hari per bulan, yang secara otomatis memangkas pendapatan hingga lebih dari separuh.