Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyindir DPR dan mantan Menkeu Sri Mulyani dalam rapat kerja Komisi XI DPR. (LPS)


Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menilai gelombang demonstrasi besar yang terjadi di berbagai daerah merupakan akumulasi dari kesalahan kebijakan fiskal dan moneter. Hal itu disampaikan dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen.

“Demo besar ini adalah akibat kebijakan fiskal dan moneter yang tidak menyentuh akar persoalan. Selama ini DPR pun jarang mempertanyakannya,” kata Purbaya di hadapan anggota dewan. 

Ia juga menyinggung periode Sri Mulyani Indrawati, yang menurutnya tidak pernah menyelesaikan masalah mendasar ekonomi.

Dalam rapat kerja itu, Purbaya yang juga politisi PDIP menyindir DPR karena dianggap lambat merespons krisis. 

Ia menyebut kebijakan fiskal pada era sebelumnya tidak menyentuh persoalan struktural, antara lain ketergantungan pada impor komoditas strategis, bunga tinggi yang menekan sektor riil, serta prosedur pengadaan barang dan jasa yang berbelit sehingga menghambat belanja negara.

Purbaya juga menyinggung krisis moneter 1998 sebagai peringatan. Menurutnya, kebijakan bunga tinggi saat itu justru menghancurkan sektor riil, sementara pencetakan uang memperburuk nilai tukar. 

“Ada setan-setan kebijakan yang membuat Indonesia jatuh lebih parah dibanding Thailand dan Korea Selatan,” ujarnya.

Sebagai langkah awal, Purbaya berkomitmen mempercepat belanja anggaran untuk menggerakkan konsumsi yang menopang 90 persen ekonomi domestik. Ia menyiapkan program padat karya, bantuan sosial, hingga proyek infrastruktur.

Selain itu, ia akan meninjau kebijakan moneter bersama Bank Indonesia, termasuk kemungkinan menurunkan suku bunga secara hati-hati. Aturan impor dan bea masuk bahan baku industri juga dijanjikan akan direvisi agar lebih mendukung sektor usaha.

Pernyataan Purbaya menuai reaksi dari anggota Komisi XI DPR. Sejumlah legislator dari partai oposisi menilai Menkeu terlalu menyalahkan periode sebelumnya. Mereka meminta Purbaya fokus pada solusi, bukan pada pengkambinghitaman.

Mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani melalui juru bicaranya membantah tudingan tersebut. Ia menegaskan bahwa kebijakan fiskal di eranya disusun secara hati-hati dan berhasil menjaga stabilitas makroekonomi, terutama saat pandemi dan gejolak global.

Pengamat ekonomi Faisal Basri menilai percepatan belanja anggaran memang diperlukan, tetapi mengingatkan pemerintah agar tidak mengulangi kesalahan 1998. “Pencetakan uang yang tidak terkontrol justru bisa memicu krisis baru,” ujarnya.

Pernyataan Purbaya tak lepas dari kondisi ekonomi global yang tengah menekan Indonesia. Rupiah melemah terhadap dolar AS, inflasi meningkat akibat harga energi dan pangan dunia, serta ketegangan geopolitik mengganggu rantai pasok internasional.